Kamila Andini, Dedikasi Total Sang Perempuan Sutradara
Menjadi sutradara adalah panggilan hidupnya sementara perempuan dan juga ibu adalah kodratnya. Sebagai perempuan sutradara yang juga ibu, Kamila Andini dituntut bekerja lebih keras untuk mencapai cita-cita
Oleh
Wisnu Dewabrata
·5 menit baca
Kecintaan dan dedikasi totalnya terhadap dunia perfilman membawa Kamila Andini (35) meraih sukses berupa penghargaan atas karya-karya filmnya. Penghargaan terbaru yang ia peroleh adalah Platform Prize di Toronto International Film Festival 2021, atas filmnya yang berjudul ”Yuni”.
Namun, menjadi sutradara sekaligus juga ibu dari dua anak tidak lah mudah. Kondisi itu membuatnya berjuang lebih keras demi mencapai impian-impiannya. Beragam kendala, baik teknis maupun non teknis, kerap ia hadapi.
Dini mengisahkan beberapa episode perjuangan kerasnya itu secara daring, Kamis (23/9/2021), saat ia masih menjalani masa karantina di Jakarta sepulangnya dari Toronto, Kanada.
Ia memulai ceritanya dari pengalaman menyelesaikan film di tengah pandemi Covid-19 yang membuat semua hal jadi serba repot. Pandemi datang saat dia baru saja menuntaskan proses produksi film Yuni dan akan dilanjutkan ke tahap pascaproduksi. Menurut rencana, Yuni akan diikutsertakan ke sejumlah festival internasional.
Salah satu yang terdekat waktunya adalah Toronto International Film Festival (TIFF) 2021. Namun, sejak tahap pascaproduksi film hingga saat akan berangkat ke Kanada, semua hal terasa serba sulit dan tak pasti.
Proses pascaproduksi, misalnya, terpaksa dilakukan dari jarak jauh dan secara daring. Padahal, Dini harus bekerja sama dengan banyak pihak di beberapa negara.
Mulai tahap penggarapan musik yang seharusnya dilakukan di Perancis. Hingga tahap grading dan editing, yang seharusnya dikerjakan di Thailand, sampai tahap sound mixing, yang semestinya digarap di Singapura. Semua pekerjaan itu terpaksa dilakukan secara virtual dari laptop.
”Padahal saya enggak terbiasa kalau enggak kerja di studio. Susah sekali kan, misalnya, mendesain suara kalau enggak dilakukan langsung di studio. Saat itu memang masa-masa di mana saya merasa frustrasi banget. Rasanya seperti, wah, enggak mungkin ini bisa bikin film kalau caranya kayak begini,” tuturnya.
Film Yuni memang hasil kolaborasi yang melibatkan beberapa pihak di mancanegara. Skenario film ditulis Dini dan Prima Rusdi, dengan produser suaminya sendiri, Ifa Isfansyah. Sementara proses produksinya dilakukan Fourcolours Films bekerja sama dengan Akanga Film Asia (Singapura) dan Manny Films (Perancis).
Sejumlah artis film juga dilibatkan seperti Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Marissa Anita, Asmara Abigail, Muhammad Khan, Nazla Thoyib, Neneng Risma, Vania Aurell, Boah Sartika, Anne Yasmine, Toto ST Radik, Mian Tiara, Ayu Laksmi, dan Sekar Sari.
Film itu berkisah tentang seorang gadis remaja cerdas yang punya impian besar ingin kuliah setelah lulus sekolah. Namun, persoalan datang saat ada dua orang pria datang melamarnya dan ia menolak keduanya. Masalah kian rumit ketika pria ketiga juga datang untuk melamar.
Lamaran itu menjadi pelik lantaran menurut mitos setempat, seorang perempuan tak akan pernah menikah jika dia menolak lamaran ketiga. Yuni berada dalam posisi sulit lantaran harus memilih antara memercayai mitos dan mengejar impiannya.
Perjuangan ke Kanada
Setelah film itu selesai, masalah yang dihadapi Dini berlanjut saat hendak mengikuti TIFF 2021, 9-18 September 2021. Hingga saat-saat kritis, pihaknya tak kunjung mendapat kepastian terkait izin masuk ke Kanada.
