Militer Rusia Menghadapi Kekuatan Ukraina dan NATO
Kekuatan militer Rusia jauh di atas Ukraina. Upaya gencatan senjata di antara kedua negara menjadi solusi untuk mencegah perluasan perang.
Invasi militer Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022 hingga saat ini masih berlangsung dengan alot dan berjalan lebih panjang dari perkiraan awal Rusia. Keinginan Rusia untuk mencegah Ukraina bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memang mulai menunjukkan hasil, tetapi arena peperangan tampaknya harus dilalui dengan banyak kendala.
Beberapa analis mengatakan, ”operasi militer khusus” Putin di Ukraina kemungkinan besar telah berjalan tidak sesuai skenario awal. Di lapangan, pasukan Rusia menghadapi perlawanan sengit dari militer Ukraina yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Operasi militer khusus Putin di Ukraina kemungkinan besar telah berjalan tidak sesuai skenario awal.
Tentara Rusia harus berulang kali melakukan regrouping; mereka tampaknya telah kehilangan momentum untuk mewujudkan skenarionya dengan cepat (Kompas, 9 Maret 2022).
Namun, di sisi Rusia tampaknya sudah bersiap bahkan seandainya skala peperangan terus berlangsung dan semakin berkembang hingga melibatkan negara anggota NATO sekalipun.
Jika skenario ini terjadi, alih-alih segera mengakhiri peperangan, justru kawasan Ukraina yang menjadi medan pertempuran akan semakin hancur dan menimbulkan banyak korban. Hal ini karena di atas kertas, NATO dan Ukraina tetap kesulitan mengimbangi kekuatan militer Rusia yang memiliki sejumlah keunggulan.
Dari segi geografis, Rusia diuntungkan dengan mobilisasi pasukan pertempuran beserta kendaraan lapis baja melalui jalur darat relatif mudah. Lokasi Ukraina yang berbatasan darat langsung dengan Rusia membuat pergerakan pasukan Rusia relatif mudah untuk menginvasi dan menguasai kota-kota penting.
Dari segi geografis, Rusia diuntungkan dengan mobilisasi pasukan pertempuran beserta kendaraan lapis baja melalui jalur darat relatif mudah.
Setelah menguasai sejumlah kota penting, Rusia dapat dengan mudah memasukkan alutsista militernya guna pendukung invasi tersebut. Hal ini menjadi relatif sulit bagi Ukraina untuk merebut kembali sejumlah wilayah yang diduduki militer Rusia.
Dari segi jumlah personil militer, Ukraina kalah jumlah secara signifikan. Dari segi persenjataan dan alutsista, Ukraina jauh lebih sedikit dan kalah modern dengan Rusia. Pasukan bantuan dari NATO pun sepertinya tidak akan hadir untuk menambah kekuatan bagi Ukraina karena berbagai hambatan politik dan perhitungan strategis.
Sebagaimana disuarakan Sekjen Nato Jens Stoltenberg, ”Kami bukan bagian dari konflik ini. Kami punya tanggung jawab untuk memastikan konflik ini tidak bereskalasi dan meluas keluar Ukraina. Sebab, itu akan membuat situasi lebih rusak dan berbahaya, dengan penderitaan manusia yang lebih berat lagi. NATO tidak sedang mencari perang dengan Rusia,” pada keterangan pers seusai Pertemuan Luar Biasa para Menteri Luar Negeri NATO di Brussels, Belgia (Kompas, 5 Maret 2022).
Pasukan NATO yang dipersiapkan di sejumlah negara yang berbatasan dengan Ukraina tidak akan bisa berbuat banyak karena NATO sikapnya cenderung pasif untuk konflik ini. NATO hanya memberikan berbagai jenis dukungan militer ringan, senjata antitank, sistem pertahanan udara, peralatan militer, bantuan kemanusiaan, dan juga dukungan keuangan bagi Ukraina.
Pasukan NATO yang dipersiapkan di sejumlah negara yang berbatasan dengan Ukraina tidak akan bisa berbuat banyak karena NATO sikapnya cenderung pasif untuk konflik ini.
Pernyataan Sekjen NATO tersebut menyiratkan bahwa Ukraina harus berjuang sendiri menghadapi Rusia. Selain karena kalah dalam jumlah personil militer dan kualitas persenjataan, Rusia memiliki sejumlah keunggulan lainnya dari Ukraina yang sulit tertandingi. Pertama, dari sisi persediaan bahan bakar, Rusia merupakan salah satu produsen energi yang besar di dunia sehingga mampu mengekspor produk energinya ke sejumlah negara.
Hal ini tentu saja merupakan keunggulan besar bagi Rusia karena relatif mudah mengalihkan sebagian ekspor energinya untuk menyuplai kepentingan militer yang sedang bertempur.
Berbeda halnya dengan Ukraina yang masih mengandalkan sebagian dari pasokan impor guna memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Dalam kondisi darurat sekalipun, Pemerintah Ukraina tetap harus membagi energi untuk kepentingan militer dan masyarakat.
Dalam kondisi darurat sekalipun, Pemerintah Ukraina tetap harus membagi energi untuk kepentingan militer dan masyarakat.
Kedua, dari sisi anggaran militer yang sangat timpang di mana anggaran pertahanan Rusia mencapai 154 miliar dollar AS atau hampir 13 kalinya anggaran pertahanan Ukraina.
Hal ini tentu saja akan membuat daya tempur militer Rusia sangat panjang apabila anggaran tersebut dialihkan hanya untuk keperluan perang. Berbeda halnya dengan militer Ukraina yang daya tempurnya relatif pendek karena anggaran yang jauh lebih kecil dari Rusia.
