Semua negara mengutamakan keselamatan rakyatnya saat pandemi melanda. Vaksin dan obat diburu, memicu ketimpangan untuk negara yang tak mampu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Tidak ada yang salah dengan semua itu. Bahkan, Pembukaan UUD 1945 pun mengamanatkan kepada pemerintah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Tidak mengherankan jika 50 negara yang paling dulu melakukan vaksinasi mendapat banyak pujian. China, Inggris dan sebagian besar Uni Eropa, Israel dan sebagian besar Timur Tengah, Meksiko dan mayoritas Amerika Latin, serta Singapura, melaksanakan vaksinasi sejak Desember 2020.
Sebaliknya, Malaysia dan Australia menuai kritik pedas gara-gara terlambat memesan vaksin sehingga tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Warga Malaysia baru mulai divaksinasi Juni 2021 dan Australia akhir Februari 2021.
Rakyat Indonesia termasuk beruntung karena pemerintah sigap memesan dan bekerja sama dengan produsen vaksin. Vaksinasi telah berlangsung sejak 13 Januari 2021 dengan Presiden Joko Widodo sebagai penerima vaksin pertama.
Bisa dibayangkan, bagaimana riuhnya pemerintah setiap negara dalam upaya melindungi warganya. Persoalannya kemudian, bagaimana mengukur kecukupan nasional dan kemudian bersama memikirkan kemaslahatan global?
Kita tahu virus menyebar begitu cepat. Varian Omicron yang dilaporkan di Afrika Selatan, 24 November 2021, tiga minggu kemudian pada 15 Desember 2021, sudah sampai Indonesia. Meski tidak separah varian Delta, ada yang dirawat di rumah sakit dan sebagian meninggal. Mereka yang rentan adalah yang belum divaksinasi, lanjut usia, dan berpenyakit penyerta.
Oleh karena itu, vaksinasi menjadi kunci agar dunia keluar dari pandemi. Sayangnya, target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memvaksinasi 10 persen penduduk di setiap negara, akhir September 2022, masih sulit tercapai. Faktornya adalah 56 negara tidak mampu membeli vaksin, mayoritas di Afrika. Apalagi, memenuhi target vaksinasi 40 persen warga pada akhir 2022 dan 70 persen warga pertengahan 2023.
Dengan produksi vaksin 1,5 miliar dosis per bulan, seharusnya jumlah vaksin mencukupi. Masalahnya, masih banyak negara menyimpan banyak vaksin, sekalipun cakupan vaksinasi lebih dari 50 persen. Namun, di sisi lain, negara miskin tidak mampu melakukan vaksinasi karena persoalan dana, distribusi, dan keterbatasan sarana.
Cara tercepat mengatasi pandemi adalah menjamin ketersediaan vaksin untuk setiap orang di setiap tempat. Oleh karena itu, negara kaya dan industri farmasi perlu legawa mengalihkan vaksin via Covax, suatu kolaborasi global untuk mempercepat pengembangan vaksin dan distribusi yang adil. Tentunya plus bantuan ke negara miskin untuk memperbaiki sarana distribusi vaksin dan fasilitas kesehatannya.
Kita semua terjebak derita yang sama. Hanya dengan bekerja sama dunia bisa dipulihkan. Tidak ada yang selamat sampai semua orang selamat.