Perubahan iklim berdampak pada pola tanam, risiko penyakit dan hama tanaman, serta kerentanan lingkungan. Mitigasi dan adaptasi menjadi penting.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Ada 193 juta orang di 53 negara tahun 2021 mengalami rawan pangan akut. Perlu solusi terhadap akar masalah untuk mencegah pemburukan.
Laporan yang disiapkan bersama oleh Global Network Against Food Crises (GNAFC), yang terdiri dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa, Program Pangan Dunia, serta pemerintah dan organisasi nonpemerintah, menyebutkan, keadaan rawan pangan (food insecurity) akut di 53 negara atau kawasan itu berada pada aras krisis atau lebih buruk. Keadaan yang mengkhawatirkan terlihat di 39 negara atau kawasan, jumlah orang dengan rawan pangan akut berlipat dua pada periode 2016-2021 dan krisis pangan tidak mereda sejak 2018.
Situasi pangan global memburuk setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Perang di Ukraina menyebabkan gangguan pasokan pangan global dan meningkatkan harga pangan, memperburuk akses jutaan orang pada pangan. GNAFC mendefinisikan rawan pangan akut sebagai ”keadaan ketidakmampuan seseorang mengonsumsi pangan secara memadai sehingga membahayakan langsung hidup dan kehidupanya”.
Terdapat sejumlah penyebab rawan pangan akut pada 2021. Konflik, biasanya bersenjata, menyebabkan 139 juta orang di 24 negara/kawasan mengalami rawan pangan akut. Jumlah ini naik dari 99 juta orang di 23 negara/kawasan pada 2020.
Cuaca ekstrem memengaruhi 23 juta orang di delapan negara, tahun sebelumnya ada 15,7 juta orang di 15 negara/kawasan. Kejutan ekonomi, terutama disebabkan Covid-19, berdampak rawan pangan pada 30 juta orang di 21 negara. Jumlah ini turun dari 40 juta orang di 17 negara pada 2020.
Kita sependapat dengan rekomendasi GNAFC untuk penyelesaian lebih mendasar pada akar masalah. Harus ada perubahan paradigma melihat persoalan dan penyelesaian masalah. Alih-alih bereaksi saat sudah terjadi, pencegahan dan antisipasi kejadian menjadi sama pentingnya untuk memastikan keberkelanjutan. Bantuan kemanusiaan yang lebih efektif dan efisien, termasuk pendanaan global, menjadi penyelesaian segera jangka pendek mencegah kelaparan dan kematian.
Pelajaran penting dari laporan ini adalah pentingnya peran petani kecil dalam memastikan ketersediaan pangan di tingkat komunitas, lokal, negara, kawasan, hingga global. Petani kecil di garis terdepan berhadapan langsung dengan masyarakat. Teknologi untuk produksi pangan yang lebih baik dan berkelanjutan harus terus dikembangkan dan tersedia bagi petani, terutama di negara miskin dan berpenghasilan rendah.
Indonesia tak tercatat mengalami rawan pangan akut, tetapi antisipasi tetap lebih baik. Perubahan iklim berdampak pada pola tanam, risiko penyakit dan hama tanaman, serta kerentanan lingkungan. Mitigasi dan adaptasi menjadi penting. Tak kalah penting, mengembangkan berbagai pangan pokok lokal di luar beras dan bahan pangan lain berkualitas seraya mengubah selera konsumen dari ketergantungan pada nasi dan tepung gandum.