Fibriantoni (43), warga Palangkaraya menyelematakan beragam tanaman endemik hutan hujan tropis di Kalimantan Tengah. Ia percaya suatu saat nanti banyak tanaman endemik bakal punah karena masifnya investasi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Sore itu, awan mendung menyelimuti Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Mendung itu membuat rumah di Jalan Semeru nomor 23 menjadi makin gelap. Tak ada yang mengira rumah itu menjadi tempat berlindung puluhan spesies kantong semar (Nepenthes, sp) yang diselamatkan Fibriantoni (43).
Rumah atau nursery garden yang menjadi tempat perlindungan spesies kantong semar terlihat kontras jika dibandingkan dengan rumah di sekitarnya. Di sekitarnya banyak ditumbuhi rumput liar. Pagar rumah dipenuhi gulma, besi-besinya berkarat, temboknya berlumut. Daun-daun kering berserakan di bawahnya. Begitu melewati pagar, bisa terlihat anggrek masih tertanam baik di tembok-tembok atau di pohon di depan rumahnya.
Terdapat satu meja kayu dengan dua kursi kayu panjang di sisinya di teras yang menjadi ruang tamu. Semua jendela di rumah itu tak berkaca, kayu-kayu di sisi jendela menghitam bekas terbakar.
Tak ada daun pintu di rumah itu. Dindingnya pun terlihat kusam. Ada beberapa jenis kantong semar yang sulurnya menjuntai dan panjang, ada pula yang kerdil dan pendek. Kantong-kantong semar di rumah itu beragam warna, ada yang bintik merah, dan serba hijau. Hijau daun membuat napas lebih segar di antara puing bekas terbakar.
Rumah itu tak lagi beratap, hanya ditutupi paranet hitam untuk menghalau sinar matahari. Selain kantong tanaman jenis karnivora monotypic ini, rumah dipenuhi anggrek hitam (Coelogyne pandurata).
Saat ini, tanaman karnivora terdapat sekitar 117 spesies, baik hibrida alami maupun budidaya. Selain di Indonesia, tanaman karnivora bisa ditemukan di China selatan, Thailand, dan Malaysia. Catatan Taman Nasional Sebangau, keanekaragaman tertinggi tanaman karnivora terdapat di Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan ada 31 jenis Nepenthes. Di Indonesia terdapat 103 jenis Nepenthes yang sudah dipublikasikan.
Fibri bercerita, tahun 2001 rumah itu dibakar oleh orang dengan gangguan jiwa. Semua harta benda hangus, termasuk ratusan tanaman anggrek hutan dan kantong semar ikut ludes. Hal itu melukai hati Fibri dan keluarganya.
Kantong semar dan anggrek hutan yang ludes itu menjadi kenangan Fibri akan ibunya yang memang gemar memelihara tanaman. Tak ingin kenangan itu hilang begitu saja, Fibri memanfaatkan rumah tersebut untuk tanaman. Dia bertekad mengembalikan suasana rumah yang ramah dengan tanaman.
Fibri yang mengenakan kaus abu-abu, celana jins sobek di bagian lutut, dan sandal jepit terlihat gesit berjalan di atas ubin berlumut. Ia sedang mengajari salah satu pengunjung yang datang ke nursery garden mengenai cara menyilang tanaman. Ilmu yang ia dapat secara otodidak. Meski terkadang tangan Fibri terlihat gemetar saat memegang benda, mata dan tangannya masih bisa fokus mengambil pollen (serbuk sari) anggrek ke anggrek lainnya.
Selain mengurus tanaman, ia sering diminta menjadi mentor untuk para penggemar tanaman hias. Di sekitar Taman Nasional Sebangau, misalnya, ia sudah melatih puluhan ibu rumah tangga untuk memilah tanaman hias agar bisa dijual.
”Selama ini, banyak yang belum tahu. Ada yang motong-nya kayak motong kangkung, ada yang jadi makanan kambing, macem-macem. Setelah dikasih tahu caranya, tanaman hias punya nilai ekonomi,” ungkap Fibri, Jumat (11/2/2022).
Menyebar bibit Fibri juga sering memberikan secara gratis bibit-bibit Nepenthes kepada para penggemar tanaman hias. Harapannya, niat melestarikan Nepenthes bisa terus hidup.Tidak mudah mendapatkan semua tanaman yang dirawat Fibri. ”Sebagian besar spesies yang ada di sini saya ambil dari sisa-sisa hutan yang sudah rusak atau sudah dibuka, diganti sawit,” kata Fibri.
Fibri mengingat kembali saat pergi ke Gunung Mas, ia tak sengaja berhenti di sebuah lahan yang saat itu sedang dibuka oleh ekskavator. Dari kejauhan ia melihat beberapa jenis kantong semar, bahkan ada yang dilindungi, seperti jenis Nepenthes tentakulata, Nepenthes veitchii, dan Nepenthes hirsuta.Tanaman langka itu dibawa ke rumah. Dengan tekun, Fibri merawatnya, hingga kemudian dikembalikan ke kawasan hutan lindung. Ia memastikan bahwa tanaman itu bakal tetap hidup.
Setelah itu, ia berburu tanaman lain di lahan yang mulai tersudut pertambangan atau perkebunan sawit. Dari Kabupaten Gunung Mas yang jaraknya mencapai 180 kilometer dari rumahnya hingga ke Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, yang jaraknya lebih dari 320 kilometer. Dia melintasi jalanan yang penuh lubang dan lumpur.
Meski tak mengenyam pendidikan biologi, Fibri hafal ratusan nama Latin spesies tanaman endemik di Kalteng. Kini, Fibri memiliki 12 spesies kantong semar yang terdiri dari sembilan spesies hasil budidaya dan sisanya merupakan hibrida alami. Ia pun mahir mengawinkan beberapa spesies hingga melahirkan spesies kantong semar baru yang cantik.
Menurut Fibri, tanaman ini memiliki banyak manfaat, tak hanya bagi ekosistem, tetapi juga bagi masyarakat Dayak di Kalimantan. Dulu, tanaman ini digunakan para pemburu sebagai botol minum, khususnya untuk kantong semar yang tubuhnya tertutup daun. Hingga kini, para ibu rumah tangga suku Dayak menggunakannya untuk menanak nasi atau tanaman obat untuk menyembuhkan batuk.
”Memang ada yang menjualnya sebagai tanaman hias, tetapi tanaman ini punya banyak manfaat lain,” kata Fibri.Bukan tanpa tantangan, nursery garden itu pernah dihajar banjir beberapa tahun lalu. Fibri yang sebelumnya memiliki 500 spesies anggrek dari seluruh Indonesia kini hanya tersisa 50 spesies anggrek. Beberapa pot kantong semar pun hancur berantakan. Ia mulai kembali membangun, kali ini dengan lebih sedikit anggrek dan lebih banyak Nepenthes. ”Ini ke depan kalau tidak ada yang menyelamatkan ya bakal punah. Anak-anak saya nanti tidak kenal lagi dengan Nepenthes yang katanya maskot atau ikon tempat kelahirannya,” ungkap Fibri.
Gerakan kecilnya untuk menyiapkan rumah tanaman langka itu berhasil memberikan perlindungan bagi yang langka dan terancam punah. Selama ini, tanaman itu mungkin dianggap benalu atau tak terpikirkan di tengah masifnya investasi di atas hutan.