Kehadiran transportasi publik adalah pula wajah dari sebuah kota. Apakah kota itu modern atau tidak, biasanya dapat dinilai dari angkutan umum yang melayani warganya.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Setelah perdebatan selama bertahun-tahun, di antaranya terkait pembangunan di permukaan Bumi atau di bawah tanah, Kota Paris, Perancis, akhirnya mengoperasikan jaringan kereta komuter sejak Juli 1900.
Jaringan Metro Paris kemudian dibangun secara masif, malang-melintang di bawah tanah. Tiap titik di Kota Paris bahkan berada kurang dari 500 meter dari stasiun. Warga Paris sungguh dimanjakan dengan layanan transportasi publik.
Bagaimana layanan bagi warga Jakarta dan sekitarnya? Tidak lebih baik. Hasil reportase dari jurnalisme data Kompas terkait angkutan umum massal pada Kamis (3/2/2022) dan Jumat (4/2/2022) menemukan fakta menarik. Dari 20,5 juta warga Jabodetabek, ternyata terdapat 8,8 juta warga yang belum terlayani oleh angkutan umum massal.
Pada peta di harian Kompas (3/2/2022) halaman 2 terlihat sejumlah kawasan yang terlayani 1-4 pilihan moda transportasi massal. Di sisi lain, ada banyak kawasan yang sama sekali tidak terlayani. Warga harus menempuh berkilo-kilometer untuk mencapai halte atau stasiun.
Padahal, kehadiran transportasi massal yang andal sangat penting bagi warga kota. Transportasi massal yang andal menjamin mobilitas warga dengan harga terjangkau dan waktu tempuh yang kompetitif dibandingkan dengan kendaraan pribadi.
Ketika di masa depan terjadi kompetisi antarkota (bukan saja kompetisi daya saing antarbangsa), transportasi publik yang andal mutlak ada. Efisiensi oleh transportasi publik tidak hanya mengefisienkan kota, tetapi juga warga kota.
Di Jabodetabek, beberapa waktu belakangan, sayangnya ekspansi infrastruktur jalan tol lebih masif. Jaringan tol lingkar luar Jakarta 2 makin menggurita. Padahal, teorinya, ekspansi jalan tol mendorong lebih banyak kepemilikan kendaraan yang di kemudian hari memicu kemacetan.
Pandemi Covid-19 pun turut ”menantang” transportasi publik. Dua tahun terakhir ini, volume penumpang anjlok. Operator angkutan umum pun kesulitan keuangan sehingga memperlambat ekspansi jaringan transportasi publik.
Peran pemerintah pun menjadi penting dalam membangun transportasi publik. Pemerintah tidak boleh hanya mengandalkan swasta. Subsidi lebih besar harus dikucurkan.
Layanan angkutan umum massal dari waktu ke waktu juga harus dievaluasi. Tidak hanya untuk mempertahankan, tetapi juga untuk meningkatkan standar layanan. Tanpa hal itu, maka mustahil mempertahankan atau menambah jumlah komuter pengguna angkutan umum.
Cara paling efektif bagi pemimpin kota untuk mengevaluasi layanan angkutan umum tentu dengan menggunakan sendiri angkutan itu. Di banyak kota dunia, seorang perdana menteri, aktor, pebisnis bahkan berbaur dalam sebuah moda transportasi umum menuju tempat kerja.
Kehadiran transportasi publik adalah pula wajah dari sebuah kota. Apakah kota itu modern atau tidak, biasanya dapat dinilai dari angkutan umum yang melayani warganya. Tidakkah kita ingin kota-kota kita menjadi lebih modern, sejajar dengan kota-kota dunia lainnya?