70 Tahun Jatuh Bangun Kekuasaan Ratu Elizabeth II
Di tengah arus perubahan zaman yang begitu cepat, Inggris merayakan 70 tahun Ratu Elizabeth II berkuasa. Tidak mudah menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai ratu, apalagi dengan banyaknya skandal di kerajaan.
Pada hari ini, Minggu (6/2/2022), genap 70 tahun Ratu Elizabeth II menjadi Ratu Kerajaan Inggris. Sejak usia 25 tahun, ia menjadi perempuan terkuat di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Inggris saat menggantikan ayahnya, Raja George VI, yang wafat pada 6 Februari 1952.
Sebelum mangkat, Raja George VI yang meninggal pada usia 56 tahun memang sudah lama sakit kanker yang menggerogoti tubuhnya. Karena itulah, Elizabeth kerap mewakili ayahnya hadir dalam acara resmi kerajaan, termasuk kunjungan ke negara-negara koloni Inggris. Seperti pada hari ayahnya wafat, Elizabeth—dengan ditemani suaminya, Pangeran Philip—sedang berkunjung ke Kenya mewakili ayahnya.
Kepergian Raja George VI membuat Elizabeth, yang saat bertandang ke Kenya berstatus sebagai putri, kembali ke Inggris dengan status baru, yaitu ratu. Sejak saat itu, ia menjadi penguasa Kerajaan Inggris dan yang pertama bisa memimpin kerajaan itu hingga 70 tahun lamanya.
Baca juga: Lomba Puding Nasional untuk Perayaan 70 Tahun Ratu Elizabeth Bertakhta II
Meskipun mulai menjadi ratu pada 6 Februari 1952, puncak peringatan 70 tahun kekuasaan Ratu Elizabeth II (95) atau platinum jubilee dilakukan pada 2 Juni 2022 karena biasanya pada hari ketika ayahnya tiada, Elizabeth lebih suka bersama keluarga. Platinum Jubilee ini termasuk prestasi karena sepanjang sejarah dunia, hanya ada tiga raja yang pernah berkuasa sampai lebih dari 70 tahun. Ada Raja Perancis, Louis XIV, yang berkuasa selama 72 tahun dan 110 hari pada 1643-1715. Lalu Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej yang berkuasa selama 70 tahun dan 126 hari dari tahun 1946 hingga 2016. Kemudian ada Pangeran Liechtenstein, Johann II, yang berkuasa selama 70 tahun dan 91 hari pada tahun 1858-1929.
Peringatan 70 tahun ini akan meriah mengingat baru kali ini terjadi di Inggris. Peringatan 60 tahun Ratu Victoria pada 1897 saja sudah dianggap seluruh dunia luar biasa pada waktu itu. Apalagi sekarang. Harian the Guardian, 27 Desember 2021, menyebutkan perayaan akan berlangsung sepanjang tahun 2022 seperti ketika perayaan perak, emas, berlian, dan safir sebelumnya. Pada acara puncaknya, Juni, akan banyak pesta rakyat, misa thanksgiving, dan pawai. Biasanya, Elizabeth akan menonton dari balkon Istana Buckingham bersama dengan keluarganya.
Namun, kemungkinan tahun ini Elizabeth tidak akan bisa ikut menonton mengingat kondisi kesehatannya yang belakangan melemah. Apalagi mengingat Elizabeth kini sendiri setelah Pangeran Philip wafat tahun lalu. Sejarawan kerajaan, Hugo Vickers, mengatakan Pangeran Philip pernah absen saat peringatan berlian pada 2012 karena sakit. Saat peringatan emas tahun 2002 pun Elizabeth dirundung kesedihan karena kematian adiknya, Putri Margaret, dan ibunya, Ratu Elizabeth.
Baca juga: Ratu Elizabeth Makin Jarang Muncul di Muka Publik
Pada peringatan kali ini banyak yang bertanya-tanya apakah anggota keluarga kerajaan akan hadir lengkap, termasuk Pangeran Harry yang kini tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat, dan Pangeran Andrew (61) yang sedang menghadapi gugatan kasus kekerasan seksual di AS. Gara-gara kasus Andrew, Elizabeth terpaksa melucuti perlindungan kerajaan dan gelar militer anak kesayangannya itu. Skandal di keluarga yang beruntun datang seperti ini bukan kali ini saja datang menggoyang Elizabeth. Pada tahun 1990-an, Elizabeth juga cukup direpotkan dengan kegagalan pernikahan ketiga anaknya dan kematian Putri Diana, istri Pangeran Charles, pada 1997.
Nasib monarki
Selain skandal kekerasan seksual Andrew dan tuduhan rasisme kerajaan terhadap istri Harry, Meghan Markle, akan ada lagi urusan yang bisa mengganggu pikiran anggota keluarga kerajaan, terutama Elizabeth, yakni munculnya pemikiran dari sebagian rakyat Inggris untuk mengakhiri pemerintahan monarki dan beralih ke republik. Alasannya, kata Direktur Eksekutif Republic, kelompok anti-monarki, Graham Smith, karena nasib monarki tidak akan jelas setelah Elizabeth. Sebenarnya nasib monarki ada di tangan parlemen karena mereka yang bisa mengakhiri monarki tetapi kemungkinan harus ada referendum terlebih dahulu untuk membuat keputusan.
