Win Daulat Hasnawi Menggaungkan Kopi Gayo ke Ibu Kota
Selama puluhan tahun, Win Daulat Hasnawi berjuang mengenalkan kopi Gayo ke pasar lokal di Jakarta. Segala rintangan yang menghadang dihadapinya untuk kejayaan kopi Gayo.
Sejak 2006, Win Daulat Hasnawi (48) berjuang mengenalkan kopi Gayo ke pasar lokal di Jakarta. Langkahnya membuka pasar alternatif tak mudah dan penuh tantangan. Namun, keberhasilan yang diraih menghadirkan pilihan bagi petani untuk menjual kopi dengan harga lebih baik.
Sembari menuangkan air panas, Win menerangkan proses menyeduh kopi kepada dua pria paruh baya di sebuah ruangan. Seduhan pertama untuk mengeluarkan karbon dioksida, pemicu perut kembung. Seduhan-seduhan berikutnya mengeluarkan cita rasa kopi, mulai dari asin, manis, asam, hingga sepat.
Ruangan 5 meter x 12 meter itu laboratorium Qertoev Coffee milik Win. Di dalamnya tersusun peralatan pengolahan kopi, mulai dari mesin sangrai, mesin penggiling, hingga mesin espreso. Di sisi lain ruangan, berjejer stoples-stoples besar berisi beragam kopi sangrai, antara lain kopi Gayo, Bali Kintamani, Flores Bajawa, Toraja sapan, dan Ciwidey sapan.
”Sebelum pandemi, lab ini terbuka 24 jam, bebas untuk siapa pun yang peduli terhadap kopi. Di lab ini bisa belajar menyangrai, uji cita rasa, dan menyeduh, dan lainnya. Baru beberapa hari ini mulai buka lagi. Di sini boleh minum kopi sepuasnya, gratis,” kata Win, pemilik Qertoev Coffee, di labnya, Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (17/12/2021).
Nama Win barangkali tidak asing bagi pelaku industri kopi spesial di Indonesia, terutama Jakarta dan sekitarnya. Ia lebih dikenal dengan nama Win Qertoev. Qertoev alias kertuf, bahasa Gayo untuk kata ”kunyah”, ia pakai sebagai merek usaha bahan baku kopi yang dirintis sejak 2006.
Win merupakan bagian dari gelombang anak muda Gayo yang berupaya merevolusi tata kelola pertanian dan perdagangan kopi Gayo pascatsunami Aceh. Mereka tergerak setelah mendapatkan edukasi tentang konsep keilmuan kopi secara internasional dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing yang membantu pemulihan ekonomi Aceh usai ditimpa bencana.
Jika teman-temannya bergerak di kampung, Win, yang menetap di Jakarta sejak 2004, banyak berkiprah di rantau. Ia semacam duta yang merintis jalur pasar bahan baku kopi arabika Gayo ke Ibu Kota sejak 2006. Saat ini, kata Win, 75 persen pasokan green bean kopi Gayo ke roastery dan kedai kopi di Jabodetabek bersumber darinya.
Bagi Win, mengenalkan kopi Gayo ke Ibu Kota bukan sekadar soal bisnis. Lebih dari itu, upayanya adalah bagian dari cita-cita masyarakat Gayo, termasuk kakeknya yang seorang pejuang, untuk mengenalkan Gayo secara nasional. Banyak orang tidak mengenal Gayo meskipun sejarah, komoditas, dan kebudayaan berasal dari sana.
Pedalaman Gayo adalah ”Indonesia terakhir” saat agresi militer Belanda tahun 1948, tempat Radio Rimba Raya menyiarkan bahwa Indonesia masih ada. Namun, ketika kakek Win berkunjung ke Jakarta, kawan-kawan sesama pejuang tidak tahu Gayo. Itu menyakitkan, perasaan tidak diakui.
Tari Saman berasal dari Gayo, tetapi yang diketahui hanya Aceh. Pun kopi Gayo, ratusan tahun diekspor tetapi tidak dikenal dengan nama kopi Gayo, tetapi dikirim dengan nama kopi Mandailing, kopi Sidikalang, atau kopi Sumatera.
”Kakek menitipkan warisan, yaitu agar suatu saat saya menceritakan apa yang saya bisa tentang Gayo, supaya orang mengenal Gayo. Supaya suku Gayo setara dengan suku-suku lainnya di Indonesia. Saya melakukannya dengan kopi,” kata Win.
