Perayaan 70 tahun berkuasanya Elizabeth II tak hanya simbol dari kekuatan sosok Sang Ratu. Perayaan itu juga merupakan kristalisasi perjalanan panjang dan tak mudah dari upaya adaptasi salah satu monarki tertua di bumi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Tak ada yang abadi selain perubahan. Hal ini harus disadari betul oleh keluarga monarki. Keengganan beradaptasi dapat membuat monarki berakhir.
Ratu Inggris Elizabeth II menginjak masa 70 tahun berkuasa pada 2022. Untuk ukuran Inggris ataupun dunia, masa kekuasaan selama itu tergolong ”luar biasa”. Khusus di negaranya, baru kali ini ada pemimpin kerajaan yang menempati takhta hingga 70 tahun. Pada 1897, Inggris merayakan 60 tahun berkuasanya Ratu Victoria dan perayaan ini sudah dianggap hebat. Di dunia, hanya ada tiga raja yang berkuasa lebih dari 70 tahun: Raja Thailand Bhumibol Adulyadej, Raja Perancis Louis XIV, serta Pangeran Liechtenstein Johann II.
Sama seperti monarki lain, Kerajaan Inggris dibangun pada awalnya dengan pemahaman, kekuasaan bersifat diturunkan. Raja atau ratu merupakan ”orang pilihan” sehingga nyaris tak bisa dikritik, kekuasaannya pun absolut. Seiring perjalanan waktu, bangsawan menginginkan pembatasan kekuasaan raja/ratu agar mereka bisa ikut memengaruhi politik kerajaan. Gagasan pembatasan kekuasaan semakin luas dan bahkan juga diterapkan bagi bangsawan. Kini rakyat penentu utama arah bangsa yang dimanifestasikan lewat wakil di parlemen. Ada pula mekanisme referendum di Inggris guna memastikan suara rakyat murni menentukan keputusan sangat krusial.
Adaptasi monarki Inggris terhadap perkembangan zaman yang ditandai demokratisasi, kebebasan pers, transparansi, serta akuntabilitas rasanya turut menyebabkan bentuk kerajaan masih hadir di Inggris. Meski ada kubu menghendaki monarki diganti, kelompok yang mencintai kerajaan tetap kuat. Mereka merasa kebebasan tetap terjaga di tengah penerapan monarki yang tentu tak lagi absolut.
Sejumlah negara, terutama di Eropa, biasanya mempertahankan bentuk kerajaan dengan alasan menjaga tradisi, memastikan identitas asli bangsa tak berubah di tengah perkembangan zaman. Di sisi lain, demokrasi tetap dikembangkan, diperluas. Rakyat memiliki kebebasan berpendapat nyaris tak terbatas. Pers bebas mengkritik anggota keluarga kerajaan, ”menelanjangi” mereka jika berkelakuan tak senonoh. Bahkan, nasib raja/ratu, termasuk penentuan keberlanjutan bentuk kerajaan, turut ditentukan rakyat.
Berita anggota keluarga kerajaan yang hidup hura-hura laris manis di tengah masyarakat. Pengeluaran kerajaan pun diamati. Tak boleh ada yang melampaui kepatutan. Semangat itu—demokrasi, kebebasan berpendapat, transparansi, dan akuntabilitas—sesungguhnya menentukan nasib monarki.
Khusus Asia-Afrika, demokrasi serta akuntabilitas masih menjadi persoalan besar di sebagian negara kerajaan, bahkan di negara republik. Jangan sembarangan mengkritik anggota monarki. Dinilai menghina pemimpin, penjara menanti.
Perayaan 70 tahun berkuasanya Elizabeth II tak hanya simbol dari kekuatan sosok Sang Ratu. Perayaan itu juga merupakan kristalisasi perjalanan panjang dan tak mudah dari upaya adaptasi salah satu monarki tertua di muka bumi.