Prestasi yang diraih para pebulu tangkis muda pada Kejuaraan Beregu Asia harus diikuti dengan upaya memberi kesempatan bertanding seluasnya kepada mereka.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Hasil manis dipetik tim bulu tangkis putri Indonesia dari Kejuaraan Bulu Tangkis Beregu Asia di Selangor, Malaysia, 15-20 Maret 2022. Gregoria Mariska Tunjung dan kawan-kawan membawa pulang trofi juara setelah pada laga final mengalahkan Korea Selatan, 3-1. Di bagian putra, Chico Aura Dwi Wardoyo dan kawan-kawan harus puas sebagai runner-up setelah menyerah kepada tuan rumah Malaysia, 0-3.
Sukses ini menjadi keberhasilan pertama tim putri pada kejuaraan yang diselenggarakan sejak 2016 ini. Seperti Indonesia, hampir semua negara mengirimkan mayoritas pemain muda ke kejuaraan yang juga menjadi kualifikasi kejuaraan dunia beregu putra-putri, Piala Thomas dan Uber, ini. Praktis hanya tim putra Malaysia yang diperkuat pemain dalam daftar 10 besar dunia, tunggal dan ganda.
Terlepas dari absennya tim kuat bulu tangkis Asia, seperti China, Taiwan, dan Thailand, serta mundurnya tim putri Jepang di semifinal, kemenangan yang diperoleh pebulu tangkis muda ini tetap bernilai. Para pemain pelapis di Pelatnas Cipayung ini memperlihatkan potensi untuk berprestasi. Mereka juga mendapat pengalaman berharga untuk tampil pada kejuaraan beregu serta belajar mengatasi tekanan mental berlaga di partai final.
Namun, kesuksesan ini juga tak boleh membuat para pemain, pelatih, apalagi pembina bulu tangkis nasional, untuk berpuas diri. Pada usia yang sama dengan para atlet muda Indonesia, sejumlah pebulu tangkis muda Asia sudah meraih prestasi jauh lebih tinggi.
Sebut saja Lee Zii Jia, pemain terbaik Malaysia, yang telah bersaing dengan Chico sejak usia yunior. Pada Kejuaraan Dunia Yunior 2016, Chico keluar sebagai runner-up dan Lee meraih perunggu. Lima tahun kemudian, Lee telah menjadi juara All England 2021 dan kini menempati peringkat ketujuh dunia, sedangkan Chico masih berada di peringkat ke-55 dunia.
Para pemain pelapis di Pelatnas Cipayung ini memperlihatkan potensi untuk berprestasi. Mereka juga mendapat pengalaman berharga untuk tampil pada kejuaraan beregu serta belajar mengatasi tekanan mental berlaga di partai final.
Contoh lain adalah Kunlavut Vitidsarn (20), tunggal putra Thailand yang seusia dengan Christian Adinata dan Yonathan Ramlie, dua pemain tunggal yang turut membela tim putra Indonesia di Selangor. Kunlavut, berbekal tiga kali juara dunia yunior (2017-2019), kini menempati peringkat ke-20 dan kerap menyulitkan para pemain papan atas. Adapun Christian dan Yonathan masih berada di peringkat ke-203 dan ke-305.
Di bagian putri, pemain Korea Selatan, An Se-young, yang baru menginjak usia 20 tahun telah menempati posisi ke-4 dunia. Dia memborong tiga gelar juara pada turnamen Indonesia Masters, Indonesia Terbuka, dan Final BWF World Tour dalam tiga pekan beruntun di Bali, akhir tahun lalu. Adapun Putri Kusuma Wardani, yang berusia lima bulan lebih muda dari An, cukup punya potensi. Namun, posisi di peringkat ke-77 dunia membuatnya masih perlu bekerja keras untuk bisa tampil di babak utama pada turnamen BWF World Tour.
Oleh karena itu, Pengurus Pusat PBSI perlu memastikan para pemain muda ini mendapat kesempatan bertanding sebanyak-banyaknya untuk menambah jam terbang dan mengembangkan potensi yang mereka miliki. Dengan demikian, mereka bisa memperbaiki peringkat secara bertahap, dan pada waktunya bisa bersaing pada turnamen level atas dalam rangkaian BWF World Tour.
Di sisi lain, tidak sepatutnya memberi mereka beban berlebihan, terutama kepada pemain yang baru meninggalkan usia yunior. Biarkan mereka berjalan sesuai dengan tahapan agar potensi mereka tidak jalan di tempat, atau bahkan layu sebelum berkembang.