Pasalnya, Inggris terbelah dua. Ada yang masih mendukung kerajaan dengan alasan ratu atau raja berfungsi sebagai penjaga kestabilan dan bisa menguntungkan dari sisi perekonomian karena daya tarik pariwisatanya. Sebaliknya, ada kelompok yang menilai kerajaan hanya melindungi anggota keluarga kerajaan yang tidak layak karena perilakunya memalukan. Padahal sebagian operasional kerajaan juga didanai pajak rakyat. "Saya kira monarki sudah tidak penting. Saya juga tidak suka kalau Charles yang jadi raja karena orangnya kontroversial," kata mahasiswa di Windsor, Margaux Butler (20).
Baca juga: Monarki dan Rakyatnya
Pendapat Butler sama dengan anak-anak muda Inggris lain. Setidaknya ini terlihat dari hasil jajak pendapat YouGov pada Mei 2021. Mereka tak peduli lagi dengan sejarah panjang monarki Inggris sejak William Sang Penakluk menginvasi Inggris pada 1066. Sebelum itu pun bangsawan berganti-ganti menguasai kerajaan di wilayah yang kini menjadi Inggris, Skotlandia, dan Wales itu. Menurut jajak pendapat YouGov, anak muda usia 18-24 tahun lebih memilih memiliki presiden. Para pengamat menilai faktor Charles (72) yang membuat sebagian rakyat memilih lebih baik tidak mempunyai raja. Ada yang berharap Pangeran William yang menjadi raja. Kekhawatiran Charles yang akan menjadi raja bisa dimaklumi karena Elizabeth bisa saja menyerahkan tugas dan fungsinya kepada Charles dengan alasan kesehatan atau memilih untuk pensiun dini.
Namun, menurut pakar monarki Inggris di Departemen Sejarah, University of Sydney, Cindy McCreery, tidak umum ada raja Inggris yang pensiun tetapi itu biasa terjadi di monarki Eropa lainnya. Di Belanda, misalnya, Ratu Wilhelmina pensiun setelah Perang Dunia II dan menyerahkan tahtanya pada Putri Juliana. Yang biasanya dilakukan di Inggris adalah mengurangi tugas dan tanggung jawab kerajaan. Seperti yang dilakukan Ratu Victoria. "Ratu Elizabeth II bisa menyerahkan tugasnya sementara ke Pangeran Charles, putra tertuanya, dan menjadi raja sementara tetapi sepertinya tidak akan mau pensiun," ujarnya.
Pada tahun 1936, paman Elizabeth, Edward VIII, turun tahta supaya ia bisa menikahi Wallis Simpson. Menurut aturan pada waktu itu dan ajaran Gereja Inggris, Simpson tidak bisa menjadi ratu karena pernah dua kali bercerai. Edward VIII lebih memilih cinta ketimbang kekuasaan. McCreery berpendapat monarki Inggris tidak akan punah hanya karena Elizabeth turun tahta atau wafat tetapi justru karena memudarnya pengaruh dan kepercayaan pada monarki setelah Elizabeth tiada. "Tetapi bisa jadi monarki masih menarik dan berpengaruh jika Pangeran William yang naik tahta," ujarnya.
Parlemen
Namun, alasan untuk mengakhiri monarki mungkin tak akan cukup hanya karena skandal-skandal keluarga kerajaan. Tetap keputusan di tangan parlemen dan sepertinya tidak ada gelagat Partai Konservatif yang sedang berkuasa akan mengakhiri monarki. Partai Buruh yang kalah pada pemilu 2019 sepertinya juga tidak akan melakukannya mengingat alasan kekalahan mereka karena mantan pemimpinnya dinilai kurang berjiwa patriot. Perdana Menteri Boris Johnson juga pernah menyinggung upaya Elizabeth memastikan monarki tetap menjadi lembaga penting yang bisa menjaga keseimbangan dan kebahagiaan kehidupan rakyat.
Elizabeth juga menyadari mau tak mau kerajaan harus beradaptasi dengan dunia yang juga berubah cepat meski itu tak akan mudah. Sejarawan Estelle Paranque dari New College of the Humanities kepada harian the Guardian, 14 Maret 2021, mengatakan monarki harus menemukan dirinya kembali apapun caranya. Jika tidak berhasil maka monarki akan bisa berakhir karena masyarakat lebih menghargai institusi yang inklusif. Meski anak muda tak suka dengan Charles, sepertinya Charles yang berpeluang menggantikan ibunya. Apalagi ia sudah menunggu giliran naik tahta terlalu lama, sekitar 50 tahun.
Baca juga: Lembaga-lembaga Pendana Kehidupan Mewah Kerajaan Inggris
Penulis biografi kerajaan, Robert Lacey, menilai tugas raja atau ratu utamanya untuk menjaga nilai-nilai bersama dan Elizabeth selama ini memperjuangkan kesetaraan dan keberagaman di negara-negara persemakmuran, hal yang tak lazim dilakukan pada masanya. Charles juga diyakini akan bisa melakukan hal yang sama. Menurut Lacey, Inggris akan berada di posisi rapuh jika memiliki kepala negara. Akan relatif lebih aman dan mudah jika mengakhiri monarki tetapi persemakmuran tetap dipertahankan lalu mengadopsi sistem seperti Irlandia yang memilih kepala negara. "Saya yakin banyak negara anggota persemakmuran yang akan memilih sistem itu sepeninggal ratu," ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)