Menanti Kurikulum Merdeka Menjadi Kurikulum Nasional
Sebagai bagian dari upaya pemulihan pembelajaran, pemerintah akan menerapkan Kurikulum Merdeka yang dikembangkan dengan fokus pembelajaran pada siswa sebagai subyek dan guru sebagai kunci.Bagaimana menyiapkannya?
Kurikulum Merdeka yang baru diluncurkan dengan berbagai keunggulannya, disiapkan untuk menjadi kurikulum nasional pada 2024. Proses transisi dalam dua tahun ini diharapkan dapat mendorong percepatan pemulihan pembelajaran dampak pandemi. Apakah Kurikulum Merdeka menjadi jawaban atas krisis pendidikan selama ini?
Kurikulum merupakan salah satu instrumen yang berperan sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Di Pasal 1 ayat 1 menyebutkan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Kurikulum menjadi pedoman atau pegangan dalam proses belajar-mengajar untuk meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu diperlukan kurikulum pendidikan yang tepat untuk seluruh jenjang pendidikan di Tanah Air.
Namun sepanjang perjalanan sejarahnya, Bangsa Indonesia belum menemukan bentuk kurikulum pendidikan yang pas untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas.
Sejarah mencatat, sejak Indonesia merdeka tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional sudah mengalami beberapa kali perubahan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Paling tidak dari 1947 hingga terakhir 2013 sudah sepuluh kali terjadi perubahan kurikulum pendidikan nasional (1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013). Bahkan seringnya pergantian kurikulum tersebut memunculkan stigma ganti menteri ganti kurikulum yang menempel pada menteri pendidikan.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pergantian atau perubahan kurikulum mengingat perkembangan zaman yang berubah begitu cepat memengaruhi berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk dalam ilmu pendidikan. Sementara kurikulum yang ada belum berhasil mengentaskan problem pendidikan.
Baca juga : Mengapa Kurikulum Merdeka
Mitigasi learning loss
Indonesia masih menghadapi problem krisis pendidikan. Hingga 76 tahun setelah merdeka, mutu pendidikan di Indonesia masih tertinggal, baik dalam tataran kawasan ASEAN maupun global.
Indeks Pendidikan Indonesia tahun 2018 berdasarkan rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP) berada di posisi ketujuh dari sepuluh negara ASEAN. Indeks dengan skor 0,625 itu bahkan masih di bawah Vietnam dan hanya unggul dari Laos, Kamboja, serta Myanmar.
Dalam tataran global, kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains termasuk terendah di dunia yang ditunjukkan oleh skor PISA (Programme for International Student Assessment).
Dalam 10 sampai 15 tahun terakhir, skor PISA Indonesia tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan sekitar 70 persen siswa usia 15 tahun berada di bawah kompetensi minimum membaca dan matematika.
Capaian tersebut menggambarkan mutu pendidikan di Indonesia masih tertinggal dan memperlihatkan kesenjangan antar wilayah maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Kondisi tersebut diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang mengubah sistem pembelajaran menjadi pembelajaran jarak jauh dengan metode daring. Selain mengakibatkan kesenjangan pendidikan semakin lebar, siswa pun mengalami ketertinggalan pembelajaran (learning loss).
Indikasi terjadinya learning loss dilihat dari berkurangnya kemajuan belajar dari kelas 1 ke kelas 2 SD. Hal ini terlihat dari survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang mengambil sampel 3.391 siswa SD dari 7 Kabupaten/Kota di 4 provinsi sebelum pandemi (Januari 2020) dan setelah ada pandemi (April 2021).
Untuk literasi, setelah pandemi terjadi learning loss rata-rata setara dengan 6 bulan belajar dibanding sebelum pandemi. Sementara untuk numerasi terjadi learning loss rata-rata setara 5 bulan belajar. Kondisi lebih parah terjadi pada daerah 3T (Terpencil, Terluar, Tertinggal) yang bisa mengalami learning loss hingga setara dengan 8-10 bulan belajar akibat pembelajaran jarak jauh yang tidak optimal.
