Pada era digital, profesi pembuat film menjanjikan. Dia berharap para sineas muda harus terus belajar meningkatkan kemampuan agar karya dapat menopang hidup diri sendiri dan dapat melakukan advokasi terhadap orang lain.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·4 menit baca
Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021 kategori film dokumenter pendek terbaik yang didapatkan Davi Mashuri (39) menjadi capaian terbaik dalam kariernya sebagai sineas independen. Melalui film, dia ingin mengangkat suara-suara minoritas.
Davi Mashuri bertindak sebagai sutradara dalam film dokumen Tree Faces In The Land of Sharia (Tiga Wajah di Tanah Syariat). Film ini mendapatkan anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021 kategori film dokumenter pendek. Dia nyaris tidak percaya saat dihubungi panitia film itu bahwa dirinya menjadi nomine.
”Awalnya kami kirim film hanya meramaikan. Namun, penghargaan ini membuat tim sangat bahagia. Ini film Aceh pertama yang mendapatkan anugerah piala citra,” ujar Davi, Sabtu (11/12/2021).
Film Tree Faces In The Land of Sharia bercerita tentang kehidupan kelompok minoritas waria, lesbian, dan gay di Aceh. Para kelompok minoritas itu banyak yang mendapatkan diskriminasi.
Pengumuman anugerah Piala Citra FFI 2021 berlangsung di Jakarta, 10 November 2021. Saat malam anugerah, Davi tidak bisa hadir karena acara itu bebarengan dengan jadwal wisuda istrinya. Trofi diterima produser Masridho Rambey.
Film Tree Faces In The Land of Sharia bercerita tentang kehidupan kelompok minoritas waria, lesbian, dan gay di Aceh. Para kelompok minoritas itu banyak yang mendapatkan diskriminasi. Keberadaan mereka kerap dibenturkan dengan pelaksanaan hukum syariat Islam di Aceh.
”Film ini perspektif mereka sebagai minoritas. Kehidupan mereka terancam, tetapi perlindungan lemah. Film ini adalah suara minoritas,” kata Davi.
Tidak mudah meyakinkan narasumber untuk bersedia diwawancara dan direkam menggunakan kamera. Davi meyakinkan bahwa mereka harus bersuara agar tidak semakin didiskriminasi. Terkadang dalam perjalanan produksi, narasumber menghilang dan tidak bisa dihubungi.
Butuh waktu tiga tahun untuk merampungkan film itu. Pengerjaan dilakukan secara independen tanpa bantuan biaya dari pihak mana pun. Davi terpaksa menjual dua kamera untuk menutupi kebutuhan biaya produksi.
Sebagai seorang jurnalis, dia terbiasa melihat masalah dari sudut pandang di luar kebiasaan orang banyak. Sebagai seorang pembuat film, dia lihai menyusun cerita.
Film Tree Faces In The Land of Sharia dia produksi sebagai alat advokasi dan kampanye keberagaman. Film ini hanya diputar di ruang-ruang terbatas untuk kepentingan pendidikan, seperti untuk kalangan mahasiswa, jurnalis, dan pekerja sosial atau LSM.
Davi lahir di Kabupaten Pidie. Dia kuliah ke Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Ini menjadi awal mula perjalanan hidup menjadi pembuat film dan jurnalis televisi.
Tahun 2003, saat masih semester enam, dia belajar jurnalistik kepada seorang senior yang juga jurnalis televisi asing. Guru pertama jurnalistiknya adalah Step Vaesen, jurnalis NOS TV Belanda. Davi juga belajar jurnalistik pada Ampuh Devayan, jurnalis senior Serambi Indonesia. Davi mulai sering ikut liputan. Dia belajar cara merekam gambar, editing, dan membuat naskah.
Setelah tsunami tahun 2004, memasuki masa rehabilitasi dan rekonstruksi, banyak lembaga donor asing berkantor di Aceh. Davi mulai sering terlibat dalam proyek dokumentasi program berbentuk film dokumenter. Davi juga kerap mengikuti kursus jurnalistik dan perfilman yang digelar oleh lembaga donor. Dari sana dia terus mengasah kemampuan.
Tahun 2008, Davi diterima sebagai jurnalis KompasTV Biro Aceh. Profesi jurnalis dan pembuat film saling mendukung. Sebagai seorang jurnalis, dia terbiasa melihat masalah dari sudut pandang di luar kebiasaan orang banyak. Sebagai seorang pembuat film, dia lihai menyusun cerita.
”Saat itu saya memutuskan, inilah jalan hidup saya, sebagai jurnalis dan film maker,” ujar Davi.
Ruang belajar
Menyadari ilmu harus dibagi, Davi mengumpulkan anak-anak muda yang mau belajar film dan jurnalistik. Ternyata peminatnya banyak. Davi berpikir perlu sebuah tempat yang representatif untuk ruang belajar.
Bermodal uang tabungan, Davi membangun sebuah rumah kecil di Lambhuk, Banda Aceh. Alih-alih rumah itu untuk ditempati bersama istri dan anak, malah digunakan sebagai markas bersama atau dia menyebut mabes. Rumah itu menjadi ruang belajar bersama.
Untuk rumah tinggal, Davi mengontrak rumah lain. Davi beruntung karena istrinya mendukung pilihan hidupnya.
Di mabes itu dia kerap mengadakan pelatihan film dokumenter, jurnalistik, fotografi, dan desain grafis. Davi menjadi jembatan untuk mempertemukan orang-orang yang mau mengajar dengan yang mau belajar. Setidaknya ada 200 orang lulusan kursus di sana dengan beragam keahlian. Pelatihan tanpa biaya alias gratis.
Untuk merawat semangat kreativitas lulusan, Davi membentuk Yayasan Aceh Bergerak. Yayasan itu dikelola bersama para lulusan mabes. Sebagian film dokumenter digarap bersama anggota Yayasan Aceh Bergerak.
Saat itu saya memutuskan, inilah jalan hidup saya, sebagai jurnalis dan film maker.
Sejak 2006 hingga 2021, Davi telah memproduksi 80-an film dokumenter. Film-film itu mengangkat ragam isu, seperti lingkungan, kesehatan, bencana, dan budaya. Sebagian dari film itu digarap secara independen, tanpa sponsor.
Davi menuturkan, belakangan animo anak muda belajar film tumbuh. Di Aceh banyak lahir komunitas film. Mereka memproduksi film secara mandiri dengan cerita di sekitar mereka. Film-film sineas muda Aceh mulai mengisi perfilman dokumenter nasional.
”Namun, para sineas muda ini perlu peningkatan kapasitas. Pemerintah perlu hadir untuk mereka,” kata Davi.
Pada era digital, profesi sineas menjanjikan. Dia berharap para sineas muda harus terus belajar meningkatkan kemampuan agar karya dapat menopang hidup diri sendiri dan dapat melakukan advokasi terhadap orang lain.
Davi sendiri telah menentukan jalan hidup menjadi jurnalis televisi dan pembuat film. Dua profesi itu berjalan seiring sebagai pekerjaan dan media advokasi bagi kaum minoritas.
BIODATA
Nama: Davi Mashuri
Tempat dan Tanggal Lahir: Sigli, 27 Desember 1982
Pendidikan Terakhir: S-1 Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Alamat: Banda Aceh
Penghargaan: Piala Citra FFI 2021 Kategori Film Dokumenter Pendek