Penurunan tingkat keganasan bisa menjadi salah satu pertimbangan meninggalkan status darurat pandemi menjadi endemi, selain cakupan vaksinasi, penanganan dan tata laksana pengobatan, ataupun tingkat kesiapan masyarakat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Maret ini, tepat dua tahun dunia dan Indonesia dalam darurat pandemi, muncul harapan kondisi segera membaik. Kita pun bersiap memasuki tatanan normal baru.
Pandemi memang telah memorakporandakan kehidupan umat manusia. Hingga Rabu (2/3/2022), virus telah menyebar ke 179 negara, menginfeksi 428.999.522 orang, dan menyebabkan kematian pada 5.790.992 jiwa. Kondisi Indonesia juga tidak jauh berbeda. Akumulasi yang terinfeksi mencapai 5.630.096 orang dan 149.036 meninggal.
Meski demikian, di sisi lain, pandemi juga mendorong penemuan vaksin tercepat dalam sejarah. Prosedur pembuatan vaksin yang bisa mencapai waktu 10 tahun hingga siap digunakan dapat dipotong hingga kurang dari satu tahun. Saat ini, di dunia sudah 55,52 dari setiap 100 orang divaksin.
Di Indonesia, 144.505.806 orang sudah komplet mendapatkan vaksin dosis pertama dan kedua. Jumlah ini mencakup 69 persen dari target 208.265.720 orang divaksin agar tercapai kekebalan komunitas (herd immunity).
Kabar baik lain yang layak disyukuri adalah kemampuan manusia beradaptasi dalam situasi pandemi. Penatalaksanaan perawatan kasus Covid-19 berkembang pesat dan para ahli kesehatan di seluruh dunia terus berbagi ilmu. Demikian pula dengan pendidikan jarak jauh, kerja dari rumah, dan berbagai pertemuan rohani dan ekonomi secara daring, yang membuat manusia ”melompat” dalam pemanfaatan teknologi.
Memang, tak dapat dimungkiri bahwa penularan Covid-19 masih akan terus berlangsung. Setelah Indonesia melewati tiga gelombang penularan—varian awal, Delta, dan Omicron—kini kasus mulai turun. Kasus tertinggi terjadi pada 16 Februari 2022 dengan 64.718 kasus positif dan kemudian berangsur turun. Data terakhir (Kamis, 3/3/2022) menunjukkan ada 37.259 kasus positif yang dilaporkan.
Beruntung angka kematian pada gelombang Omicron jauh lebih rendah dibandingkan gelombang Delta. Kalaupun muncul gejala parah bahkan kematian, biasanya terjadi pada mereka yang belum divaksin atau punya penyakit penyerta.
Hal ini mengafirmasi temuan para ahli bahwa varian Omicron tidak seganas Delta meski lebih mudah menular. Penurunan tingkat keganasan ini, menurut Zeily Nurachman, pakar biokimia dari ITB, merupakan bagian dari sifat alamiah virus untuk bertahan. Karena jika terus ganas, ia akan lebih cepat musnah bersama kematian inangnya, yaitu manusia.
Penurunan tingkat keganasan bisa menjadi salah satu pertimbangan meninggalkan status darurat pandemi menjadi endemi, selain cakupan vaksinasi, penanganan dan tata laksana pengobatan, ataupun tingkat kesiapan masyarakat.
Kesiapan masyarakat menjadi faktor penting agar ketika pemerintah resmi menurunkan status darurat pandemi menjadi endemi, tidak terjadi euforia yang merugikan.
Informasi dan sosialisasi perlu terus dilakukan agar semua orang berkesadaran untuk melengkapi vaksinasi, menaati protokol kesehatan, dan ingat menjaga stamina. Mari bersiap, saatnya kita memasuki tatanan normal baru.