Tantangan Layanan Publik di Tengah Gelombang Pandemi
Gelombang pandemi yang berkali-kali menerpa telah berdampak besar bagi tatanan pola kerja lembaga negara hingga urusan pelayanan publik. Bagaimana mengatasinya?
Gelombang ketiga pandemi Covid-19 kembali menggoyang stabilitas pelbagai lini kehidupan normal baru. Hal ini juga berdampak pada roda kinerja yang kembali harus melambat karena banyaknya pekerja dan ASN penyelenggara layanan publik yang terpapar Covid-19.
Sejak sebulan terakhir, lonjakan kasus Covid-19 kembali menunjukkan peningkatan signifikan. Dalam catatan Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, tren kenaikan dalam sehari per tanggal 16 Februari 2022 sebanyak 64.718 kasus positif.
Jumlah itu menjadi rekor baru dalam perjalanan badai pandemi di Indonesia yang memasuki tahun kedua. Sehari sebelumnya, tanggal 15 Februari 2022, rekor jumlah penambahan per hari juga telah pecah dengan penambahan 57.049 kasus positif.
Secara resmi pula, tanggal 1 Februari 2022, dengan peningkatan kasus yang kian tidak terkendali, Kementerian Kesehatan memastikan bahwa Indonesia memang telah memasuki gelombang ketiga Covid-19.
Hasil analisis menunjukkan, salah faktor penyebaran virus mengalami lonjakan hebat adalah masuknya varian Omicron yang memang memiliki karakter lebih mudah menular.
Kenaikan kasus Covid-19 hingga menyentuh angka tertingginya tersebut sontak pula kembali menggoyang tatanan kehidupan new normal yang dalam beberapa waktu terakhir dirintis. Termasuk pula mengganggu stabilitas pelayanan publik yang dilakukan di kantor-kantor pemerintahan.
Banyaknya pekerja yang tertular tentulah membuat kinerja pelayanan publik harus melambat. Dalam satu bulan terakhir saja, setidaknya pekerja di beberapa kementerian dan lembaga negara, termasuk pemerintahan di daerah, terpapar Covid-19.
Pada akhir Januari 2022, sebanyak 18 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpapar Covid-19. Lalu pada awal Februari, kabar mengenai kluster Covid-19 di lingkungan lembaga negara datang dari DPR.
Dilaporkan saat itu, tidak kurang dari 152 orang yang terdiri dari anggota DPR, staf, aparatur sipil negara (ASN), dan tenaga ahli terkonfirmasi Covid-19.
Kondisi itu membuat sejumlah agenda rapat dan sidang di parlemen terganggu. Memasuki minggu kedua Februari, Kementerian Hukum dan HAM mencatat setidaknya 1.155 ASN di lingkungan lembaga negara itu terkonfirmasi positif Covid-19.
Di lingkungan penegakan hukum, tercatat 78 pegawai Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkonfirmasi positif Covid-19. Ada pula kabar dari lembaga Mahkamah Konstitusi, yang menyebabkan kinerja sejumlah persidangan harus ditunda karena 75 pegawai dan satu hakim terpapar Covid-19.
Tak sampai di situ, penularan Covid-19 juga banyak terjadi pada pegawai pemerintahan daerah. Di Makassar, sebanyak 18 ASN pemerintahan kota tertular Covid-19 hingga membuat Balai Kota ditutup dan sejumlah layanan publik harus terhenti sementara.
Hal serupa terjadi di lingkungan pemerintahan daerah Kabupaten Tangerang di mana lebih dari 100 ASN pemda setempat harus melakukan isolasi mandiri dan bekerja dari rumah setelah terkonfirmasi positif Covid-19. Padahal, mayoritas dari ASN yang terpapar tersebut bekerja di bagian layanan publik.
Baca juga : Pelayanan Publik Diuji Pandemi
Hambatan pelayanan publik
Banyaknya pegawai yang terpapar Covid-19 tentulah akan mengubah dratis pola kerja hingga kualitas pelayanan yang tidak cukup optimal. Hal tersebut memang telah menjadi catatan penting bagi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi agar lebih siap dan berbenah jika kembali harus berhadapan dengan gelombang Covid-19.
Data Kemenpan dan RB pada perempat bulan awal di tahun 2020 mencatat berbagai laporan keluhan datang dari masyarakat seiring adanya pemberlakuan bekerja dari rumah (work from home) untuk ASN.
Keluhan paling tinggi terkait dengan pengurusan administrasi kependudukan sebanyak 153 dari 348 laporan yang masuk. Kemudian ada pula keluhan terkait pelayanan listrik (116 laporan), perpajakan (40 laporan), perizinan (20 laporan), keimigrasian (11 laporan,) serta minyak dan gas (8 laporan).
Akses masyarakat yang tetap tinggi untuk mendapatkan berbagai layanan sekalipun di tengah kondisi pandemi memang seharusnya mendorong diberlakukannya kebijakan yang dapat mengakomodasi kebutuhan tersebut.
Kebijakan bekerja dari rumah oleh ASN semestinya pula ditopang oleh kemampuan, inovasi, dan kreativitas untuk tetap dapat memberikan layanan bagi masyarakat.
Terkait hal ini, Ombudsman RI pun turut memberikan perhatiannya pada persoalan kinerja lembaga negara karena terdampak Covid-19. Setidaknya ada empat hal penting yang disoroti oleh Ombudsman RI terkait dengan gangguan kinerja, khususnya pelayanan publik, yang timbul pada masa pandemi.