Perjuangan
Setelah punya bekal ilmu, pada 2006, Win mulai mengenalkan kopi Gayo ke Jakarta. Ia mendapat dukungan biji mentah kopi dari keluarga dan sanak saudara di Gayo. Mereka menaruh harapan kepada Win untuk membuka pasar lokal. Petani belum bisa mandiri menembus pasar ekspor, sedangkan harga dari pengepul dan tengkulak sangat murah.
Win pun berkeliling Jakarta menawarkan biji mentah kopi Gayo ke kedai-kedai kopi. Sepengetahuan Win, ialah orang pertama yang melakukan itu. Namun, tantangannya tak mudah. Tawaran Win berbuah penolakan demi penolakan.
”Suatu waktu pegawai salah satu kedai bilang ke saya, ’Kedai kami tidak menjual bubur.’ Ternyata ekspetasi mereka green bean yang saya tawarkan adalah kacang hijau. Karena besar, disebutlah kacang hijau bangkok. Mereka tahunya kopi itu bubuk hitam atau berbentuk pod,” kata Win.
Win terus bergerilya menawarkan kopi Gayo ke rumah-rumah, kedai, kantor, hingga kementerian, tetapi tak dilirik. Waktu itu kopi spesial belum populer dan peralatannya masih terbatas. Selama dua tahun, 10 ton green bean yang dibawa ke Jakarta tidak laku. Kopi itu dibagi-bagikan saja sekaligus untuk edukasi dan promosi.
Meski diliputi kegagalan, Win tak berputus asa. Ia terus berkeliling dari kafe ke kafe untuk mengadakan uji cita rasa kopi, membagikan sampel ke komunitas-komunitas, dan ikut pameran. Ketenaran kopi luwak juga punya andil. Sembari berjualan kopi luwak, Win mengenalkan kopi Gayo ke pembeli.
Jalan terbuka
Jalan mulai terbuka pada 2008. Orang-orang yang telah mengenal dan menyukai cita rasa kopi Gayo mulai memesan kepada Win. Tren kopi spesial mulai tumbuh di Indonesia. Kopi spesial dibicarakan di Kaskus, Twitter, dan lainnya, serta didiskusikan di komunitas. Peralatan untuk mengolah kopi spesial mulai banyak.
Win cukup berbesar hati ketika bersua pemilik Anomali Coffee akhir 2008, yang sedang kesulitan mencari kopi Indonesia. Anomali termasuk pelopor dan gencar mengenalkan kopi lokal di kafe. Sebelumnya, kedai-kedai kopi menyajikan kopi industri impor. Win dan Anomali pun bekerja sama, dari 100 kilogram per pekan hingga 7 ton per bulan pada kerja sama terakhir lima tahun lalu.
Baca juga: Sudarman Melestarikan Kopi Kamojang untuk Ekologi
Selain Anomali, pesanan lainnya terus berdatangan. Kafe-kafe dan roastery menjadikan kopi Gayo sebagai salah satu kopi andalan mereka. ”Kopi Gayo yang saya bawa mulai masif penjualannya sejak 2010,” kata Win.
Sebelum pandemi Covid-19, Win bisa memasok 20 ton biji kopi mentah per bulan untuk pasar Jabodetabek. Namun, karena pandemi, jumlah pasokan tinggal 20 persen. Sekarang, saat kebijakan diperlonggar, pasokan mulai membaik di posisi 30 persen.
Naiknya pamor kopi Gayo di Jakarta seiring dengan keberhasilan pemerintah dan masyarakat Gayo dalam mendapatkan indikasi geografis (IG) kopi Gayo pada 2010. Selama ini, para petani tidak bisa mengekspor dengan nama kopi Gayo karena hak patennya dimiliki perusahaan Belanda.
Menurut Win, kopi Gayo disukai karena punya bodi kuat dan cita rasa kompleks. Ini dipengaruhi faktor ketinggian dan unsur tanah. Kopi Gayo tumbuh pada ketinggian 1.500-1.800 meter di atas permukaan laut di tanah bekas gunung api purba. Pada lokasi itu, kopi lebih kental dan rasanya ke arah dark chocolate.
Karakteristik tersebut digemari orang Eropa. Bodi kuat cocok dinikmati sebagai kopi origin ataupun campuran. Sejak zaman penjajahan, kopi Gayo banyak dikirim ke Barat, selain juga karena Gayo salah satu penghasil kopi arabika terbesar di Indonesia.
Win memperkirakan, 90 persen produksi kopi Gayo dengan luas kebun sekitar 150.000 hektar diekspor. Tujuan utamanya ke Amerika dan Eropa. Sementara, untuk pasar lokal, hanya 1 persen yang dijadikan kopi spesial, paling banyak diserap Jakarta dan sekitarnya. Sisanya menjadi kopi saset.