Opsi perundingan kian dipertimbangkan oleh pemimpin Rusia dan Ukraina. Pilihan untuk terus berperang dapat berakibat buruk bagi Ukraina dan Rusia. Beberapa saat lalu, Presiden Ukraina Presiden Volodymyr Zelenskyy menyatakan tidak lagi mendesak keanggotaan NATO untuk Ukraina.
Masalah itu dinilai merupakan salah satu alasan Rusia meski kini juga menginginkan pengakuan Ukraina atas pendudukan di semenanjung Crimea. Zelenskyy mengatakan, dia terbuka untuk ”berkompromi” pada status dua wilayah pro-Rusia (Donets dan Lugansk). Zelenskyy mengatakan, dia terbuka untuk berdialog (france24, 8 Maret 2022)
Baca juga: Serangan Rusia ke Ukrania Bayangi Gejolak Energi di Eropa
Melawan Aliansi NATO
Betapa pun, invasi Rusia ke Ukraina membuktikan kegigihan Rusia untuk menentang kebijakan barat terkait perluasan ekspansi keanggotaan NATO. Ancaman sanksi ekonomi dan juga gertakan pertahanan kolektif dari semua anggota NATO belum menyurutkan langkah Rusia memperluas invasi militer ke Ukraina.
Keberanian Rusia tersebut sangat besar kemungkinannya karena sejumlah hal. Pertama, sebagian negara Eropa memiliki ketergantungan sektor energi terhadap Rusia. Berdasarkan data dari International Energy Agency (IEA), pada kurun 1990-2020, konsumsi energi di seluruh kawasan Eropa sebagian besar berupa gas alam hingga sebesar 33 persen.
Selanjutnya, konsumsi energi dalam bentuk listrik dan panas sekitar 32 persen dan produk-produk dari minyak bumi 19-an persen.
Dominasi konsumsi energi final berupa gas alam dan minyak bumi tersebut membuat kawasan Eropa memiliki ketergantungan yang relatif besar dari Rusia.
Setiap tahun wilayah Eropa membutuhkan pasokan minyak mentah sebanyak 29 persen, produk minyak jadi 39 persen, produk gas alam cair (LNG) 15 persen, dan sekitar 22 persen natural gas yang didistribusikan melalui pipa gas.
Jadi, apabila sejumlah vendor atau kontraktor migas asing di Rusia berhenti operasi akibat sanksi ekonomi, maka selain akan memberikan dampak buruk bagi Rusia juga akan berimbas buruk pada Eropa, terutama terkait harga energi yang merangkak naik. Naiknya harga energi maka akan mendorong harga lain melonjak mahal sehingga menimbulkan gejolak di masyarakat.
Alasan kedua, keberanian Rusia tersebut didasarkan pada kekuatan militer yang dimilikinya. Berdasarkan data Global Firepower, proyeksi kekuatan militer NATO yang merupakan gabungan perwakilan dari 30 negara ternyata tidak lebih kuat dari kekuatan Rusia.
Baik dari segi jumlah personel militer hingga jumlah alutsista, militer Rusia di atas kertas lebih unggul. Proyeksi kekuatan ini memang hanya sebagian kecil dari kekuatan militer efektif di setiap negara anggota NATO yang digabungkan.
Baik dari segi jumlah personel militer hingga jumlah alutsista, militer Rusia di atas kertas lebih unggul.
Meskipun dalam aliansi NATO tersebut ada sejumlah negara yang militernya tergolong sangat kuat, di antaranya Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, dan Turki, Rusia tampaknya mampu untuk mengimbanginya. Bahkan, lebih unggul 2-3 kali lipatnya dari jumlah kekuatan pasukan dan alutsista NATO.
Artinya, kumpulan negara NATO itu relatif membatasi untuk anggaran terkait pertahanan kolektif tersebut. Bisa jadi, anggaran tersebut akan meningkat apabila ada ancaman bersama yang perlu untuk dihadapi oleh NATO.
Namun, relatif kecilnya anggaran tersebut mengindikasikan bahwa ancaman untuk saat ini bisa jadi dikategorikan relatif minim sehingga kolektif anggaran yang tersedia kini juga kecil. Memang, jika perang betul-betul terjadi antara Rusia dan NATO, proporsi dari anggaran yang disiapkan itu sudah pasti meningkat drastis.
Namun dari semua perbandingan kemampuan militer itu, satu hal yang pasti dari Rusia adalah kemampuan determinasi nuklirnya yang menggentarkan.
NATO menjadi ’terkunci’ oleh strategi politik dan militer Rusia meski hal itu harus dibayar mahal oleh Rusia dengan sanksi ekonomi dan politik.
Sejak awal invasi, Presiden Rusia Vladimir Putin sudah memperingati semua negara NATO bahwa ”satu peluncuran rudal dari negara NATO dianggap serangan nuklir”, serta penyiagaan seluruh arsenal nuklir Rusia menunjukkan ”garis batas” jelas bahwa Putin saat ini siap berperang nuklir demi tujuan di Ukraina.
Dalam perspektif itu, menjadi bisa dimengerti bahwa langkah NATO menjadi ”terkunci” oleh strategi politik dan militer Rusia meski hal itu harus dibayar mahal oleh Rusia dengan sanksi ekonomi dan politik.
Kini dunia menanti hasil dari pembicaraan elite politik Rusia dan Ukraina agar segera menemukan titik temu kesepakatan gencatan senjata yang mampu mencegah terjadinya perluasan perang Rusia dalam invasinya ke Ukraina. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Serangan Rusia dan Lenyapnya Marwah PBB