Hambatan pertama, terjadi karena tidak adanya komunikasi antara atasan dan ASN terkait dengan pola dan pembagian kerja. Padahal, komunikasi dan strategi pola kerja yang diterapkan tersebut menjadi hal utama yang sangat penting, misalnya terkait dengan jadwal, distribusi sumber daya pegawai, dan pemenuhan target-target pekerjaan.
Kedua, adanya pembatasan waktu operasional dan distribusi pegawai yang bekerja justru membuat turunnya kualitas pelayanan. Hal itu terjadi karena banyak jam operasional yang berakhir sebelum ketentuan sehingga dalam hal pengurusan administrasi atau perizinan, misalnya, waktu pendaftaran atau penerimaan layanan menjadi lebih singkat.
Gangguan ketiga menyangkut pengawasan terhadap kinerja ASN itu sendiri ketika bekerja di masa pandemi. Dalam hal ini, Ombudsman mengakui bahwa pengawasan internal yang dilakukan untuk melihat kinerja ASN memang masih lemah sehingga justru sering kali melanggar tata laksana pelayanan publik.
Hal terakhir yang juga menjadi hambatan pada pelayanan publik selama pandemi terkait dengan sarana dan prasarana milik instansi publik yang tidak optimal untuk dimanfaatkan.
Baca juga : Kelabakan Melayani Publik Saat Pandemi Covid-19
E-Government
Sekalipun urusan perbaikan sistem kerja lembaga negara dan pelayanan publik merupakan hal yang kompleks, sudah semestinya pula pandemi menjadi momentum untuk bisa mengakselerasi perpindahan model bekerja ke arah yang lebih modern dengan memanfaatkan teknologi.
Terkait hal ini, pemerintah sebetulnya sudah cukup lama menggaungkan model e-government yang memanfaatkan sistem daring yang seharusnya dapat optimal diterapkan ketika kebijakan masa bekerja dari rumah masif diberlakukan.
Meskipun demikian, dalam hal ini terdapat pula tantangan berupa pemerataan infrastruktur hingga kapasitas sumber daya ASN untuk mampu beradaptasi pun perlu dipersiapkan sebelumnya.
Perlu dipahami bersama, sistem kerja secara online atau e-office tersebut sebetulnya memiliki semangat untuk mempermudah kerja-kerja lembaga negara, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik.
Selain itu, kondisi yang serba terdigitalisasi tentu membuat berbagai urusan dapat dilakukan dengan lebih efektif, bahkan lebih mudah, sekalipun dalam situasi yang sulit seperti keterbatasan operasional kantor akibat pandemi.
Jika melihat urgensi tersebut, peningkatan standar pelayanan publik dengan inovasi berbasis digital memang mutlak harus dilakukan. Dengan demikian, berbagai persoalan dan kendala yang ditemukan selama pengalaman di tengah pandemi dapat teratasi.
Terlebih, hal itu penting agar kinerja lembaga negara dan urusan pelayanan publik menjadi jauh lebih siap beradaptasi di tengah pandemi.
Melihat kondisi itu pula, sejumlah hal yang harus dilakukan di antaranya adanya ketersediaan informasi yang jelas mengenai standar pelayanan yang diberlakukan selama masa pandemi.
Hal-hal teknis terkait persyaratan, mekanisme, prosedur, biaya, dan jangka waktu, misalnya, dapat secara efektif diinformasikan kepada publik melalui kanal-kanal digital. Dengan demikian, dalam melakukan interaksi pengurusan layanan dapat lebih efektif, bahkan tidak perlu lagi dilakukan secara manual karena tersedianya sistem secara daring.
Di luar hal tersebut, untuk dapat mendukung terciptanya lingkungan e-government yang optimal di masa pandemi, tentulah kebijakan manajerial juga harus mengedepankan kepentingan penanganan Covid-19 di lingkungan kantor atau tempat bekerja.
Selain memprioritaskan para pegawai terpapar Covid-19 untuk melakukan pekerjaan dari rumah, kebijakan mitigasi di tempat bekerja pun harus diperkuat.
Dalam hal ini, sejak awal masa pandemi Kementerian Kesehatan telah menerbitkan panduan untuk pencegahan Covid-19 di lingkungan bekerja.
Salah satu hal yang paling penting adalah membentuk tim penanganan Covid-19 yang terdiri atas berbagai unsur, seperti pimpinan, bagian kepegawaian, bagian kesehatan dan keselamatan kerja, hingga petugas kesehatan di kantor.
Selain itu, perlu disusun pula kebijakan dan prosedur kepada pekerja untuk melaporkan setiap kasus Covid-19 hingga menentukan pekerja esensial yang perlu datang ke tempat kerja.
Gelombang pandemi yang berkali-kali menerpa memang telah memberikan dampak besar bagi tatanan pola kerja lembaga negara hingga urusan pelayanan publik.
Gelombang pandemi yang berkali-kali menerpa memang telah memberikan dampak besar bagi tatanan pola kerja lembaga negara hingga urusan pelayanan publik. Namun, di satu sisi, hal ini juga semestinya menjadi dorongan untuk pembenahan sistem kerja lembaga negara dan pelayanan publik yang lebih efektif dan mengedepankan teknologi digital.
Publik tentu berharap penyelenggara layanan masyarakat dan seluruh pekerja lembaga negara dapat lebih siap dan bekerja lebih optimal sehingga mampu memberikan layanan terbaiknya sekalipun di tengah kondisi pandemi yang masih tak pasti. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Tak Berhenti Melayani Publik