Tele, Natumingka, Terlewat
Penanaman pohon di perbukitan Simangulappe di tepi Danau Toba kami dukung, tetapi yang jauh lebih mendesak diperbaiki adalah tanah Natumingka dan Hutan Tele. Mengapa tangisan warga Natumingka luput dari perhatian?
Sebagai warga yang lahir di tepi Danau Toba, saya sangat mengapresiasi kunjungan Presiden Joko Widodo ke kawasan Danau Toba, 2-3 Februari 2022. Masyarakat mengelu-elukan kehadiran Presiden Jokowi dengan pekik: ”Horas. Selamat datang dan damai sertamu.”
Presiden dari simpang Sibisa naik sepeda motor menuju Pantai Bebas Prapat sejauh 11 kilometer, mau melihat langsung infrastruktur. Tentunya juga menikmati udara segar dan pemandangan indah seputar Danau Toba. Hari kedua Presiden membagikan sertifikat tanah dan menanam pohon di Simangulappe dan tempat lain.
Saya percaya rangkaian acara Presiden sudah dirancang matang. Sayang, ada yang terlewatkan, yaitu meninjau hutan Tele dan Tanah Adat Natumingka.
Hutan Tele sebagai sumber air terbesar ke Danau Toba seharusnya menjadi prioritas karena sudah tercabik-cabik. Sampai saat ini mana batas hutan lindung, hutan adat, dan batas hutan produksi yang dikuasai oleh PT TPL belum jelas. Penebangan pohon berlangsung masif.
Merunut ke belakang, janji Presiden kepada Togu Simorangkir saat bertemu di istana, Agustus 2021, adalah menanam pohon di lokasi hutan alam yang rusak akibat ulah perusahaan dan orang tak bertanggung jawab.
Penanaman pohon di perbukitan Simangulappe yang berada di tepi Danau Toba kami dukung, tetapi yang jauh lebih mendesak diperbaiki adalah tanah Natumingka dan Hutan Tele. Mengapa luput dari perhatian? Tangisan warga Natumingka mengapa belum dijawab?
Kami sangat berharap Presiden datang lagi atau setidaknya memerintahkan jajarannya melihat kondisi riil di Hutan Tele. Ini agar debit air ke Danau Toba terjamin dan persoalan tanah Natumingka dengan PT TPL dapat dijembatani. Tangisan kaum ibu di Natumingka dalam demo melawan PT TPL (Selasa, 18 Mei 2021) yang mengakibatkan puluhan warga luka merupakan bentuk perlawanan yang tidak bisa lagi dibendung.
Hutan Tele harus dipertahankan mengingat salah satu rekomendasi UNESCO dalam menetapkan Danau Toba sebagai UNESCO Global Geopark (7 Juli 2020) adalah mengembangkan geologis dan menjaga warisan alami berupa hutan alam dan keanekaragaman hayatinya.
Pastor Moses Elias Situmorang, OFMCapBiara Kapusin Kamerino, Desa Panombean, Kabupaten Simalungun, Sumut
Transportasi Publik
Seorang pakar perkotaan mengatakan, wajah kota tergambar dari wajah transportasinya. Selama dua hari (3–4 Februari 2022) Kompas mengupas masalah transportasi publik di Jabodetabek.
Menarik untuk disimak, 8,8 juta warga Jabodetabek sulit mengakses transportasi publik dan adanya ketimpangan antara cakupan layanan kota Jakarta (96,1 persen) dengan kota penyangga Bodetabek (26,2 persen). Jakarta beruntung memiliki beragam moda transportasi, termasuk KRL, MRT, LRT, bus Transjakarta.
Di kota-kota besar lainnya, warga sebenarnya punya harapan transportasi yang nyaman, lancar, dan terjangkau. Kenyataannya, transportasi publik di perkotaan sangat kompleks dan dipengaruhi berbagai faktor variabel termasuk tata kota dan kemajuan teknologi informasi.
Sayangnya, terkesan pemerintah kurang siap mengantisipasi. Belum ada kebijakan ataupun strategi yang tepat. Akibatnya, masyarakat memilih naik kendaraan pribadi, termasuk kendaraan bermotor beroda dua.
Akibatnya, jumlah kendaraan pribadi melonjak pesat dan perbandingan kendaraan pribadi dengan umum semakin timpang. Implikasi selanjutnya sudah dapat ditebak: kemacetan di mana-mana, konsumsi BBM melejit dan tentu saja polusi. Kerugian atas kemacetan sudah bernilai triliunan rupiah.
Pada akhirnya warga hanya bisa berharap kepada pemerintah untuk sungguh-sungguh mencari solusi. Berbagai strategi dan kebijakan bisa dibuat asal ada kemauan politik yang kuat.
BharotoKelud Timur I, Semarang
Kenangan Jadi Penjual Koran
Tak disangka, pada 3 Februari 2022 ada surel dari Kabar Kompas, mengingatkan bahwa aku pernah mengirim tulisan di salah satu rubrik Kompas. Sebagai bentuk apresiasinya, aku dapat akses gratis konten digital di Kompas.id selama 1 bulan.
