Amini, Penyebar ”Virus” Guru SLB di NTT
Amini adalah guru SLB pertama di Kota Kupang sejak 1994. Selama puluhan tahun, ia membagi pengalaman kepada guru lain bagaimana merawat dan membimbing anak berkebutuhan khusus.
Nama Amini di kalangan pendidikan luar biasa di Kota Kupang tidak asing lagi. Selama 28 tahun berkecimpung di dunia pendidikan luar biasa, Amini telah meletakkan dasar pendidikan SLB di Kota Kupang, bahkan di 22 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur. Yayasan Asuhan Kasih, SLB pertama di NTT yang dipimpinnya, melahirkan ratusan guru SLB. Para lulusan pun menjadi mandiri di tengah keterbatasan yang ada.
Saat ditemui di Kupang, Rabu (9/2/2022), Amini mengatakan, Yayasan Asuhan Kasih berdiri tahun 1970, mulai beroperasi 1975. Ketika itu, pihak yayasan kesulitan mendapatkan tenaga guru sekolah luar biasa (SLB). Kebanyakan guru lulusan sekolah pendidikan guru atau SPG.
Amini lulus diploma pendidikan guru sekolah luar biasa di Solo, Jawa Tengah, 1993, lalu berangkat ke Kalimantan Timur mencari kerja. Di Samarinda, ia mendengar kabar dari kakak ipar yang sedang mengajar di Politeknik Pertanian Negeri Kupang bahwa ada lowongan guru SLB di Yayasan Asuhan Kasih.
”Saya bersama suami ke Kupang, melamar, dan langsung diterima di sekolah ini. Saya satu-satunya guru yang berijazah pendidikan luar biasa saat itu. Dengan pengetahuan yang ada, saya melatih beberapa guru dengan latar belakang ijazah SPG. Mereka pun menjadi guru terampil bidang pendidikan luar biasa,” tutur Amini.
Meski demikian, tidak mudah mendapatkan siswa anak berkebutuhan khusus (ABK)saat itu. Orangtua masih merasa malu memperkenalkan ABK ke publik karena menganggap kondisi anak itu sebagai kutukan atas perbuatan orangtua. Mungkin juga orangtua atau pihak keluarga belum paham mengenai keberadaan sekolah itu.
”Saya dan suami mencari calon siswa ABK di Timor Tengah Selatan, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara, dan sampai ke Kabupaten Belu, sejak 1995-1999. Anak-anak itu dibiarkan orangtua tinggal di rumah. Saat itu, masih banyak orangtua merasa malu dan tidak memperkenalkan anak-anak berkebutuhan khusus kepada publik,” kenangnya.
Perempuan kelahiran Magetan, Jawa Timur, ini mengisahkan, lebih dari 100 anak dibawa ke Kupang untuk masuk asrama Asuhan Kasih. Ada tunarungu, tunagrahita, tunanetra, down syndrome, dan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar di sekolah. Orangtua pun diberi pemahaman agar rela melepas anak-anak itu ke Kupang.
Anak-anak itu dipisah di dua ruang asrama, yakni putra dan putri, dengan bapak dan ibu asrama masing-masing. Di asrama itu mereka diajari kemandirian hidup, seperti mencuci, membersihkan kamar mandi, memasak, menyapu rumah, menerima tamu, dan saling berbagi. ”Awal tiba, sangat sulit mengatur mereka menjadi mandiri,” kata Amini.
Melatih guru
Akan tetapi, saat itu, guru dengan latar belakang pendidikan berkebutuhan khusus hanya Amini. Tujuh guru lain berlatar sekolah pendidikan guru (SPG). Amini pun memberi pelatihan kilat kepada para guru agar bisa berperan menghadapi anak-anak dengan latar belakang kebutuhan yang berbeda-beda itu.
Modal dasar menjadi guru SLB adalah kesabaran, kasih sayang, dan pengetahuan praktis mengenai keterbatasan yang dialami setiap anak didik, yang dibina, dan latar belakang setiap anak. Setiap anak memiliki buku catatan khusus dari guru pendamping mengenai perkembangan harian masing-masing anak.
Setiap kemajuan siswa dicatat, kemudian disampaikan ke orangtua untuk dilanjutkan di rumah. Kerja sama antara sekolah dan orangtua sangat diperlukan dalam mendidik ABK. ”Namun, sering terkendala karena ada orangtua menganggap sekolah bisa melakukan semua itu, apa yang dilakukan di sekolah tidak dilanjutkan di rumah,” tuturnya.
Peraih penghargaan guru penggerak khusus SLB Nasional tahun 2021 ini menuturkan, pendidikan SLB itu diberlakukan terhadap mereka yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran pada umumnya. Ada kelainan fisik, kelainan emosional, dan kelainan mental sosial, tetapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Namun, soal kecerdasan dan keistimewaan ini tidak dipahami banyak orang, termasuk orangtua dan keluarga di NTT. Sampai dengan tahun 1990, kebanyakan orangtua membiarkan anak-anak ini mendekam di dalam rumah dan enggan diperkenalkan ke publik.
Pada 1980, SLB Negeri Pembina di Kota Kupang berdiri. SLB itu pun kesulitan guru sehingga beberapa guru dari SLB Asuhan Kasih dikirim ke sekolah milik pemerintah itu. Amini pun sering hadir di sana, memberi pelatihan dan pendampingan terhadap guru-guru yang direkrut dari lulusan SPG saat itu.