Saat itu Kanada baru saja menutup wilayahnya dari kedatangan orang asing akibat pandemi. Beruntung, bantuan dan dukungan berdatangan dari banyak pihak. Dini mendapat surat rekomendasi khusus dari Kedutaan Besar RI di Kanada dan juga dari pihak penyelenggara festival. Akhirnya Dini bisa mendampingi Yuni untuk tayang dan akhirnya menang di TIFF 2021.
Yuni memenangi penghargaan bergengsi Platform Prize. Menurut para juri, mereka sangat tersentuh saat menonton Yuni. Bagi mereka film itu membawa perspektif baru yang intim untuk sebuah kisah remaja.
Sebagai seorang creator saya ingin meraih pencapaian yang lebih tinggi lagi. Namun, begitu saya juga tetap kepingin film-film saya bisa diputar di (bioskop-bioskop) Indonesia.—Kamila Andini
Tak hanya itu, film tersebut juga dinilai memiliki struktur yang subtil, penggambaran yang indah, dan sinematografi yang halus. Film Yuni juga menjadi film pertama asal Asia Tenggara yang memenangi penghargaan tersebut sejak Platform Prize diperkenalkan pertama tahun 2015.
”Sejak awal saya memang ingin berkarier di liga atau sirkuit ini. Festival-festival film. Sebagai seorang kreator saya ingin meraih pencapaian yang lebih tinggi lagi. Namun, begitu saya juga tetap kepingin film-film saya bisa diputar di (bioskop-bioskop) Indonesia,” tambah Dini.
Perjuangan perempuan
Seperti dialami banyak perempuan lain, Dini harus berjuang dan bekerja jauh lebih keras untuk sukses dalam profesinya. Terutama agar dirinya bisa menyeimbangkan perannya sebagai sutradara dan ibu dari dua anak.
Saat dirinya masih lajang, Dini mengaku tak melihat dunia film sebagai sesuatu yang berjender. Saat itu dia merasa semua setara dan hanya dibedakan dari prestasi dan karya yang dihasilkan.
”Tapi semua kemudian berubah saat saya menikah dan punya anak. Berubah 180 derajat. Saya baru merasa dunia film itu maskulin sekali. Karena ketika kita shooting di tempat-tempat yang berat, waktunya jadi enggak menentu. Kerja dari pagi sampai ketemu pagi lagi. Lha, terus kapan mau ngurus anaknya?” ujarnya.
Kondisi macam begitu bahkan diakui Dini tak pernah dia rasakan waktu kecil walau sang ayah, sutradara Garin Nugroho, bekerja sampai berbulan-bulan di tempat-tempat terpencil. Hal itu karena dirinya masih diurus mamanya di rumah dan hanya sekali-sekali saja menengok sang papa di lokasi shooting.
Dini bercerita ia bahkan pernah mengajak bayinya yang masih berusia setahun, sementara dirinya juga tengah mengandung usia empat bulan, ke lokasi shooting film The Seen and Unseen (2017). Ia juga mengaku sudah terbiasa mengurus dan menyusui bayinya di lokasi shooting film.
”Buat saya, butuh seluruh keluarga untuk bikin film. Butuh support system yang bagus dan harus kuat banget. Saya tahu banget banyak teman saya perempuan kesulitan dan enggak bisa mengejar kerja di film lagi begitu dia punya anak. Itu yang paling berat secara teknis,” tambahnya.
Untuk bisa menciptakan lingkungan kerja yang kondusif itu, sangat penting bagi Dini bahwa semua kru dan pemeran filmnya memahami bahwa mereka tengah bekerja dengan seorang sutradara yang juga seorang ibu.
”Saya butuh untuk bekerja dengan tim yang bisa membuat nyaman dan memahami kondisi itu. Jadi kita semua bisa sama-sama bekerja. Sejauh ini semua tim, kru, dan cast saya paham dan menyadari itu. Mereka mau bekerja bersama saya melewati Batasan-batasan itu. Cuma memang kita enggak bisa meminta semua orang sesuai dengan kita,” ujar Dini.
Saya baru merasa dunia film itu maskulin sekali. Karena ketika kita shooting di tempat-tempat yang berat, waktunya jadi enggak menentu. Kerja dari pagi sampai ketemu pagi lagi. Lha, terus kapan mau ngurus anaknya? —Kamila Andini