Marjadi, Menyuburkan Kesenian Leluhur di Sawahlunto
Grup Subur Budoyo yang didirikan Marjadi dengan dana sendiri ikut menyuburkan kesenian Jawa yang dibawa para leluhur, yakni pekerja tambang sejak zaman penjajahan Belanda, di kota multietnis ini.
Berbekal sisihan gaji dan uang pensiun, Marjadi (61) membentuk Subur Budoyo, grup kesenian kuda kepang dan reog, di tanah kelahirannya, Sawahlunto, akhir 2016. Kini grup tersebut ikut menyuburkan kesenian yang dibawa leluhurnya sejak zaman penjajahan Belanda di kota multietnis ini.
Marjadi, dengan setelan serba hitam, berdiri di pinggir lapangan. Ia mengamati anak-anak asuhnya yang tengah berlatih kuda kepang. Pria berperawakan tinggi itu memberikan arahan dan mengatur porsi dan waktu latihan. Sore itu, ia sesekali mengoreksi blocking yang tidak pas dari penari topeng pemula yang masih usia sekolah dasar.
Latihan kesenian kuda kepang atau kuda lumping merupakan yang terakhir waktu itu. Para pemain, pemusik, hingga pawangnya, laki-laki dari rentang usia SD hingga lanjut usia. Adapun sebelumnya, anggota kelompok seni Subur Budoyo itu sempat berlatih kesenian reog ponorogo. Kesenian reog melibatkan remaja perempuan sebagai penari jatilan.
”Latihan kuda kepang sore ini untuk persiapan tampil besok. Sebagian anak-anak (anggota grup) minta tampil di kantor desa mereka,” kata Marjadi seusai latihan di lapangan Bantingan, Kelurahan Saringan, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Sabtu (22/1/2022) sore.
Kuda kepang dari kelompok Subur Budoyo tampil di halaman kantor Desa Muaro Kalaban sekaligus halaman kantor Camat Silungkang, Minggu (23/1/2022) sore. Selain permintaan sebagian anggota grup, kata Marjadi, penampilan itu sekaligus sarana promosi kantor desa dan kantor camat yang baru dibangun kepada masyarakat.
Grup yang didirikan pada 20 Desember 2016 oleh pensiunan karyawan PT Bukit Asam (Persero) Tbk Unit Pertambangan Ombilin ini bernama Seni Jaranan Reog Subur Budoyo Sawahlunto. Subur Budoyo adalah satu dari tujuh grup kuda kepang yang ada di kota tambang ini. Grup ini berpusat di rumah dinas Marjadi di Kelurahan Saringan.
Kuda kepang merupakan salah satu kesenian Jawa yang tumbuh dan berkembang di Sawahlunto. Kuda kepang dan kesenian lainnya, seperti ledhek, wayang kulit, ketoprak, dan wayang orang (wong), dibawa ke Sawahlunto pada 1888 oleh penjajah Belanda melalui pekerja tambang pada 1888. Kesenian itu untuk menghibur para pekerja tambang (Iswandi, 2012).
Marjadi, yang punya darah seni dari ayahnya, telah menekuni kesenian kuda kepang sejak usia SD. Ia bersama kakaknya berguru kepada Mbah Mbung, pekerja tambang dari Jawa yang dibawa Belanda ke Sawahlunto, yang mendirikan grup kuda kepang untuk remaja. Selain Mbah Mbung, ada pula Mbah Bugis, yang mendirikan grup kuda kepang bagi orang dewasa, terutama karyawan tambang batubara Ombilin.
Sepeninggal Mbah Mbung, Marjadi berkelana di berbagai grup sembari bekerja sebagai petambang di Tambang Batubara Ombilin (sekarang PT Bukit Asam). Bersama rekan-rekannya, ia menghidupkan kembali grup kuda kepang yang mulai redup, seperti Bina Satria dan Harapan Jaya. Sekarang ia memilih mendirikan sendiri grup kuda kepangnya.
Uang pensiun
Marjadi mendirikan grup Subur Budoyo selepas pensiun dari pekerjaannya pada 2016. Ia sudah bercita-cita mendirikan sanggar sendiri sejak masih aktif bekerja. Namun, baru setelah pensiun bapak empat anak ini punya kesempatan, waktu, dan dana untuk mewujudkannya.
Grup ini diharapkan Marjadi memperbanyak wadah bagi anak-anak muda sekitar untuk berkesenian. Menurut dia, berkesenian bisa mengisi waktu luang dan efektif untuk mengurangi kenakalan remaja, seperti mengonsumsi narkoba. Selain itu, tentunya regenerasi membuat kesenian tradisional tetap lestari.
