Ada yang Bersorak atas Serangan Rusia
Di balik serangan Rusia ke Ukraina yang menelan banyak korban jiwa, ada banyak dukungan kepada Presiden Putin.
Serangan Rusia yang telah berjalan tiga pekan lebih belum menunjukkan tanda mereda. Sejak awal banyak pihak mengecam invasi itu, yang dilakukan terhadap negara yang tidak mengancam, tetapi sejak awal pula ada dukungan yang disuarakan kepada Rusia.
Dengan menggunakan kaus berwarna hijau dan duduk di sebelah bendera Ukraina, Presiden Volodymyr Zelenskyy berbicara secara daring kepada anggota parlemen dalam Kongres Amerika Serikat, Rabu (16/3/2022). Di hadapan mereka, Zelenskyy menyerukan permintaan bantuan AS untuk melindungi wilayah udaranya, bantuan militer, dan sanksi yang lebih kuat kepada Rusia. Dengan tegas, ia berkata, ”Saya meminta Anda (AS) untuk berbuat lebih banyak.”
Sesudah pertemuan Kongres AS, satu jam kemudian Presiden AS Joe Biden langsung menyetujui pengiriman bantuan militer senilai 800 juta dollar AS kepada Ukraina. Bantuan AS tersebut termasuk 800 rudal antipesawat, 9.000 senjata antitank, 100 drone taktis, dan berbagai senjata ringan, termasuk senapan mesin serta peluncur granat. Secara keseluruhan, selama pemerintahan Biden, AS telah mengesahkan bantuan 1,2 miliar dollar AS dalam bentuk bantuan senjata kepada Ukraina.
Situasi hingga 16 Maret 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan, sedikitnya 726 warga sipil tewas dan 1.174 orang lainnya luka-luka dalam pertempuran sejak Rusia menginvasi Ukraina. Angka sebenarnya diyakini lebih tinggi.
Serangan yang dimulai sejak 24 Februari ini sudah menjadi tragedi kemanusiaan yang terjadi akibat persoalan geopolitik antara Rusia, Ukraina, dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Berbagai sanksi serta boikot yang dilakukan sejumlah negara dan perusahaan besar menjadi salah satu respons dunia terhadap serangan Rusia. Di sisi lain, masih ada pihak yang justru bersorak mendukung keputusan Presiden Vladimir Putin.
Pidato Putin yang menginisiasi serangan ke Ukraina justru mendapat dukungan besar di media sosial China. Dikutip dari New York Times, banyak orang yang mengaku terharu hingga meneteskan air mata. ”Jika saya orang Rusia, Putin akan menjadi pegangan saya, cahaya saya,” tulis @jinyujiyiliangxiaokou, pengguna platform Weibo yang mirip Twitter.
Saat itu, isi perbincangan di media sosial China berisi konten pro-perang, pro-Rusia, dan pro-Putin. Terjemahan pidato Putin dalam bahasa China tersebut diunggah situs berita nasionalis dan menjadi viral, untuk sedikitnya telah dibaca oleh setengah juta orang. Video beserta terjemahannya itu juga diunggah di platform Weibo dengan tagar #putin10000wordsspeechfulltext dan mendapat 1,1 miliar penonton dalam waktu 24 jam.
Dukungan kepada Rusia ataupun Putin tersebut diduga datang berasal dari ”Little Pink” yang selalu melakukan aksi secara militan di media sosial. Sentimen pro-Rusia sejalan dengan meningkatnya solidaritas resmi kedua negara tersebut dan memuncak pada 4 Februari 2022 ketika Putin bertemu dengan Xi Jinping di Beijing pada Olimpiade Musim Dingin. Sebaliknya, sentimen kebencian terhadap AS sudah lama dinarasikan dan tertanam dalam benak publik China.
Padahal, sejak awal konflik terjadi, Presiden Xi Jinping lebih berhati-hati saat berbicara dan mengambil sikap atas serangan Rusia ke Ukraina. Melalui Menteri Luar Negeri China Wang Yi, China menyatakan tidak ingin terpengaruh sanksi ekonomi Barat terhadap Rusia. Itulah sebabnya, hingga kini China tidak memberikan bantuan militer kepada Rusia meski hubungan keduanya lebih harmonis daripada antara China dan AS.
Begitu juga dengan masyarakat China umumnya. Mereka justru terkejut dengan adanya sentimen pro-perang yang meningkat di jejaring media sosial. Perdebatan daring di aplikasi WeChat terjadi antara kubu yang mendukung Putin dan yang menginginkan perdamaian terjadi. Di kubu antiperang, banyak pengguna berbagi artikel tentang sejarah panjang China perihal aneksasi Rusia atas wilayah China serta konflik perbatasan dengan Uni Soviet pada akhir 1960-an.
Little Pink
Dalam melihat dukungan warganet China kepada Rusia, perlu dipahami identitas dari Little Pink yang sudah muncul sejak 2016. Seperti namanya, ”Merah Muda Kecil”, kelompok ini awalnya diisi perempuan yang mengaku sebagai aktivis media sosial. Dengan makin berkembangnya kelompok ini, kaum laki-laki yang memiliki pandangan sama pun turut bergabung dalam jaringan aktivis ini.