Waktu terus berjalan. SLB milik pemerintah mulai hadir di 22 kabupaten/kota di NTT. Mereka pun mengalami kesulitan guru berlatar belakang pendidikan SLB. Amini diminta bantuan untuk memberi pelatihan kepada calon guru pendamping ABK. Calon guru SLB itu datang ke Kupang mengikuti pelatihan di Yayasan Asuhan Kasih.
Sementara di SLB Asuhan Kasih, para siswa mengikuti terapi bicara dan kemandirian hidup bagi anak autis. Keterampilan membaca, menulis, berpidato, puisi, dan menghitung bagi mereka yang lambat belajar. Bidang keterampilan, yakni tata boga, tata rias, busana, desain grafis, otomotif, dan teknologi informasi komputer. Bidang olahraga, Asuhan Kasih meraih beberapa penghargaan tingkat provinsi, nasional, bahkan internasional cabang sepak bola futsal di Los Angeles, AS, 2015, dan lima kali berturut-turut juara umum futsal provinsi.
Bidang wirausaha, para siswa diajari membuat batako sejak 1998-2020. Ketika pandemi Covid-19, Maret 2020-Desember 2021, pelatihan dan pembuatan batako dihentikan. ”Februari 2022 ini kami mulai lagi. Biar keterampilan anak-anak tetap dibangun. Batako itu sangat membantu masa depan anak-anak dan pihak yayasan,” katanya.
Hasil produksi batako dijual untuk kebutuhan anak-anak asrama, seperti bahan kebutuhan pokok, sabun, pakaian untuk siswa yang tinggal di asrama, mesin jahit, sarana dan prasarana olahraga, serta keperluan perempuan bagi siswa asrama. Selain itu, untuk biaya pengobatan siswa dan alat tulis siswa.
Semua bidang usaha dan keterampilan itu diajarkan dalam suasana penuh kasih sayang, kesabaran, ketulusan, dan harus terus berulang agar siswa benar-benar memahami dan menjadikan sebagai milik mereka. Itu tidak mudah, tetapi harus tetap diupayakan.
”Sekitar 875 anak hasil didikan dari tempat ini boleh disebut mandiri. Mereka membuat batako di rumah, buka bengkel sepeda motor, usaha salon kecantikan, dan tempat potong rumbut. Usaha ini kecil-kecilan, tetapi mereka sudah menghasilkan uang. Guru-guru sering mengunjungi mereka, sekadar memberi pendampingan dan dukungan moril,” ungkapnya.
Tidak semua lulusan berwiraswata karena keterbatasan modal usaha. Namun, mereka bekerja di bengkel sepeda motor, salon kecantikan, dan tempat usaha orang lain. Pihak sekolah dan orangtua membantu mencarikan pekerjaaan bagi para lulusan ini. ”Kami tidak prioritaskan mereka ke perguruan tinggi atau bekerja di kantor, tetapi lebih pada kemandirian hidup atau berwiswasta,” kata Amini.
Saat ini, jumlah siswa sebanyak 85 anak, dari tingkat pendidikan usia dini sampai dengan tingkat sekolah menengah kejuruan. Sebanyak 45 anak di antaranya tinggal di Asrama Asuhan Kasih, sedangkan 40 anak bersama orangtua. Jumlah guru 49 orang, 10 guru di antaranya pegawai negeri dan 22 tenaga kontrak. Sebagian besar guru berlatar belakang pendidikan umum, kemudian diberi pelatihan bagaimana mendampingi ABK di sekolah itu.
Evaluasi
Setiap akhir bulan selalu ada evaluasi antara guru, orangtua siswa, dan pengurus yayasan.Evaluasi untuk melihat cara pendampingan guru, kesulitan setiap siswa, perbaikan, dan peningkatan mutu pendidikan dan keterampilan siswa. Siswa yang sudah bisa mengikuti pendidikan normal dikirim ke sekolah umum.
Juara IKepala SLB Berprestasi Nasional Tingkat SMK 2015 ini mengatakan, guru berlatar belakang pendidikan SLB itu jauh lebih mendalami, memahami persoalan ABK, dan bisa mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Namun, perguruan tinggi yang menyediakan calon guru sekolah luar biasa di NTT tidak ada. Di luar NTT pun terbatas.
Tahun 2012, Amini mengirim anak pertamanya, Linda, mengikuti pendidikan SLB di salah satu perguruan tinggi di DI Yogyakarta. Kini, Linda menangani pusat autis milik pemerintah provinsi di Kupang. Lebih dari 100 anak autis yang dibina. Linda, satu-satunya guru dengan latar belakang pendidikan khusus autis, dibantu empat guru.
”Saya ingin makin banyak orang NTT berminat menjadi tenaga pendidik SLB. Banyak ABK kita tidak tertangani sesuai standar pendampingan. Mendampingi ABK, upah kita tidak hanya di dunia, tetapi jauh lebih besar di surga,” kata Amini.
Amini
Tempat/Tgl Lahir:Ngrendeng, Ngawi, Jawa Timur, 26 Maret 1970
Suami:Wardoyo (almarhum)
Anak-anak: Linda (27), Arum (21), dan Anwar (11)
Pendidikan: Diploma SLB di Solo
: Sarjana Pendidikan Agama Universitas Muhammadiyah Kupang
Jabatan: Kepala SLB Yayasan Asuhan Kasih Kupang.