Jessica Chastain, Cinta bagi yang Terpinggirkan
Ketiga kalinya masuk sebagai nomine, Jessica Chastain (45) akhirnya membawa pulang Piala Oscar di kategori bergengsi dalam bidang seni peran: pemeran utama terbaik perempuan.
Ketiga kalinya masuk sebagai nomine, Jessica Chastain (45) akhirnya membawa pulang Piala Oscar di kategori bergengsi dalam bidang seni peran: pemeran utama terbaik perempuan. Kemenangannya lewat peran sebagai televangelist yang berpikiran terbuka dan bersikap inklusif menguatkan simpul empati tanpa sekat pada kelompok dan golongan apa pun.
Bergaun emas-ungu keluaran rumah mode Gucci, Chastain menerima peluk dan cium dari suami, Gian Luca Passi de Preposulo, sebelum menuju ke podium kemenangan. Namanya diumumkan oleh peraih pemeran utama terbaik pria Academy Awards 2021, Anthony Hopkins, pada Minggu (27/3/2022) malam waktu setempat, di Dolby Theatre, Los Angeles, Amerika Serikat.
Masuknya dia sebagai salah satu nomine pemeran terbaik di ajang tahunan ini bukan yang pertama. Pada 2012, Chastain dinominasikan sebagai pemeran pendukung perempuan terbaik atas perannya sebagai Celia Rae Foote dalam filmThe Help (2011). Setahun kemudian, Chastain yang berperan sebagai analis CIA dalam film Zero Dark Thirty (2012) dijagokan meraih pemeran pendukung perempuan terbaik.
Tahun ini, untuk ketiga kalinya, perempuan kelahiran Sacramento, California, AS, ini menjadi nomine dan berhasil. Chastain unggul atas empat pesaingnya. Mereka adalah Kristen Stewart dan tiga lainnya, yakni Olivia Colman, Penelope Cruz, dan Nicole Kidman, yang pernah menggenggam Piala Oscar untuk kategori pemeran terbaik pada tahun-tahun sebelumnya.
Semula, Kidman atas perannya di film biografi Being The Ricardos (2021) yang telah mendapat predikat pemeran perempuan terbaik dalam ajang Golden Globe Awards 2021 diunggulkan akan menang. Namun, nyatanya perannya sebagai televangelist Tammy Faye dalam film biografi berjudul The Eyes of Tammy Faye (2021) membuktikan dirinya layak. Terlebih dalam ajang bergengsi lainnya, yakni Screen Actors Guild Award, justru Chastain yang menang.
Chastain memang sempat diragukan mampu memerankan sosok Tammy Faye. Apalagi film yang diadaptasi dari dokumenter berjudul sama milik sutradara Fenton Bailey dan Randy Barbato ini diproduseri juga oleh Chastain. Ia pula yang ikut mengembangkan naskah dan memilih sutradara Michael Showalter untuk memimpin produksi.
Keputusannya berani memainkan peran ini, meski ia juga duduk sebagai produser, diambil selama bertahun-tahun. Gagasan mengadaptasi film ini muncul ketika Chastain baru saja rampung membintangi Zero Dark Thirty. Tak ada niatan untuk turut membintanginya karena dia sendiri sempat ragu apakah mampu.
Di sela-sela bermain dalam film lain, Chastain berulang kali menonton dokumenter milik Bailey dan Barbato. Ia juga berbincang dengan keduanya dan keluarga Tammy Faye untuk mendapatkan gambaran nyata. Hingga muncul panggilan telepon dari Presiden Searchlight Pictures David Greenbaum yang mengultimatum film ini akan lanjut atau dihentikan.
”Aku tidak pernah siap sesungguhnya. Selalu ada sesuatu yang perlu dipelajari dan aku selalu minta lebih banyak waktu untuk mendalaminya ketika peran itu disodorkan padaku,” ujar Chastain dalam wawancaranya dengan LA Times akhir tahun 2021.
Dukungan yang penuh dari banyak pihak, terutama dari Bailey dan Barbato, pun meyakinkannya. ”Dia (Chastain) benar-benar bertransformasi. Tidak hanya dari penampilannya, tetapi juga dari cara bergeraknya, suaranya, cara bicara, hingga cara bernyanyinya. Dia menghidupkan kembali dan dia mengambil kisah penting dari Tammy,” ujar Barbato.
Memang, ketika melihat Chastain sebagai Tammy Faye muda, mengingatkan pada perannya sebagai Celia dalam film The Help dengan model rambut yang hampir mirip. Namun ketika menjadi Tammy yang wara-wiri di layar kaca dan berbagai acara sebagai penginjil, Chastain berhasil melebur dan sulit dikenali.