Waktu muda dulu, naskahnya ditik, dikirim melalui kantor pos. Aku pernah mengirim ke kolom Bahasa Kita mengenai kata pertanggungan jawab-pertanggung jawaban. Dimuat dan dapat honor, dikirim melalui pos wesel.
Aku pun jadi ingat masa lampau, saat berjualan koran. ”Koran koran, Berita Yudha, Kompas, Abadi, Pedoman, Harian Kami, Angkatan Bersenjata, Suluh Marhaen... Koran, ” kataku setiap hari, pukul 06.00-10.00. Aku berjalan di Jl Gunung Sahari, Jl Bungur Besar dan sekitarnya, tahun 1965-1969. Usia 13-17 tahun.
Dari beberapa koran tersebut, Kompas yang hingga kini masih terbit. Penyajian berita dan pendekatan yang khas—seperti ketentuan mengirim tulisan, alasan jika tulisan kita tidak dimuat, dan tidak mengklaim tulisan kita jadi miliknya—kiranya antara lain membuat Kompas maju.
Terkenang, seorang pejabat di Koperasi Angkatan Laut setiap pagi membeli Kompas dan hari Jumat koran El-Bahar. Beliau baik dan simpatik. ”Nanti aku ingin menjadi seperti beliau,” begitu pikirku.
Sering juga bapak-bapak yang sedang bersantap di suatu rumah makan membeli koran. Di hadapannya terhidang makanan minuman yang tampak lezat. Terpikir, ”Semoga suatu saat nanti aku pun bisa makan seperti ini.”
Ada pula pasangan suami-istri yang suka membeli koran di rumah yang bagus. Terpikir, ”Semoga aku pun nanti bisa demikian. Plus menikah usia 25 tahun, naik haji usia 40 tahun.”
Dengan berjualan koran, selain mendapat penghasilan, aku bisa membaca berita, pendapat para tokoh, hiburan, dan yang lainnya sehingga aku tegar dalam hidup.
Aku berjualan koran karena ekonomi orangtua kurang. Setelah lulus SD di Desa Maleber Kabupaten Kuningan, Juni 1964, Bibi (adik ibu) membawa aku ke Jakarta. Ia memasukkan aku ke Perguruan Da’wah Islamiyah bagian Mu’allimin, diterima di kelas II karena lancar membaca Al-Quran. Tinggal bersama Bibi, pagi membantu paman berjualan gado-gado, siang sekolah.
Aku pernah menjual rokok, lalu ganti koran. Usai shalat Subuh berangkat ke Lapangan Banteng, belanja koran dan majalah, terus menawarkan.
Hasilnya bisa untuk membayar biaya sekolah, membantu orangtua, dan biaya sekolah dua orang adik di kampung.
Beberapa impian di masa lalu alhamdulillah kesampaian. Profesi berjualan koran berlanjut menjadi staf redaksi di Penerbit Buku NV Bulan Bintang. Aku kerja sambil kuliah. Lulus sarjana hukum 1976, aku pindah ke perusahaan asuransi. Tahun 1980 pindah ke Bank Ekspor Impor (Eksim) Indonesia.
Aku menikah tahun 1977. Saat dinas di Jayapura, Bank Eksim bergabung menjadi Bank Mandiri tahun 1999. Aku ikut program pensiun sukarela dan kembali ke Jakarta.
Ahmad SayutiJl Cipinang Lontar II, Pulo Gadung, Jakarta Timur
Perpanjangan SIM
Saya hendak menyampaikan kesulitan yang saya alami saat hendak memperpanjang SIM, nomor 80021205974538 atas nama Ferdinand.
Pada 21 Januari 2022 (sebulan sebelum jatuh tempo masa berlaku SIM) saya mendatangi Kantor Satlantas Polres Parepare, Jalan Andi Isa.
Namun, petugas tidak bisa melayani perpanjangan SIM saya. Katanya, setelah dicek di aplikasi internal, nomor SIM saya tidak teridentifikasi. Padahal, SIM masih berlaku sampai 21 Februari 2022. SIM dibuat ketika saya tinggal di Jakarta dan sekarang saya berdomisili di Kota Parepare.
Saya kemudian mencoba memperpanjang SIM melalui aplikasi Digital Korlantas. Namun, upaya gagal pada bagian verifikasi dokumen, saat saya memasukkan nomor SIM.
Saya menghubungi Korlantas Polri lewat aplikasi Whatsapp 0811-9152-600 dan 0811-8689-088 sekalian memohon pengecekan nomor SIM saya. Namun, jawaban tidak memuaskan.
Saya mohon Kepolisian RI menindaklanjuti agar proses perpanjangan SIM saya dapat segera dilakukan.
FerdinandJl HAM Arsyad, Parepare, Sulawesi Selatan