Sebelum menjadi aktivis media sosial, Little Pink dikenal sebagai kumpulan perempuan muda yang aktif di forum diskusi daring China bernama Jinjiang Literature City (Jinjiang Wenxue Cheng) pada 2016. Awalnya mereka aktif mengikuti kisah cinta yang diunggah di forum daring tersebut. Sampai akhirnya satu per satu anggota ini menunjukkan minat pada politik dan isu nasionalisme hingga kemudian membuat forum daring tersendiri yang dinamakan Fengyi Meishi Luntan.
Di tahun yang sama, nama Little Pink dikenal luas di daratan China hingga Taiwan saat pemilihan presiden pro-kemerdekaan Taiwan, Tsai Ing-wen. Akun Facebook milik Tsai dan grup pro-kemerdekaan Taiwan diserang bertubi-tubi oleh unggahan warganet China yang mengampanyekan Taiwan adalah bagian dari China. Dua kelompok warganet China ini dipelopori Baidu Tieba dan tentu saja Little Pink.
Dengan memilih internet sebagai area pertempuran mereka, Little Pink selalu muncul di berbagai platform daring yang berisi isu politik. Kekhasan kelompok ini unik. Sebab, alih-alih menggunakan kata-kata kasar (sarkasme), mereka menggunakan meme yang menyindir dan kata-kata lembut atau satir. Misalnya, mereka membuat meme dengan metafora keluarga untuk merujuk relasi China dan Taiwan sebagai satu keluarga, membandingkan reunifikasi dengan anak hilang yang kembali ke orangtua atau juga dengan narasi romantis yang memersonifikasikan China dan Taiwan sebagai sepasang kekasih.
Lama-kelamaan, selain pergeseran identitas anggota yang tidak lagi dihuni para perempuan muda, Little Pink mulai menunjukkan determinasi dan semangat militan nasionalisme yang kebablasan. Media massa di luar China kerap menjuluki mereka sebagai kaum jingoistic atau ultranasionalis China. Alasannya, mereka kerap muncul di linimasa media sosial di luar China dan melakukan propaganda secara sporadis yang bahkan tidak rasional dalam argumennya.
Karena karakter khas dari Little Pink, media massa luar membedakan mereka dari 50 Cent Army, kelompok pendengung bayaran Pemerintah China. Little Pink terdiri atas sukarelawan ultranasionalisme, sedangkan 50 Cent Army dibayar Pemerintah China untuk membatasi dan menurunkan (debug) konten-konten di media sosial terkait isu di China. Kesamaan di antara kedua kelompok siber ini, mereka sama-sama mencegah publikasi berita buruk soal pemerintahan China ke masyarakat luar.
Kini, Little Pink lebih digunakan sebagai label di media sosial China dan luar negeri. Perbandingannya, di Indonesia warganet kerap memberikan label kepada sesama pengguna di isu-isu politik, seperti label ”BuzzerRP”, ”kadrun”, atau ”cebong”. Bagi sebagian peneliti siber, keberadaan Little Pink ini menjadi ancaman karena dapat menularkan cara bertindak mereka kepada warganet di belahan dunia lain sehingga muncul kelompok Little Pink lainnya di setiap negara.
Kemanusiaan
Terlepas dari konflik geopolitik, peperangan antarnegara tidak terlepas dari persoalan kemanusiaan. Sejarah dunia sudah mencatat berkali-kali, pecahnya perang lebih banyak menimbulkan kerugian, terutama memakan korban jiwa, hilangnya tempat tinggal, rusaknya tatanan sosial, dan problem pengungsi. Serangan militer yang merenggut banyak nyawa manusia tidak dapat dibenarkan atas nama apa pun.
Dengan sudut pandang kemanusiaan itulah propaganda dan dukungan atas nama ideologi tidak dapat dibenarkan sama sekali. Dukungan kepada Putin yang disuarakan kawanan Little Pink di media sosial adalah tindakan amoral karena mengesampingkan penderitaan para korban perang. Dalam situasi konflik Rusia dengan Ukraina, sebagai pihak luar, seharusnya menaruh simpati terhadap korban dan mengesampingkan kepentingan ideologis.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Adanya informasi tentang mayoritas warganet Indonesia lebih mendukung invasi Rusia ke Ukraina perlu menjadi perhatian dan refleksi bersama. Dukungan warganet Indonesia kepada Rusia juga terpantau melalui aplikasi Talkwalker (10-16 Maret 2022). Sepuluh percakapan terpopuler warganet berisikan konten media massa yang memberitakan keunggulan militer Rusia, seperti senjata yang canggih, kemahiran tentara Rusia, hingga perlawanan Putin terhadap sanksi-sanksi yang diberikan kepada Rusia.
Keberpihakan warganet pada invasi Rusia juga didukung dengan kurangnya informasi yang memadai soal konflik ini. Pemberitaan gratis di media daring cenderung memberikan informasi sepotong-potong dan tendensius demi meningkatkan jumlah pembaca. Informasi yang tidak lengkap itu menjadi bahan empuk untuk dikemas ulang menjadi berita bohong oleh beberapa pihak. Lagi-lagi persoalan literasi digital menjadi akarnya.
Sebuah lompatan logika jika menganggap mendukung Rusia atau Putin sama dengan mendukung para korban perang di Timur Tengah yang melibatkan AS. Pengambilan sikap yang salah juga jika mengedepankan kepentingan ideologi daripada perkara kemanusiaan. Yang pasti, perang bukanlah suatu jawaban. (LITBANG KOMPAS)