Memanusiakan manusia
Tammy Faye sendiri merupakan sosok menarik yang kemudian menjadi seorang penginjil bersama mantan suaminya, Jim Bakker. Mereka membuat acara yang sukses diminati warga Amerika, yaitu The PTL Club atau Praise The Lord Club. Dalam acara itu, mereka memberikan motivasi dan petuah bijak berdasarkan garis agama.
Hingga satu hal yang dilakukannya membuka mata para kalangan religius. Tammy Faye menjadi penginjil pertama yang mewawancarai seorang gay bernama Steve Pieters dengan HIV/AIDS di televisi. Hal ini tentu menimbulkan kontroversi.
Namun, Tammy digerakkan oleh rasa kemanusiaan. Bahwa agama semestinya bukan menjadi batasan. Tuhan lewat ajarannya mengajarkan kasih sayang dan empati tanpa memandang siapa dan apa latar belakang paling pribadi sekalipun. Itulah yang dituturkan Chastain lewat film kali ini. ”Saya merasa itu perlu diperbaiki dan orang perlu tahu tentang apa yang sebenarnya dilakukan Tammy saat itu,” ungkap Chastain.
Dalam pidato kemenangannya di panggung Oscar yang disiarkan jaringan ABC dan Disney, Chastain mengaitkan juga dengan persoalan kesehatan mental. Ibu dari dua anak ini memang bersinggungan dengan masalah kesehatan mental. Pada 2003, adik perempuannya, Juliet, ditemukan bunuh diri. Ia pun sempat mengalami gangguan kecemasan ketika awal mengenyam pendidikan di Juilliard.
”Masa-masa sulit yang dialami orang-orang, dipenuhi dengan banyak trauma dan isolasi, dan begitu banyak orang di luar sana yang merasa putus asa sehingga merasa sendirian. Ini menyentuh banyak keluarga, terutama anggota komunitas LGBTQ yang sering merasa tidak pada tempatnya. Ada kekerasan dan kejahatan, bahkan kebencian yang diabadikan pada orang tak berdosa di seluruh dunia,” tutur Chastain.
Terlebih dengan pandemi saat ini, kondisi yang kian sulit bagi kaum yang termarjinalkan, bagi orang-orang yang bergelut dengan kesehatan mental tanpa mendapat dukungan yang dibutuhkan. Angka bunuh diri yang meningkat seiring dengan maraknya kekerasan di dalam rumah yang semestinya menjadi ruang aman menjadi sorotan.
”Untuk siapa pun di antara Anda di luar sana yang merasa putus asa atau sendirian, saya hanya ingin Anda tahu bahwa Anda dicintai tanpa syarat karena keunikan Anda,” tegas Chastain menutup kemenangannya malam itu.
Lewat kehangatan perempuan, empati dan cinta kasih merangkul siapa pun tanpa label apa pun.
Teater
Ketertarikan Chastain terhadap dunia seni peran dan sastra dirasakannya sejak muda. Bahkan, ia kesulitan beradaptasi dengan dunia akademis dan kerap menyendiri. Teater memberinya ruang untuk berkembang. Pada 1998, ia mencicipi panggung profesional lewat karya berjudul Juliet yang diadaptasi dari tulisan William Shakespeare.
Setelah lulus kuliah, Chastain mulai terlibat dalam berbagai serial sebagai figuran dan tetap bermain di panggung teater. Hingga pada 2008, ia memulai debutnya di film berjudul Jolene yang membuatnya memenangkan penghargaan pemeran terbaik perempuan di Seattle International Film Festival.
Tiga tahun kemudian, kariernya di dunia seni peran makin moncer. Enam film yang dibintanginya rilis pada 2011 itu. Beberapa di antaranya, seperti Take Shelter (2011), The Tree of Life (2011), dan The Help (2011), bahkan mengantongi banyak penghargaan di berbagai ajang film dan festival. Chastain pun ikut diakui kontribusinya.
Hingga dia bertemu dengan sutradara Kathryn Bigelow yang pernah meraih Piala Oscar lewat The Hurt Locker dan mendapat peran dalam film Zero Dark Thirty yang mengantarkannya pada berbagai penghargaan. Setelah itu, deretan film apik pun didapatkannya, seperti Interstellar (2014), The Martian (2015), Miss Sloane (2016), Molly’s Game (2017), hingga mini seri Scenes from A Marriage (2021). (LA TIMES/CNN/REUTERS)
Jessica Michelle Chastain
Lahir: Sacramento, California, AS, 24 Maret 1977
Pendidikan: Juilliard School
Penghargaan:
- Best Actress Academy Awards 2022 – The Eyes of Tammy Faye
- Best Actress in a Motion Picture-Drama Golden Globe Awards 2013 – Zero Dark Thirty
- Outstanding Performance by Female Actor in a Leading Role Screen Actors Guild Awards 2022 – The Eyes of Tammy Faye