Ia menjadikan sastra sebagai ruang untuk bersuara, terutama mewakili kelompok minoritas.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·5 menit baca
Norman Erikson Pasaribu (32) berjalan kaki di sekitar St Paul’s Cathedral, London, Inggris, Selasa (3/5/2022). Saat ditemui, ia tengah bersukacita. Kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Happy Stories, Mostly diumumkan sebagai salah satu buku yang masuk dalam daftar panjang penghargaan bergengsi International Booker Prize 2022.
Penghargaan ini adalah perayaan karya fiksi terbaik yang diterjemahkan dari seluruh dunia. Buku norman bersaing dengan 12 penulis dunia, termasuk penulis, aktivis, dan peraih nobel sastra asal Polandia, Olga Tokarczuk. Selain bersaing di International Booker Prize, karyanya juga meraih penghargaan Republic of Consciousness Prize 2022.
Meski mendapat sejumlah penghargaan, kehadiran Norman di London rupanya bukan untuk menghadiri seremoni. Ia singgah untuk mengikuti residensi menulis Metal Culture, yang diselenggarakan oleh Penn English. Pantas saja, ia terlihat santai. Norman mengenakan pakaian kasual, kontras dengan mereka yang melintas di sekitarnya.
Selain mengikuti residensi, selama di Inggris Norman juga menjadi pembicara dalam panel diskusi Home and Diaspora in the East and South-East Asian Communities yang diselenggarakan oleh komunitas Free Books Campaign. Residensi, menurut dia, adalah kegiatan melepaskan diri dari rutinitas dan menemukan suasana baru untuk menulis.
Di sebuah restoran cepat saji di London, Kompas bertemu dengan Norman. Saat itu, sekitar pukul 19.00, langit di London masih cerah. Orang-orang berlalu-lalang sepulang kerja. ”Suasananya seperti di SCBD, ya?” katanya. Daerah St Paul’s Cathedral memang cukup elite. Di sekitarnya banyak gedung perkantoran, hotel, kafe, restoran, dan stasiun.
Sambil menikmati makan malam, Norman menceritakan perjalanan di dunia sastra. Norman suka membaca sejak kecil. Ayahnya yang bekerja sebagai wartawan dan ibunya yang berjualan di pasar kerap membelikan majalah dan koran bekas. Kegemarannya semasa kecil adalah membaca majalah Bobo. ”Aku termasuk terlambat membaca, baru bisa membaca kelas III SD. Begitu bisa membaca, aku tidak berhenti,” katanya.
Norman kecil melahap semua bacaan, mulai dari tulisan di koran, majalah, sampai buku. Mengingat buku termasuk barang mahal, ia baru bisa mendapatkan buku baru pada hari spesial, seperti kenaikan kelas, ulang tahun, atau Natal. Buku-buku yang dibacanya semasa kecil menjadi jendela yang membuka pengetahuan dan mengukir imajinasinya.
Ketika membaca buku seri Harry Potter, karya JK Rowling, pikiran Norman terbuka. Ia menganggap dunia tulis-menulis bisa menjadi jalan karier dan memberikan pemasukan. Selanjutnya, perkenalannya dengan karya dari Chairil Anwar menjadi pintu masuknya ke dunia sastra.
Meski sudah membaca sastra sejak kecil, ia baru mulai menulis saat remaja. Ia kerap menulis puisi di buku harian. ”Kalau dihitung, aku sudah nulis ratusan puisi bertemakan cinta dan patah hati,” ujarnya, sambil tertawa. ”Sekarang sebisa mungkin tidak menulis tema itu lagi. Masih eksplorasi perasaan, tetapi perasaan enggak cuma cinta, ada kesepian, bahagia, anxiety,” katanya.
Semasa remaja, ia memproses pengalamannya sebagai queer, istilah payung untuk mereka yang mengidentifikasi dirinya bukan heteroseksual, melalui tulisan. ”Aku membayangkan puisi sebagai wadah untuk menampung perasaan yang intens, biar enggak jebol,” ujar Norman.
