Kecemasan terhadap Pasal 64 dan Pasal 32 UU Cipta Kerja adalah saat produksi dalam negeri tidak lagi menjadi prioritas dalam menyelenggarakan kedaulatan pangan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Mahkamah Konstitusi menetapkan Undang-Undang Cipta Kerja cacat formal dan bisa diperbaiki. Muncul kekhawatiran dampak pada impor pangan.
Mahkamah Konstitusi (MK) tidak membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja sepanjang prosedur pembuatannya sudah diperbaiki dalam dua tahun. Substansi dalam UU ini tetap berlaku meski MK memutuskan tidak boleh ada peraturan strategis baru sampai prosedur pembuatan UU Cipta Kerja diperbaki.
UU Cipta Kerja mengubah sejumlah pasal dalam UU Nomor 18/2021 tentang Pangan dan UU Nomor 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang mengatur impor komoditas pertanian saat stok domestik cukup. Hal ini melemahkan kedaulatan dan kemandirian pangan serta perlindungan petani dan nelayan (Kompas, 9/2/2022).
UU Cipta Kerja menyejajarkan kedudukan pangan impor dengan produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Kecemasan terhadap Pasal 64 dan Pasal 32 UU Cipta Kerja adalah saat produksi dalam negeri tidak lagi menjadi prioritas dalam menyelenggarakan kedaulatan pangan.
Indonesia sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dituntut mengikuti ketentuan di badan dunia yang mengatur perdagangan dunia sebagai cara menumbuhkan ekonomi dan kesejahteraan bagi anggota. Apabila RI dianggap tidak berlaku adil dalam perdagangan antarnegara, WTO dapat mengenakan sanksi dan negara mitra dagang bisa meretaliasi.
Dalam melakukan ekspor dan impor pangan, kita harus mendapatkan manfaat, baik dari sisi nilai dan volume maupun manfaat bagi negara, konsumen, dan petani produsen pangan. Dalam perdagangan dunia yang kompleks saat ini, kita memegang prinsip keunggulan komparatif dan kompetitif. Kita memproduksi dan mengekspor produk pertanian dan olahannya yang menjadi keunggulan kita, seperti minyak sawit, rempah-rempah, dan hasil laut tertentu. Pada sisi lain, kita mengimpor apa yang tidak dapat atau tidak efisien kita produksi, kecuali untuk komoditas strategis, seperti beras. Ini juga untuk menyeimbangkan volume dan nilai perdagangan luar negeri dengan mitra dagang kita.
Dalam hal pelaksanaan UU Cipta Kerja dan undang-undang lain, yang terpenting adalah tersedia peraturan turunannya sebagai panduan dan pemberi kepastian pelaksanaan. Sistem perundang-undangan kita mengenal peraturan pemerintah serta peraturan presiden, menteri, direktur jenderal, hingga gubernur.
Pada tingkat operasional di lapangan, gubernur bertanggung jawab terhadap kecukupan pangan di wilayahnya. Bersama tanggung jawab itu, gubernur berwenang menolak masuknya produk pangan apabila produksi di wilayahnya mencukupi. Pengaturan kewenangan ini demi melindungi konsumen sekaligus petani sebagai produsen.
Esensi dari undang-undang adalah semangat undang-undang itu. Bukan hanya yang tertulis dalam pasal-pasal, melainkan pada pelaksanaannya sampai pengaruhnya dirasakan adil oleh semua pemangku kepentingan pangan.