Putra Wali Aco terinspirasi prasi lontar Mandar untuk menciptakan karya seni cetak grafis.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·6 menit baca
Telaah akulturasi budaya suku Mandar, Sulawesi Barat, di Bali memberi seniman cetak grafis Putra Wali Aco (25) inspirasi . Pria kelahiran Polewali, Mandar, yang menetap di Bali itu mengolah inspirasi prasi lontar tradisi masyarakat Bali hingga mengantarnya menjadi juara di medan seni Tarung Grafis di Bandung baru-baru ini.
Aco mengalahkan 25 seniman peserta Tarung Grafis lainnya di Galeri Lawangwangi yang karya-karyanya dipamerkan pada 13 Mei hingga 5 Juni 2022. Ini sebuah hajatan Tarung Grafis yang pertama. Kubu Bali dan Yogyakarta mengisi pertarungan karya seni cetak grafis tersebut.Setiap kubu menyertakan 13 peserta. Aco kebetulan dari kubu Bali yang dimotori Devy Ferdianto. Devy adalah pendiri Devfto Printmaking Institute di Bali dan Aco kebetulan menjadi salah satu asisten Devy.
Kubu Yogyakarta dimotori Syahrizal Pahlevi. Pahlevi adalah pendiri Miracle Prints Artshop & Studio di Yogyakarta. Pahlevi pun memelopori penyelenggaraan Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) di Yogyakarta.Di ajang Tarung Grafis, Aco menyertakan karya berjudul ”Ramayana 1”. Ia menggunakan teknik foto intaglio berbasis prasi lontar di Bali dan membuat dua edisi di atas kertas berukuran 100 sentimeter x 70 cm. Kemenangan Aco terasa lebih menarik ketika ia mengajak turut serta menjelajahi alam pikiran serta jejak perjalanannya dari Mandar ke Bali.
Aco semasa kecil di Mandar didera rasa sepi akan citra seni rupa. Ia tumbuh dan mulai mengenal Bali. Di Bali diketahuinya penuh keanekeragaman bentuk seni, terutama Aco merasa lebih tertarik dengan seni rupa di Bali. Aco pun merawat dan menyimpan keinginannya untuk pergi ke Bali.Rasa rindu terhadap seni di Mandar pernah disalurkan Aco lewat aktivitas menari. Pada tahun 2012 hingga 2015, Aco bergabung ke Sanggar Tari Tie-Tie di Polewali. Dia belajar menari tradisi Mandar.
Suatu saat di periode itu sempat pula Aco ikut mementaskan sebuah tarian tradisi Mandar di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Ia mengingat judul tariannya, yakni Patodo. Ini sebuah tarian yang menunjukkan keelokan menunggang kuda.
Selepas lulus SMA pada 2015, Aco memutuskan ingin kuliah di Bali. Atas keinginan diri sendiri, ia mendaftar dan diterima kuliah di Jurusan Pendidikan Seni Rupa di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja.
”Di Undiksha, saya belajar hampir semua jenis seni untuk kepentingan menjadi seorang pendidik seni. Akan tetapi, di situ saya tidak belajar salah satu jenis seni secara mendalam,” ujar Aco yang dihubungi pada hari Minggu (15/5/2022).
Di Undiksha, Aco sempat melihat karya seni cetak grafis yang dibuat kakak angkatannya. Lalu, dia pun jatuh cinta pada seni cetak grafis. Ia memilih menekuni teknik cetak cukil kayu, salah satu varian teknik seni cetak grafis, yang diajarkan di Undiksha.
Aco merampungkan kuliah pada 2019. Setahun berikutnya, Aco memutuskan melanjutkan studi jenjang S-2. Ia mendaftar dan diterima di Program Pascasarjana Program Studi Penciptaan Seni Grafis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kemampuan Aco di bidang seni cetak grafis semakin terasah.Prasi Mandar Sewaktu kecil, Aco pernah melihat prasi lontar sebagai bagian dari tradisi menulis suku Mandar. Prasi merupakan guratan di atas daun lontar. Ukuran prasi lontar Mandar lebih lebar ketimbang prasi lontar Bali. ”Prasi Mandar isinya hanya tulisan, sedangkan prasi lontar di Bali bisa berisi tulisan, juga gambar-gambar,” ujar Aco.
Prasi lontar Mandar berisi tulisan-tulisan untuk keperluan keseharian. Ini bisa berisi cara-cara membangun rumah, atau cara-cara menjalankan suatu ritual tradisi Mandar.Perbedaan prasi Mandar yang hanya tulisan, dan Bali yang bisa dilengkapi gambar-gambar, itu memicu kecamuk di benak Aco. Ia mulai tertantang. Di Bali, Aco menantang diri untuk menghidupi khazanah budaya suku Mandar dengan citra seni rupa.
