Tak satu pun perdana menteri di Pakistan mampu menuntaskan masa jabatan lima tahun. Ada hal-hal tabu dan garis merah yang tak boleh diterabas PM negara itu.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Berakhir sudah perjalanan Imran Khan, perdana menteri (PM) flamboyan, setelah tiga tahun delapan bulan bertengger di tampuk kekuasaan Pakistan. Ketika terpilih menjadi PM melalui Pemilu 2018, mantan bintang kriket nasional itu bertekad ingin mengakhiri tradisi politik dinasti yang selama puluhan tahun mencengkeram Pakistan.
Melalui Gerakan Pakistan untuk Keadilan (Pakistan Tehreek-e-Insaf, PTI), partai yang didirikannya pada 1996, Khan membangun basis dukungan lewat pesan-pesan populistik di kalangan kelas menengah perkotaan dan warga muda terpelajar yang frustrasi pada korupsi dan politik dinasti. Banyak kalangan menuding, keberhasilan Khan memenangi pemilu tahun 2018 tak lepas dari dukungan militer di belakang layar. Baik kalangan militer maupun Khan menepis tudingan itu.
Tergulingnya Khan (69) dari kursi PM, lewat mosi tidak percaya di parlemen, Minggu (10/4/2022) dini hari, berlangsung saat relasinya dengan militer memburuk. Keretakan relasi dengan militer mulai menganga tahun lalu, terkait penunjukan Letnan Jenderal Nadeem Anjum, yang diajukan militer, sebagai kepala intelijen.
Kerikil tajam berikutnya, yang menandai keretakan relasi Khan dan militer, terkait kebijakan luar negeri. Khan terang-terangan ingin menjauhi Washington dan merapat ke China-Rusia. Posisi ini mencolok dalam isu invasi Rusia ke Ukraina. Khan condong ke Moskwa, melawan arus besar yang dibangun Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Sementara itu, Panglima Militer Jenderal Qamar Javed Bajwa bergerak ke arah sebaliknya: mengecam invasi Rusia dan ingin membangun hubungan dengan AS.
Sudah bukan rahasia lagi, siapa pun PM yang berkuasa, kebijakan luar negeri dan kebijakan pertahanan merupakan area yang tak akan dilepaskan militer. Area itu semacam garis merah dan wilayah tabu militer yang tak boleh diterabas oleh PM. Jangan lupa, militer telah memerintah hampir separuh dari 74 tahun sejarah perjalanan Pakistan. Kondisi ekonomi yang memburuk plus ketidakmampuan Khan mengelola hubungan dengan mitra koalisinya mempercepat dia lengser.
Tampilnya Shahbaz Sharif (70), Ketua Partai Liga Muslim Pakistan (PML), yang juga adik Nawaz Sharif, mantan PM tiga periode, sebagai PM baru menandai kembalinya Pakistan ke jalur politik dinasti. Selama bertahun-tahun kekuasaan di negara itu bersirkulasi hanya pada dua kekuatan besar: Liga Muslim Pakistan (PML), yang dipimpin Shahbaz Sharif, dan Partai Rakyat Pakistan (PPP), yang diketuai Bilawal Bhutto Zardari, putra mendiang mantan PM Benazir Bhutto.
Kedua partai itu dikelola seperti bisnis keluarga. Tak boleh ada yang mengusik jalur kepemimpinan keluarga di dua partai itu. Saat ini, PML dan PPP plus Jamiat Ulema-e-Islam Pakistan (JUI)—juga dikelola dinasti keluarga pimpinan Fazl-ur-Rahman—berkoalisi membentuk pemerintahan. Namun, ketiga partai itu tak banyak memiliki kesamaan platform politik. Mereka hanya disatukan tekad melengserkan Khan. Hal ini tentu menjadi tantangan berat bagi PM Sharif untuk menyelesaikan tugas hingga Pemilu 2023.