Kepeduliannya dan kekritisannya terhadap perempuan ini selalu termaktub dalam karya-karyanya. Hampir semua filmnya memiliki tokoh utama seorang perempuan dengan berbagai latar belakang, tapi mempunyai kekuatan bertahan.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Dalam dunia industri film yang kerap jadi wadah bersuara, perempuan belum sepenuhnya bebas mengambil peran. Namun, kemenangan sutradara Jane Campion (67) sebagai Sutradara Terbaik pada ajang penghargaan Golden Globe ke-79 kian menguatkan perempuan mampu meraih mimpinya tanpa lagi ada batasan.
Campion yang dinobatkan sebagai Best Director for Motion Picture lewat filmnya The Power of The Dog menjadi perempuan kedua yang memperoleh gelaran ini pada ajang yang sama. Sebelumnya, sutradara Chloe Zhao melalui Nomadland merupakan sutradara pertama yang memecahkan kokohnya tembok persaingan penghargaan yang dihelat oleh Hollywood Foreign Press Association (HFPA).
Hanya saja, Campion tak berkesempatan untuk menggenggam langsung piala dan memberikan pidato kemenangan seperti yang lazim dilakukan. Sebab, seiring melonjaknya angka penularan Covid-19 varian Omicron di Amerika Serikat, pengumuman peraih Golden Globe Awards yang digelar pada 9 Januari 2022 malam waktu Los Angeles, AS, tak dihadiri oleh para nomine dan tak disiarkan langsung. Nama para pemenang penghargaan dirilis bertahap melalui akun media sosial resmi Golden Globe.
Kendati demikian, kemenangan Campion tetap tak kehilangan makna. Perempuan kelahiran Wellington, Selandia Baru, ini, menggenapkan pencapaiannya. Sebelumnya, ia juga merupakan perempuan kedua yang masuk nominasi Best Director dalam ajang Academy Awards lewat film The Piano (1993). Melalui film itu pula, ia menjadi perempuan pertama yang meraih penghargaan Palme d’Or pada Festival Film Cannes. Pada 1986, ia juga memenangi Short Film Palme d’Or lewat film pendek pertamanya, Peel (1982).
Campion terlahir dari keluarga berdarah seni. Ayahnya, Richard Campion, merupakan sutradara teater dan ibunya, Edith Armstrong, adalah seorang aktris. Bersama kedua saudaranya, Campion tumbuh dalam lingkungan yang akrab dengan dunia seni peran di kelompok teater New Zealand Players yang didirikan kedua orangtuanya. Akan tetapi, ia justru memilih jalur lain saat itu dengan mengambil jurusan antropologi di Victoria University.
Campion terlahir dari keluarga berdarah seni. Ayahnya, Richard Campion, merupakan sutradara teater dan ibunya, Edith Armstrong, adalah seorang aktris. Bersama kedua saudaranya, Campion tumbuh dalam lingkungan yang akrab dengan dunia seni peran.
Baru setahun berjalan, Campion bertualang ke London, Inggris, dan mengambil studi di Chelsea Art School sembari menjadi asisten sutradara. Hingga akhirnya, ia memilih mengambil gelar diploma in visual arts dari Sydney College of Arts di University of Sydney.
Setelah lulus, Campion pun tekun menghasilkan berbagai film pendek yang diganjar berbagai penghargaan. Dari Peel (1982) yang berbuah Short Film Palme d’Or, Passionless Moments (1983), A Girl’s Own Story (1984), dan After Hours (1984). Debut film panjang pertamanya berjudul Sweetie (1989) masuk nominasi Festival Film Cannes.
Karya keduanya, An Angel at My Table (1990) yang berkisah tentang penulis Janet Frame juga meraih banyak pengakuan di sejumlah festival film, seperti Toronto Film Festival, Venice Film Festival, dan Chicago Film Critics Association. Hingga Campion menyentuh masa keemasannya lewat film The Piano (1993) yang juga masuk nominasi Golden Globe pada saat itu.
Perempuan yang sempat kehilangan putranya yang berusia 12 hari ini sempat juga menjadi juri kepala pada Festival Film Cannes 2014. Kemudian pada 2016, ia dianugerahi New Zealand Order of Merit yang sekaligus memberinya gelar Dame karena rekam jejak dan kontribusinya di bidang perfilman.
Jalan berliku
Meski filmnya diakui dan diapresiasi, jalannya sebagai sutradara perempuan tak muda di tengah dominasi pria. Persoalan yang selama ini mengemuka dalam industri perfilman dunia, minimnya perempuan yang duduk di bangku sutradara. Padahal tak sedikit perempuan yang mengambil sekolah film dan bertalenta menghasilkan karya.
Bahkan lebih dari 90 tahun perhelatan Academy Awards, hanya ada enam sutradara perempuan yang masuk nominasi dalam jajaran sutradara. Dari jumlah itu, hanya dua yang pernah menang, yakni Kathryn Bigelow lewat The Hurt Locker (2009) dan Chloe Zhao melalui Nomadland (2020).
Tidak jauh berbeda dengan ajang Golden Globe. Sepanjang 79 kali penyelenggaraan, hanya delapan sutradara perempuan yang dinominasikan dan dua yang meraih penghargaan, yaitu Barbra Streissand lewat Yentl (1982) dan Campion pada tahun ini.
Kondisi serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia. Jumlah sutradara perempuan, bahkan yang diapresiasi lewat karya, tak banyak jumlahnya. Perspektif yang dibangun terhadap perempuan menjadi salah satu alasan sukar masuknya perempuan di industri perfilman sebagai sutradara yang mengepalai jalannya sebuah karya.
”Setelah gerakan #Metoo, keadaan berubah. Itu semacam akhir dari masa apartheid terhadap perempuan di industri ini, terutama di Hollywood. Makin banyak perempuan berperan di sini dan menunjukkan ini bukan dunia laki-laki,” ungkap Campion ketika berbincang tentang kondisi perfilman di Hollywood setelah kemenangan Chloe Zhao pada 2020. Ia pun merupakan salah seorang yang mengapresiasi keberhasilan Zhao saat itu.
Kepeduliannya dan kekritisannya terhadap perempuan ini selalu termaktub dalam karya-karyanya. Hampir semua film besutannya memiliki tokoh utama seorang perempuan dengan berbagai latar belakang, tapi mempunyai kekuatan bertahan. Bahkan pada serial Top of The Lake (2013) dan Top of The Lake: China Girl (2017), Campion makin berani mengunggah isu perempuan melalui tokoh utama detektif perempuan.
Baru pada film The Power of The Dog yang rilis perdana pada 2021 di Venice Film Festival dan memperoleh penghargaan Silver Lion ini, pemeran utamanya adalah pria. Hal ini juga disebabkan film The Power of The Dog merupakan saduran dari novel berjudul sama karya Thomas Savage. Pada wawancara dengan The Guardian, Campion pun telah memberi sinyal dirinya akan sedikit ”keluar jalur” dengan mengambil tokoh utama pria.
Keinginannya menuangkan karya Savage ke layar sesungguhnya telah muncul sejak dirinya menuntaskan membaca novel ini, tak lama setelah ia merampungkan Top of The Lake. Novel ini sendiri setidaknya sudah lima kali direncanakan akan dibuat film, tapi tak kunjung terwujud. Sutradara Paul Newman menjadi salah satu yang pernah hendak mencoba mengadaptasi buku ini. Hingga akhirnya kesepakatan justru tercapai saat Campion mengajukan diri dan menunjukkan draf awal naskahnya.
Campion membuktikan perempuan tidak akan tinggal diam. (THE GUARDIAN/BBC/VARIETY)