Sekalinya menulis, ia tidak pernah berhenti. Ketika masih menjadi pegawai, ia bahkan meluangkan waktu khusus setiap hari sepulang kerja untuk mempelajari teknik menulis deskripsi agar tulisannya menarik, tidak membosankan, dan membekas di benak pembaca.
Meski sudah berusaha keras, Norman merasa puisinya kurang berkembang. Berkali-kali tulisannya ditolak oleh penerbit. Ia kemudian mulai menulis cerita pendek. Tidak lama setelah itu, tulisannya dimuat di media cetak. Karya berjudul Sepasang Sosok yang Menunggu masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas 2012. Pelan tapi pasti, kariernya di bidang sastra mulai mengalami kemajuan.
Norman semakin semangat berkarya. Kumpulan cerita pendek berjudul Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu diterbitkan oleh GPU pada 2014. Namun, tak mau terlalu jauh dari dunia yang dicintai, ia kembali menulis puisi. Koleksi puisinya berjudul Sergius Mencari Bacchus memenangi hadiah pertama Kompetisi Naskah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015. Karya itu juga terpilih dalam Penghargaan Sastra Khaulistiwa 2016 untuk Puisi.
”Aku inget banget untuk ikut sayembara minimal menulis 50 halaman. Buku aku 51 halaman, mepet banget,” ujarnya.
Pada 2017, seorang penerjemah, Tiffany Tsao, menawari kerja sama. Setelah diterjemahkan, karya Norman dikirimkan ke puluhan jurnal sastra. Setelah berkali-kali ditolak, karya Norman diterbitkan oleh jurnal sastra Cordite Poetry Review yang berbasis di Australia.
Begitu satu pintu terbuka, pintu-pintu lain mengikuti. Karya Norman mulai muncul di media-media lain. Ia pun kembali meraih penghargaan Southeast Asian Young Writer Award from Southeast Asian Literature Council (2017). Masih bekerja sama dengan Tiffany, ia juga menerjemahkan dan menerbitkan buku kumpulan cerita Happy Stories, Mostly.
Situs the Booker Prize menuliskan, Happy Stories, Mostly menjadi karya perpaduan kuat antara fiksi ilmiah, absurdisme, ada realisme historis alternatif yang bertujuan untuk mendestabilisasi dunia heteronormatif. Sebelumnya, penulis Eka Kurniawan (2016) juga masuk daftar panjang melalui karya Man Tiger yang diterjemahkan Labodalih Sembiring.
Penghargaan yang berpusat di Inggris itu sudah ada sejak 2005. Penghargaan itu ditujukan bagi penulis yang mempunyi karya fiksi berbahasa atau diterjemahkan ke bahasa Inggris.
Norman menuturkan, keberhasilannya masuk dalam dalam daftar panjang penghargaan bergengsi International Booker Prize 2022 sekaligus menunjukkan pentingnya profesi penerjemah untuk menjadi jembatan karya sastra Indonesia agar dikenal dunia. Sayangnya, di Indonesia profesi ini masih kurang dihargai.
Buku Happy Stories, Mostly merupakan kumpulan cerita lama Norman yang ditulis sekitar tahun 2018. Sebelumnya, buku tersebut terbit dengan judul Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya. Hal yang menarik, judul buku ini diambil setelah ia mendapatkan komentar dari pembaca yang menganggap karyanya penuh dengan kisah orang-orang menderita.
Norman kemudian membalikkan komentar itu menjadi judul buku. Ia juga sekaligus menjadikan sastra sebagai ruang untuk bersuara, terutama mewakili kelompok minoritas seksual di Indonesia.
Norman Erikson Pasaribu
Buku Terjemahan:
Happy Stories, Mostly (diterjemahkan oleh Tiffany Tsao, 2021)
Sergius Seeks Bacchus (diterjemahkan oleh Tiffany Tsao, 2019)
Buku lainnya:
Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya (2020)
Sergius Mencari Bacchus (2016)
Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu (2014)