Perhatian pada situs-situs bersejarah dan pengarusutamaan narasi budaya lokal diharapkan dapat meningkatkan nilai destinasi wisata di Sulawesi Utara. Wisata budaya menyimpan daya tarik tersendiri.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Pengembangan pariwisata di Sulawesi Utara perlu memperhatikan konektivitas antarjenis destinasi. Tidak hanya membangun keterhubungan melalui infrastuktur, upaya pengembangan kawasan juga perlu fokus pada destinasi dengan nilai kultural.
Pada 15 Juli 2019, Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas kabinet menetapkan Likupang sebagai destinasi pariwisata superprioritas (DPSP). Tak pelak, Likupang yang berada di Kabupaten Minahasa Utara menjadi poros baru pariwisata di Sulawesi Utara.
Pengembangan DPSP Likupang terus digenjot meskipun terhadang pandemi Covid-19. Pembangunan jalan, jembatan, area-area pendukung wisata, hingga pembangunan homestay disinergikan untuk mempercantik Likupang.
Penguatan pariwisata juga didukung dengan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang oleh PT Minahasa Permai Resort Development (MPRD).
Pariwisata di Likupang menonjolkan kemolekan alam, seperti taman laut, pantai pasir putih, dan perbukitan savana. Kolaborasi panorama ketiganya diharapkan dapat berpadu dengan kearifan lokal. Salah satunya terjembatani melalui pembangunan homestay.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2020 telah membangun rumah tinggal untuk disewakan kepada wisatawan. Rumah tinggal ini berdiri sendiri atau berada di lantai dua rumah warga. Pengelolaan pun diserahkan langsung kepada warga.
Meski demikian, destinasi wisata Likupang saja tidak akan cukup menarik wisatawan tanpa pengayaan dari jenis destinasi wisata lainnya. Jenis destinasi non-alam perlu turut ditonjolkan di tengah pengarusutamaan pengembangan kawasan Likupang.
Per 2020, Dinas Kebudayaan mendata 170 situs bersejarah yang tersebar di lima belas kabupaten/kota di Sulawesi Utara. Rinciannya, 82 situs purbakala, 49 bangunan bersejarah, 33 makam bersejarah, dan 6 musem.
Di Kabupaten Minahasa Utara sendiri terdapat 11 situs purbakala dan 3 bangunan bersejarah. Sayangnya, destinasi budaya ini masih belum tersorot. Padahal, tawaran wisata non-alam menjadi pembeda yang dapat menarik wisatawan untuk menghabiskan waktu lebih lama.
Salah satu situs bersejarah ikonik dari Sulawesi Utara adalah waruga. Waruga menjadi magnet kuat dalam kajian ilmu-ilmu sosial sekaligus memiliki nilai eksotis yang dapat menarik wisatawan dengan minat khusus.
Waruga atau kuburan batu merupakan makam nenek moyang suku bangsa Minahasa yang dipergunakan sejak masa megalitikum. Di sisi luar waruga umumnya terdapat ukiran flora, fauna, geometris, atau bentuk manusia.
Kata waruga berasal dari waru yang berarti rumah dan ruga yang berarti badan. Artinya, waruga adalah rumah bagi raga. Kementerian Kebudayaan menyebut waruga tidak lagi digunakan dalam ritual pemakaman sejak tahun 1860-an karena larangan dari pemerintah Hindia Belanda.
Di dalam waruga, jasad ditempatkan dalam bagian yang berbentuk persegi dengan posisi duduk atau jongkok lalu ditutup dengan bagian waruga yang berbentuk segitiga sebagai atap. Posisi berjongkok ini dimaknai sebagai posisi awal manusia saat masih dalam kandungan. Jasad yang telah ditempatkan pada waruga dihadapkan ke arah utara sebagai penanda ingatan asal leluhur Minahasa yang berasal dari utara.
Salah satu situs waruga besar di Sulawesi Utara adalah Cagar Budaya Kompleks Waruga Sawangan. Lokasi ini berjarak lebih kurang 57 kilometer dari KEK Likupang dan dapat ditempuh melalui tol Bitung. Sementara dari Kota Manado berjarak 27 kilometer.
Di kompleks ini terdapat 144 buah waruga, baik yang masih dalam kondisi utuh, setengah utuh, maupun rusak. Waruga di kompleks ini dikumpulkan dari waruga yang tersebar di Desa Sawangan. Waruga dipindahkan dari halaman atau kolong-kolong rumah adat Minahasa.
Meskipun memiliki nilai yang sarat akan pengetahuan sekaligus eksotisme, animo pengunjung lokal justru rendah dibandingkan pengunjung dari mancanegara. Juru Pelihara Waruga Sawangan Erni Kalalo menyebut tamu yang datang mayoritas merupakan warga negara asing. ”Orang yang penasaran justru orang-orang luar, untuk penelitian atau bikin film,” ujarnya kepada Kompas, Kamis (27/1/2022).
Sayangnya, kondisi kompleks waruga tidak semuanya terurus. Keterbatasan anggaran dan jumlah kunjungan yang masih sedikit tak pelak memengaruhi perawatan cagar budaya ini. Potret ini menjadi masukan penting dalam upaya pengemasan kawasan pariwisata prioritas.
Tak hanya situs bersejarah, kelana budaya di Sulawesi Utara pun dapat dilanjutkan ke pasar-pasar tradisional. Di pasar, wisatawan dapat mengintip apa saja yang menjadi menu makanan di dapur warga lokal. Salah satunya adalah Pasar Beriman di Kota Tomohon.
Di Pasar Beriman, pengunjung dapat menjelajahi bumbu-bumbu dapur yang khas dipakai warga lokal, mencicipi kuliner, hingga melihat langsung satwa-satwa ekstrem yang dikonsumsi sehari-hari, seperti tikus, kelelawar, dan ular.
Pengayaan destinasi ini diharapkan dapat berdampak pada animo wisatawan dan durasi waktu tinggal. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) ke Sulawesi Utara pada 2020 tercatat sebanyak 23.031 orang.
Angka ini tidak dapat dimungkiri terpengaruh oleh situasi pandemi Covid-19. Sementara di masa normal, dalam rentang tahun 2016 hingga 2020, jumlah wisman dapat mencapai 129.587 orang pada tahun 2019.
Meski mampu menarik wisatawan di masa pandemi, wisman yang datang ke Sulut masih didominasi turis dari China. Pada 2020 tercatat 89,6 persen wisman berasal dari China. Dominasi turis China ini menguat pada tahun 2021.
Pada medio awal 2021, dari 10.000 lebih wisman yang datang ke Sulut, hampir seluruhnya berasal dari China. Artinya, upaya-upaya untuk menarik wisman dari luar China masih diperlukan. Hal ini sekaligus untuk meningkatkan durasi tinggal wisatawan.
BPS turut melaporkan, rata-rata menginap tamu asing di hotel nonbintang di Sulut masih lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional. Pada 2020, tercatat rata-rata menginap adalah 1,85 malam, sementara rata-rata nasional mencapai 2,06. Bali, sebagai tolok ukur wisata di Indonesia, mencatat rata-rata 2,25 malam.
Perhatian pada situs-situs bersejarah dan pengarusutamaan narasi budaya lokal diharapkan dapat meningkatkan nilai destinasi wisata di Sulawesi Utara. Kombinasi cerita di masa lalu dan kearifan lokal yang masih terjaga di masa sekarang menjadi faktor pembeda bagi pariwisata di negeri nyiur melambai ini. (LITBANG KOMPAS)