Semasa kuliah pada 2017, Aco sempat menyinggahi suatu wilayah desa di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Di situ Aco menjumpai komunitas suku Mandar. Seisi desa sangat pekat dengan budaya Mandar.
”Bahasa sehari-hari yang digunakan bahasa Mandar. Saya juga bisa bahasa Mandar,” kata Aco, yang juga menjumpai toleransi di desa itu juga dijunjung sangat tinggi.
Komunitas Suku Mandar di desa itu mayoritas beragama Islam. Ketika hari raya Nyepi, mereka membantu umat Hindu beribadah. Begitu pula ketika hari raya umat Islam, umat Hindu membantu kelancaran perayaan keagamaan.
Di Gerokgak, Aco menyalakan imajinasi seni rupa berbasis budaya suku Mandar. Ia memungut sebuah narasi dari buku I La Galigo tentang seorang raja di Mandar yang memiliki ibu berasal dari Bali.
Aco tergerak untuk membuat bentuk rupa narasi tentang kisah raja yang semasa menjadi pangeran pernah bertandang ke Bali, ke tempat asal ibunya. Ia mengacu bentuk wayang Kamasan, yang menjadi salah satu tradisi di Bali, untuk membangun narasi bergambar tentang raja Mandar tersebut.
”Saat ini, saya masih terus meriset kisah itu dan mengembangkan ke dalam bentuk seni cetak grafis. Literasinya memang masih sangat terbatas,” ujar Aco.
Dalam perjalanan mempelajari seni cetak grafis, Aco menemukan bahwa prasi mewakili teknik intaglio di dalam ranah pengetahuan seni cetak grafis modern. Ia merasa sangat beruntung. Dia bisa banyak belajar ragam teknik seni cetak grafis di Devfto Printmaking Institute, di bawah asuhan Devy Ferdianto, selain dari studinya di ISI Yogyakarta.
”Belakangan ini, saya mengembangkan teknik foto intaglio. Saya mengambil foto-foto peristiwa lama untuk saya jadikan karya seni cetak grafis,” ujar Aco.
Karya berjudul ”Ramayana 1” yang dimenangkan di Tarung Grafis juga hasil pengembangan teknik foto intaglio. Akan tetapi, itu bukan dari foto suatu peristiwa di masa lalu, melainkan dari sebuah prasi lontar tradisi Bali yang menceritakan kisah Ramayana.
Aco memperbesar citra prasi tersebut. Ia membagi menjadi dua bagian dalam satu kesatuan bidang cetak. Sisi kiri terdapat empat bentuk persegi panjang yang berselang-seling dengan lima persegi panjang di sisi kanannya.
Bentuk-bentuk persegi panjang itu mewakili bentuk prasi lontar. Di sisi kiri berwarna dominan biru dengan citra gambar Rahwana dalam satu kesatuan utuh. Di sisi kanan berwarna dominan coklat muda dengan citra gambar komik kisah Sinta yang tertarik Kijang Kencana, hingga berhasil diculik Rahwana.
Aco mentransfer citra prasi ke lempeng tembaga sebagai acuan cetak. Teknik intaglio pada dasarnya menciptakan guratan di lempeng tembaga tersebut. Kemudian tinta dimasukkan ke dalam guratan hingga bisa ditransfer ke kertas dengan mesin pres.
“Saat ini saya juga sedang belajar teknik litografi. Ini yang paling sulit karena semuanya mengandalkan rasa,” ujar Aco, seraya menambahkan, teknik litografi sebagai cetak datar dengan langsung menggambar di batu dengan pensil khusus untuk ditransfer ke kertas sebagai media cetak.
Aco ternyata memendam kisah panjang yang menarik. Kemenangan Aco di Tarung Grafis bertitik tolak dari sepotong perjuangannya. Dia tidak hanya sekadar menciptakan karya estetis dari seni cetak grafis. Dengan prasi lontar, Aco merekatkan Mandar dan Bali.
Putra Wali Aco
Lahir: Polewali, 18 Januari 1997
Pendidikan :
S-1 Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja, Bali (2015–2019).
S-2 Program Pascasarjana Program Studi Penciptaan Seni Grafis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (2020–sekarang)
Prestasi :
Karya Terbaik untuk pameran Tarung Grafis di Galeri Lawangwangi, Bandung (2022)
Finalis 3rd ASEAN Graphic Arts Competition di Vietnam (2020)
Finalis International Printmaking and Paper Art Show di Jakarta (2018)