Bila hal ini dibiarkan tentu akan membuat mutu pendidikan semakin tertinggal. Padahal di sisi lain Indonesia harus menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing menuju Indonesia emas 2045.
Baca juga : Inovasi Kurikulum Merdeka
Kurikulum merdeka
Untuk itu, diperlukan mitigasi untuk memulihkan mutu pendidikan dan mengatasi learning loss, salah satunya dengan perubahan kurikulum. Hal ini dilakukan merespon temuan survei Kemendikbudristek terkait pelaksanaan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Darurat (Kurikulum 2013 yang disederhanakan) selama masa pandemi.
Dari hasil survei pada 18.370 siswa kelas 1-3 SD di 612 sekolah di 20 kabupaten/kota dari 8 provinsi, terlihat perbedaan hasil belajar yang signifikan antara penggunaan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Darurat. Pemberlakuan Kurikulum Darurat diklaim lebih efektif memitigasi ketertinggalan pembelajaran pada masa pandemi.
Dari sekitar 31 persen sekolah yang memilih Kurikulum Darurat mengalami learning loss sekitar satu bulan, sementara siswa yang masih menggunakan Kurikulum 2013 tertinggal sekitar lima bulan waktu belajar.
Jika direfleksikan ke proyeksi learning loss literasi dan numerasi, penggunaan Kurikulum Darurat dapat mengurangi dampak pandemi sebesar 73 persen untuk literasi dan 86 persen untuk numerasi.
Hal ini menunjukkan penggunaan kurikulum yang lebih sederhana bisa meminimalisir terjadinya learning loss dan mempercepat pemulihan pendidikan yang terhambat akibat pandemi.
Efektifitas kurikulum dalam kondisi khusus semakin menguatkan pentingnya perubahan rancangan dan strategi implementasi kurikulum secara lebih komprehensif.
Oleh karena itu, Mendikbudristek, Nadiem Makarim, pada 11 Februari lalu meluncurkan Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar sebagai episode ke-15 program Merdeka Belajar.
Melengkapi episode ke-7 terkait Sekolah Penggerak, dimana sekitar 2.500 sekolah penggerak dari TK, SD, SMP hingga SMA dan 901 SMK Pusat Keunggulan (SMK PK) sejak Tahun Ajaran 2021/2022 telah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka yang sebelumnya bernama Kurikulum Prototipe.
Paradigma baru perubahan kurikulum ini diarahkan pada struktur kurikulum yang lebih fleksibel, materi yang esensial, memberikan keleluasaan pada guru menggunakan berbagai perangkat ajar, serta adanya aplikasi yang menyediakan berbagai referensi bagi guru untuk terus dapat mengembangkan praktik mengajar secara mandiri. Untuk itu juga telah disiapkan platform merdeka mengajar.
Sebagai bagian dari upaya pemulihan pembelajaran, Kurikulum Merdeka dikembangkan dengan fokus pembelajaran pada siswa sebagai subyek dan guru sebagai kunci.
Satuan pendidikan diberi kemerdekaan untuk menentukan opsi kurikulum mana yang dipakai dalam masa transisi selama dua tahun ini sebelum pemerintah menentukan kebijakan kurikulum pendidikan nasional pada tahun 2024. Apakah Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat, atau Kurikulum Merdeka.
Namun demikian, mengingat guru dengan beragam kapasitas menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini, perlu dukungan penuh terutama untuk daerah-daerah dengan infrastruktur yang tidak memadai agar ketimpangan justru tidak semakin dalam.
Supaya praktik baik dalam transformasi pendidikan benar-benar bisa dipraktikan di lapangan di seluruh wilayah Tanah Air, sehingga target membentuk profil pelajar Pancasila bisa terwujud dan krisis pendidikan bisa dientaskan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kehadiran Kurikulum Merdeka Disambut Sekolah