”Saya tidak ingin kuda kepang dan kesenian lainnya di Sawahlunto bernasib seperti wayang wong. Bapak saya dulu pemain wayang wong. Sekarang wayang wong di Sawahlunto sudah punah,” ujarnya.
Akan tetapi, upaya mendirikan grup sendiri tak semudah memicingkan mata, terutama dari segi biaya. Marjadi merogoh kocek sendiri untuk membeli peralatan dan perlengkapan pertunjukan kuda kepang, kemudian reog beberapa bulan kemudian. Duit itu didapat dari gaji yang disisihkan saat bekerja ditambah uang pensiunan.
”Saat mendirikan awal itu sedih. Saya berpikir, dari mana dananya? Alat-alat tidak ada, harus dibeli agar kami punya. Akhirnya, diangsur-angsur beli kenong, kendang, kuda anyaman, dan lainnya. Di awal-awal, ada sekitar Rp 100 juta uang saya keluar (untuk peralatan kuda kepang dan reog),” kata Marjadi.
Sebagai konsekuensi, Marjadi mesti membagi dana untuk keperluan membeli peralatan dan perlengkapan kesenian dan keperluan rumah tangga. Untungnya, istri dan anak-anaknya sangat mendukung. Mereka paham kesenian kuda kepang sudah mendarah daging dalam diri Marjadi.
Beberapa bulan setelah peralatan lengkap, Subur Budoyo pun berdiri. Kelompok ini kemudian tampil di berbagai kegiatan dan acara. Bantuan dari Pemerintah Kota Sawahlunto untuk membeli peralatan dan perlengkapan lainnya mulai mengalir.
Awalnya, grup ini fokus ke kuda kepang. Beberapa bulan kemudian, Marjadi mulai mengajarkan kesenian reog ponorogo. Generasi ketiga keturunan Jawa di Sawahlunto ini mempelajari reog ketika mutasi ke Tanjung Enim, Sumatera Selatan, menjelang memasuki masa pensiun.
Tujuan membawa reog ke Sawahlunto agar anak-anak keturunan Jawa di kota ini mengenal dan ikut melestarikan reog. Apalagi, beberapa tahun lalu reog sempat diklaim oleh negara lain. ”Baru kami yang mendirikan reog di Sawahlunto,” ujarnya.
Suburkan kesenian
Subur Budoyo turut membantu ”menyuburkan” kesenian tradisional di Sawahlunto. Kehadiran grup ini mendapat respons positif dari masyarakat, terutama generasi muda. Sekarang anggota grup ini sekitar 40 orang. Mereka dari kalangan pelajar SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, hingga pekerja dan lanjut usia.
Menurut Marjadi, kelompoknya tidak terbatas bagi keturunan Jawa saja, melainkan terbuka untuk etnis lainnya. Sawahlunto memang dikenal akan keberagamannya. Selain Minangkabau dan Jawa, kota ini didiami pula oleh warga keturunan Sunda, Batak, dan lainnya.
”Melestarikan kesenian harus dilakukan dan didukung bersama-sama, dari suku mana pun. Saat ini di Subur Budoyo anggotanya dari keturunan Jawa dan Minang. Mereka bergabung atas keinginan sendiri. Yang penting dapat izin dari orangtua,” ujarnya.
Pandemi Covid-19 memang sempat membuat aktivitas grup ini tersendat. Kesempatan tampil tidak ada sama sekali. Namun, sejak kasus Covid-19 melandai beberapa bulan lalu, Subur Budoyo kembali melaju. Latihan rutin sekali sepekan kembali digelar.
Melalui grup ini, Marjadi juga telah menyiapkan penerusnya. Keempat anaknya mengikuti jejak langkahnya dan menjadi anggota Subur Budoyo. Anak sulungnya yang perempuan terlibat di bidang administrasi, sedangkan tiga lainnya yang laki-laki aktif sebagai pemain.
Sesuai nama grupnya, Subur Budoyo, Marjadi berharap apa yang ia lakukan bisa menyuburkan dan melestarikan kesenian Jawa yang dibawa leluhur sejak dahulu kala. ”Agar kesenian tradisional bertumbuh dan subur, jangan sampai punah,” ujarnya.
Marjadi
Lahir : Sawahlunto, 21 Maret 1960
Pekerjaan : Pendiri dan Ketua Seni Jaranan Reog Subur Budoyo Sawahlunto,
Pensiunan PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin
Alamat : Kelurahan Saringan, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto