Achmad Irfandi Penggerak Dolanan Tradisional Di Sidoarjo
Achmad Irfandi menggerakkan dolanan tradisional supaya anak-anak tidak hanya bermain gawai. Salah satu caranya dengan mendirikan Kampung Lali Gadget di Sidoarjo.
Achmad Irfandi (28) gigih menggerakkan kembali beragam dolanan tradisional warisan nenek moyang, yang sarat pesan moral, di desa-desa. Itu dilakukan demi mereduksi dampak kecanduan penggunaan gawai, terutama game online, pada kesehatan dan karakter anak.
Puluhan anak-anak memainkan beragam permainan tradisional di Warung Galena, Sidoarjo, Minggu (19/9/2021). Ada permainan egrang, kelompen tali, kelompen panjang, lompat telapak kaki, gancetan, dan tangkap ikan. Keriangan serta kegembiraan menyeruak di bawah naungan pohon-pohon rindang.
Hampir semua anak-anak larut dalam ritme dolanan yang mengasyikkan. Mereka bercanda, tertawa, dan saling menggoda. Interaksi secara intens terjalin baik di antara mereka, saat memainkan permainan tradisional maupun ketika jeda menunggu giliran peran.
Ada semangat berkompetisi yang menguat. Namun, pada saat bersamaan, hadir pula semangat untuk saling mengisi dan berbagi rasa. Tak ada yang menyendiri atau asyik bermain dengan dunianya sendiri. Semua membaur dalam semangat kebersamaan.
“Pada dolanan tradisional, banyak sekali pesan moral yang mampu menumbuhkan karakter anak. Salah satunya, sebagai makhluk sosial, mereka senantiasa memerlukan peran oranglain dalam kehidupan, sehingga harus saling menghargai,” ujar Achmad Irfandi.
Irfandi mengatakan, mayoritas permainan tradisional tidak bisa dimainkan sendiri dan menuntut peran banyak pihak. Semakin banyak orang yang terlibat, permainan semakin seru. Oleh karena itulah, pada zaman dulu, tidak ada anak yang bertahan sendirian. Dia pasti butuh kawan.
Dolanan tradisional yang berlangsung di Galena diikuti 50 anak yatim dari berbagai panti asuhan di Sidoarjo. Acara itu merupakan rangkaian dari Yatim Camp. Adapun Yatim Camp merupakan salah satu kegiatan yang diinisiasi oleh Sidoasik, gabungan dari puluhan komunitas yang bergerak dibidang sosial, edukasi, konservasi, hingga pelestarian lingkungan.
Sidoasik diinisiasi oleh Kampung Lali Gadget (KLG) untuk membantu mengampanyekan dolanan tradisional agar lebih dikenal luas oleh masyarakat. KLG yang bermarkas di Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, didirikan oleh Irfandi sejak 2018 lalu. Lali merupakan bahasa Jawa yang artinya lupa, sedangkan gadget adalah gawai atau telepon pintar.
Dinamakan Kampung Lali Gadget karena komunitas ini bertujuan mengajak masyarakat terutama anak-anak melupakan gawai. Sebagai manusia modern, gawai telah menjadi kebutuhan bagi setiap orang, termasuk anak-anak. Penggunaan gawai kian meningkat di masa pandemi Covid-19 karena sistem pembelajaran dalam jaringan (daring).
Irfandi bercerita, jauh sebelum pandemi, penggunaan gawai pada anak-anak sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Di Desa Pagerngumbuk, misalnya, banyak anak-anak usia 18 tahun ke bawah bahkan anak Sekolah Dasar (SD) yang nongkrong di warung kopi sepulang sekolah.
Mereka memanfaatkan fasilitas jaringan internet gratis yang disediakan oleh pengelola warkop, untuk bermain game online. Kecanggihan teknologi yang menawarkan gim yang semakin variatif membuat anak-anak kian sulit lepas dari gawai. Kecanduan pun semakin menjadi-jadi.
“Alih-alih disuruh belajar, dipanggil oleh orangtuanya, diabaikan. Anak-anak menjadi pemarah, mudah memaki, bahkan mengumpat saat tidak diberikan gawai untuk bermain game. Kondisi kesehatan mereka juga terdampak karena terlalu lama menatap layar gawai,” kata Irfandi.
Melihat kondisi tersebut, Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini merasa prihatin. Dia pun terpanggil untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa dari dampak negatif penggunaan gawai. Caranya, mengajak anak-anak memainkan kembali dolanan tradisional.
Ironisnya, banyak dolanan tradisional yang ‘menghilang’ karena tidak lagi dimainkan. Dia pun harus mencari referensi tentang ragam dolanan tradisional kepada para sesepuh desa. Setiap desa, punya dolanan yang berbeda atau hampir sama namun ada modifikasi tertentu sesuai kearifan lokal.
Singkat cerita, ragam permainan tradisional, warisan berharga dari nenek moyang lambat laun mulai terindentifikasi. Jumlahnya banyak dan setiap permainan itu mengandung pesan moral yang tinggi. Misalnya, permainan kelompen atau sandal panjang, mengajarkan tentang perlunya kerjasama yang kuat supaya kompak. Tanpa kekompakan, kelompen tak bisa jalan, bahkan pemain akan jatuh tersungkur.
Setelah menemukan ragam dolanan tradisional, bukan berarti tantangan yang dihadapi Irfandi berhenti. Persoalan lebih serius muncul ketika sarana untuk memainkannya sudah tidak ada. Barangnya pun sulit diperoleh karena tidak diproduksi lagi. Alhasil, KLG harus memproduksi sendiri, seperti egrang, kelompen panjang, dan kitiran.
Seiring waktu, Irfandi tidak hanya menebarkan virus bermain dolanan tradisional di kampungnya dan desa-desa lain di Sidoarjo. Daerah di luar Sidoarjo bahkan di luar Provinsi Jatim pun mulai banyak tertarik belajar dan meminta dia mengajarkan permainan tradisional mereka kepada para generasi muda agar mengenal akar budayanya.
Kepedulian Irfandi pada masa depan anak-anak membuatnya tak berhitung soal biaya yang dikeluarkan. Meski demikian, dia tak menutup mata pada kebutuhan anggaran untuk menjamin kelangsungan perjuangannya. Oleh karena itulah, beragam usaha ekonomi berbasis ekonomi kreatif dikembangkan.
Baca juga : Azmir Azhari Mempersembahkan ”Providentia Dei”
Salah satunya, produksi udeng atau tutup kepala khas Kota Delta, julukan Sidoarjo karena berada di dataran delta Sungai Brantas. Produksi udeng dipilih untuk melestarikan warisan budaya berupa benda tersebut yang kini mulai punah.
Dia bercerita, dulu, di Desa Sawocangkring, Wonoayu, terdapat sentra produksi udeng khas Sidoarjo. Kerajinan penutup kepala ini sempat menguasai pasar di kota-kota besar seperti Surabaya. Namun, kini usaha tersebut mati karena tak ada perajin. Generasi muda lebih memilih kerja pabrik daripada menjadi perajin udeng.
Selain udeng, KLG dan Sidoasik juga merintis usaha jualan mainan tradisional. Sejauh ini mereka mengandalkan donasi relawan dan menolak pendanaan yang bersifat mengikat untuk menjaga cita-cita mulia yang diperjuangkan. Namun, Irfandi sadar, dirinya tak akan mampu berjuang sendiri karena beragam keterbatasannya.
Oleh karena itulah dia bertekad membawa semangat perlawanan terhadap dampak buruk gawai, sebagai persoalan besar bangsa Indonesia. Dia juga ingin membumikan kembali dolanan tradisional di rumahnya sendiri, agar tak dikalahkan oleh budaya asing seperti game online.
Alih-alih disuruh belajar, dipanggil oleh orangtuanya, diabaikan. Anak-anak menjadi pemarah, mudah memaki, bahkan mengumpat saat tidak diberikan gawai untuk bermain game. Kondisi kesehatan mereka juga terdampak karena terlalu lama menatap layar gawai.
Irfandi mengapresiasi upaya pemerintah mendorong industrialisasi game online sebagai salah satu upaya menumbuhkembangkan ekonomi kreatif. Namun, kebijakan itu hendaknya dibarengi dengan upaya mereduksi dampak negatif penggunaan gawai, terutama game online, secara masif dan terstruktur demi menyelamatkan generasi emas Indonesia.
Achmad Irfandi
Lahir : Sidoarjo, 12 Mei 1993
Pendidikan :
- SDN 01 Pagerngumbuk, Sidoarjo (2005)
- SMPN 01 Wonoayu, Sidoarjo (2008)
- SMAN 01 Wonoayu, Sidoarjo (2011)
- Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (2016)
- Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (2021)
Apresiasi :
- Pemuda Pelopor Sidoarjo 2017/2018
- Pemuda Pelopor Provinsi Jatim 2020/2021