Hukum adalah sesuatu yang serius. Hukum bukan dagelan. Hakim AS Oliver W Homes Jr mengatakan, “the law is the calling of thinkers”.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Pengesahan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kini tinggal menunggu jadwal rapat paripurna. Sudah paripurna revisinya meski ada kesan dipaksakan.
Sulit untuk menepis prasangka kalau RUU PPP ini sekedar untuk memuluskan kembali langkah UU Cipta Kerja. Salah satu langkah untuk dapat mengoptimalkan implementasi UU Cipta Kerja, yang sebelumnya terganjal di Mahkamah Konstitusi, adalah justru dengan merevisi RUU PPP ini.
Padahal, pembahasan kembali RUU PPP ini merupakah salah satu momen langka. Ini juga kesempatan besar untuk meninjau kembali secara menyeluruh proses pembentukan undang-undang di Republik ini. Kita butuh mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih baik supaya kelak dapat responsif menyelaraskan diri dengan zaman yang sedang berubah.
Peraturan perundang-undangan idealnya dapat dibentuk sedemikian rupa sehingga produknya tidak terkesan hanya melayani kepentingan penguasa. Pembentukan peraturan perundang-undangan semestinya juga melayani kebutuhan dan harapan rakyat. Proses pembahasannya harus sedemikian terbuka dan idealnya terkanalisasi melalui segenap perangkat digital. Sayangnya, hal itu terkesan belum diatur secara komprehensif dalam revisi UU PPP.
Hukum harus disadari juga mengemban fungsi ekspresif yakni mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya, dan keadilan. Mungkinkah fungsi itu tercapai jika UU PPP tidak memberi cukup ruang secara konkret bagi tiap warga atau perwakilan warga untuk mengungkapkan apa itu keadilan bagi mereka.
Perbedaan pendapat dalam revisi UU PPP—justru di antara pemerintah itu sendiri, antara Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Benny Riyanto dan Staf Ahli Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Elen Setiadi mengangkat ke permukaan terkait hal-hal yang belum selesai. Ada kesan terjadi tarik-menarik kewenangan.
Kita sungguh prihatin bila perbedaan pendapat yang esensial itu diselesaikan dengan lobi. Urusan terkait siapa yang berwenang mengundangkan peraturan perundang-undangan, misalnya, sejatinya harus didahului dengan sebuah kajian yang diimbangi pertimbangan mendalam.
Hukum adalah sesuatu yang serius. Hukum bukan dagelan. Hakim AS Oliver W Homes Jr mengatakan, “the law is the calling of thinkers”. Pembentukan hukum, termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan, dengan demikian adalah panggilan bagi para pemikir.
Kita paham mandat pembentukan Undang-undang di tangan DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Mandat pembentukan Peraturan Daerah di tangan DPRD dengan persetujuan pemerintah daerah demikian pula seterusnya. Namun alangkah baiknya bila ada pemikir atau lembaga pemikir yang menyiapkan dan mengawal draft dari peraturan perundang-undangan itu.
Menjadi pertanyaan, siapakah yang menjadi lembaga pemikir itu? Adakah disiapkan lembaga khusus atau dibiarkan saja lembaga-lembaga yang sudah ada bekerja sebagaimana adanya.
Sekali lagi kita ingatkan, revisi UU PPP ini merupakan momen yang berharga. Kita seharusnya dapat dengan komprehensif menyusun UU PPP untuk menyikapi zaman. Mereduksi kesempatan ini hanya untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul secara parsial membuat momen ini sekedar sebagai ajang “revisi” UU PPP. Sayang sekali, seharusnya UU PPP ini menjadi sebuah adikarya demi mendukung pembangunan hukum di Indonesia.