Sudah sebulan perang di Ukraina meletus. Sangat menyedihkan, tak terlihat akan ada gencatan senjata. Belum terlihat gestur pihak-pihak berkonflik guna menyetop perang.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Rabu (23/3/2022) kemarin adalah tepat sebulan perang di Ukraina, yang diawali serangan Rusia, berlangsung. Kendati baru sebulan, dampak perang sangat mengerikan. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres di New York, Amerika Serikat, Selasa (22/3), menyebut perang di Ukraina sebagai ”perang yang absurd”.
Perang tersebut, kata dia, tidak akan bisa dimenangi oleh siapa pun. Cepat atau lambat, entah kapan waktunya, adu kekuatan di medan pertempuran pasti akan berlanjut ke meja perdamaian. Jika seperti itu siklusnya, seperti perang-perang sebelumnya di Bumi ini, harus menunggu sampai jatuh korban berapa banyak lagi, perang ini akan dihentikan?
Berapa banyak lagi bom harus dijatuhkan? Menunggu berapa banyak lagi kota akan bernasib seperti Mariupol yang sudah luluh lantak? Menanti berapa banyak lagi orang Ukraina ataupun Rusia tewas untuk menyadarkan semua pihak bahwa tidak akan ada pemenang—hanya akan ada pecundang—dalam perang ini? Demikian pesan yang disampaikan Guterres.
Pernyataan orang nomor satu di Markas Besar PBB tersebut sengaja dikutip agak panjang karena isinya mungkin mewakili pikiran kita. Hingga Selasa (22/3), kantor HAM PBB di Geneva mencatat 953 orang tewas dan 1.557 orang terluka dari kalangan warga sipil di Ukraina sejak serangan Rusia. Jumlah korban sebenarnya bisa jauh lebih besar daripada yang tercatat. Kremlin membantah tuduhan bahwa mereka menarget warga sipil. Hanya dalam sebulan ini, lebih dari 3,5 juta warga Ukraina menjadi pengungsi di negara-negara tetangga.
Selama sebulan ini, upaya perundingan antara Ukraina dan Rusia beberapa kali digelar. Seperti diberitakan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyatakan siap berunding dengan Presiden Rusia Vladimir Putin tentang isu apa pun asal perang bisa berhenti. Isu apa pun, kata Kiev, termasuk soal keinginan menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Namun, sudah menjadi pengetahuan umum, perang di Ukraina saat ini bukan konflik Rusia versus Ukraina semata. Perang itu menjadi gambaran konflik lebih besar: Rusia versus Barat/Amerika Serikat. Tanpa menutup mata bahwa Putin-lah yang memulai perang dan bertanggung jawab atas situasi saat ini, tulis profesor hubungan internasional dari Universitas Chicago, John Mearsheimer, di majalah The Economist, Barat harus ikut memikul tanggung jawab atas krisis di Ukraina.
Upaya penghentian perang di Ukraina tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab negara-negara Barat pula, terutama AS. Sejauh ini, belum terlihat gestur mereka meredakan konflik, apalagi keinginan menghentikan perang dan mengupayakan perdamaian di Ukraina. Dengan terus bertindak melalui sanksi unilateral, yang dianggap Rusia sebagai deklarasi perang, langkah Barat itu seperti mengipasi bara perang agar terus menyala. Harus ada upaya dialog.