Pembinaan
Win menjelaskan, untuk menghasilkan kopi spesial, butuh upaya khusus, mulai dari penanaman, penanganan pascapanen, penyangraian, hingga penyimpanan kopi. Semuanya punya standar yang harus diperhatikan.
Untuk memenuhi standar itu, Win membina para petani. Ia mengontrol kualitas melalui sampel yang dikirim ke Jakarta dan memberi masukan bila ada yang perlu diperbaiki. Adapun tahapan dasar pengolahan kopi spesial dipelajari petani dari rekan-rekan Win yang mendapat pelatihan dari LSM.
Baca juga: Tejo Pramono dan Uji Sapitu, Sekolah Kopi untuk Keluarga Petani
Harga tinggi yang ditawarkan Win menjadi daya tarik bagi petani. Waktu itu harga kopi biasa Rp 23.000 per kg. Win membelinya Rp 40.000-Rp 65.000 per kg jika kopi diproses sebagai kopi spesial. Sekarang, Win membina sekitar 50 petani di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Win juga mengedukasi petani secara langsung, baik melalui kegiatan kementerian maupun asosiasi. Sejak 2010, ia sering diajak kementerian, antara lain pertanian, koperasi dan UKM, perindustrian, perdagangan, dan luar negeri, ke sejumlah daerah untuk edukasi dan berbagi wawasan tentang usaha kopi spesial.
Pasar lokal
Win sempat menjajal pasar ekspor tetapi berhenti sejak 2010. Baginya ekspor kopi belum menyejahterakan petani karena masih berupa bahan mentah dan harganya sangat murah. Panjangnya rantai dagang membuat gap harga di hulu dan hilir sangat jomplang.
”Saya mau ekspor minimal produk setengah jadi. Atau boleh ekspor asal petani langsung yang ekspor, tidak melalui agen,” ujar pria yang keluarganya sudah bertani kopi sejak turun-temurun.
Menurut Win, Indonesia sebenarnya sanggup mengekspor kopi setengah jadi. Sayang, pasarnya belum dibentuk dan branding-nya lemah. Dunia hanya tahu Indonesia penghasil biji mentah kopi. Situasi itu membuat petani tak punya daya tawar. Harga kopi ditentukan oleh pasar dunia.
Solusinya, petani harus punya asosiasi yang kuat dan kompak menentukan harga. Pasar lokal juga mesti diperkuat agar petani punya daya tawar dan bisa mengembargo bila harga tak sesuai. Win yakin kopi Indonesia tetap akan dibeli karena sudah menjadi kebutuhan dunia. ”Makanya, saya terus mengedukasi pasar lokal,” katanya.
Selain kopi Gayo, lima tahun terakhir, Win juga mulai mengenalkan kopi dari daerah lain, seperti kopi dari Toraja, Flores, Bali, Jawa Barat, Ijen, Solok, Jambi, Mandailing, Sumbawa, dan Lombok. Itu untuk membantu petani dalam membuka akses pasar.
Win merasa, wasiat kakeknya yang ia tunaikan dengan mengenalkan Gayo ke Nasional melalui kopi telah terwujud sejak 2015. Kopi Gayo hampir selalu dibahas setiap orang ketika bicara tentang kopi dan selalu menjadi daftar teratas menu hampir di setiap kafe.
Terbukanya pasar lokal kopi Gayo membuat petani punya banyak pilihan dalam menjual kopi. Setidaknya petani mengerti harga dan punya nilai tawar sehingga diharapkan berdampak pada kesejahteraan. Selain itu, petani tidak berani lagi bermain-main dengan kualitas produk.
”Saya berharap kopi Gayo dan kopi Indonesia bisa menjadi tuan rumah di dalam negeri dan petani bisa menentukan harga jual, baik lokal maupun internasional. Juga terus bersaing secara kualitas dengan kopi-kopi yang ada di dunia,” kata Win.
Win Daulat Hasnawi
Lahir : Takengon, 18 November 1973
Pekerjaan : Pemilik Qertoev Coffee; Petani Kopi
Organisasi :
- Duta Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo Jakarta (2010-sekarang)
- Wakil Ketua Specialty Coffe Association of Indonesia (SCAI) (2011-2016)
- Ketua Kompartemen Petani dan Industri Hulu Kopi SCAI (2016-Agustus 2021)
- Pengurus Dewan Kopi Indonesia (2016-sekarang)
- Tim ahli Asosiasi Spesial Kopi Indonesia Tangerang Selatan
Istri : Dian Mahardikawati Sulisa (40)
Anak-anak :
- Kayla Fatiha Maharami (17)
- Chery Koffiana Kintua (10)
- Omar Lebe Niero (4)