Buku adalah produk budaya. Bangsa maju karena rakyatnya terbiasa membaca buku. Mari, berikan buku kepada anak-anak kita.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Buku adalah jendela dunia, dan produk peradaban. Pada 2 April lalu kita merayakan Hari Buku Anak Sedunia, dan 23 April nanti merupakan Hari Buku Sedunia.
Hari buku anak sedunia dirayakan bertepatan dengan ulang tahun Hans Christian Andersen (1805-1875), seorang penulis cerita anak (dongeng) asal Denmark. Karya HC Andersen pun mendunia. Dongeng yang kuat berisikan pesan moral universal itu sejak tahun 1846 dibukukan dan diterjemahkan dalam 147 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Andersen pun menuliskan dalam bahasa Denmark atau Dansk, ”Livet er det dejligste Eventyr. Life itself is the most wonderful fairy tale”. Hidup adalah petualangan terbaik. Hidup merupakan dongeng yang paling indah. Ia percaya, dengan memberikan pengalaman bertualang yang baik, meskipun secara tak langsung, bisa membentuk karakter anak yang baik.
Keyakinan Andersen diperkuat dengan temuan riset Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2020, lebih dari 180 tahun kemudian, yaitu anak usia lima tahun yang dibacakan buku oleh orangtuanya memiliki kemampuan empati, pro-sosial, dan mampu mengatur emosi lebih tinggi ketimbang anak di kelompok usia sama, tetapi tidak dibacakan buku.
Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara berpesan melalui buletin Wasita (Agustus/September 1929): ”Jika anak-anak kita dapat kita didik sebagai anak-anak bangsa kita, agar jiwanya bersifat nasional dan bisa kembali dan memegang kultur bangsa, yang sejak abad lalu tidak cukup hidup dalam dunia kita, karena hidup kita seolah-olah hidup dalam perhambaan, percayalah mereka itu akan merasa puas sebagai anak Indonesia.”
Salah satu cara dalam mendidik anak adalah melalui pemberian buku atau membacakan buku sehingga literasi berbasiskan buku perlu terus dikembangkan.
Namun, saat ini tak mudah mendorong anak, bahkan orangtua, untuk mencintai buku dan menumbuhkan minat baca, khususnya buku cetak. Pandemi Covid-19 menggerus daya beli masyarakat sehingga membeli buku atau bahan bacaan lain bukanlah prioritas.
Masyarakat pun makin terjerat gawai, sulit melepaskan diri dari perangkat teknologi informasi dan digitalnya. Jarang pula kini melihat orangtua yang mengajak anaknya menikmati buku di perpustakaan atau toko buku. Sekalipun mengacu Indeks Kegemaran Membaca 2020, terjadi kenaikan di Indonesia, dari 53,84 jadi 55,74 (sedang).
Masyarakat pun makin terjerat gawai, sulit melepaskan diri dari perangkat teknologi informasi dan digitalnya.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menekankan, cara terbaik menumbuhkan kemampuan berpikir kritis ialah membaca. ”Bacalah buku untuk menjaga semangat kita di tengah situasi penuh tantangan,” ujarnya (Kompas, 27/7/2021).
Daoed Joesoef (1926-2018), yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pun mengingatkan, ”Demokrasi hanya akan berkembang di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.”
Buku adalah produk budaya. Bangsa maju karena rakyatnya terbiasa membaca buku. Mari, berikan buku kepada anak-anak kita.