Regina Safri: Dari Orangutan, Jatuh Cinta pada Alam
Regina Safri menembus batas dengan memilih jalur memotret alam liar yang tak banyak ditekuni. Biaya yang besar dan risiko yang tak terduga pada akhirnya membuat banyak orang mundur.
Ada benarnya bahwa kekuatan cinta mengalahkan banyak hal. Keragu-raguan yang muncul dapat pupus. Bahkan, rintangan seberat apa pun tak dirasakannya. Fotografer Regina Safri (37) membuktikannya. Kecintaan yang sangat besar terhadap alam dan isinya membuat langkahnya mantap menjajaki banyak hutan demi menjaganya.
”Aku bukan anak alam, anak alay iya, ha-ha-ha,” canda Rere, sapaan akrab Regina, saat berjumpa secara virtual pada Selasa (10/8/2021) siang. Tak setitik pun pengalamannya berjibaku di alam liar sebelum akhirnya meyakinkan diri menerobos hutan di Kalimantan Timur untuk memotret orangutan pada 2011. Kini, ia tengah berada di Sumatera Utara membantu pergerakan Orangutan Information Centre.
Dari tayangan televisi tentang orangutan yang tak sengaja disaksikannya, Rere tergugah untuk mendalami mengenai orangutan. Kenapa mereka disiksa? Kenapa mereka diburu? Apa salah mereka? Apa benar separah itu kondisi di sana? Berbekal izin yang diberikan kantornya saat itu, Rere berangkat ke Kalimantan Timur.
Meski mengantongi izin, bukan berarti Rere mendapat pembiayaan dari kantor berita yang menaunginya. Tabungan yang dimilikinya pun terpaksa dikuras hingga bisa berangkat. Delapan bulan, perempuan kelahiran Jakarta ini pulang pergi Kalimantan-Jakarta untuk menuntaskan hasratnya mengurai akar persoalan tentang orangutan.
”Iya pulang balik, karena aku juga masih harus liputan harian juga. Kalau dipikir-pikir ya capek, tapi enggak berasa. Biaya juga banyak keluar. Tapi semacam ada koneksi saat melihat orangutan pertama kali secara langsung saat memotret itu. Aku cari tahu lebih banyak dan cari datanya. Aku yakin, aku harus berbuat sesuatu,” ungkapnya.
Kemampuan meramu foto dan menulis pun menjadi senjatanya untuk bersuara bagi orangutan di Kalimantan. Membangun akses dengan warga lokal hingga komunitas lingkungan setempat membawanya semakin dalam menelusuri seluk-beluk orangutan. Fakta orangutan diburu, salah satunya juga berasal dari manusia.
Tempat tinggal mereka berganti beton, berubah menjadi kebun sawit. Periuk makan orangutan ini kosong karena hutan makin sempit. Demi tetap hidup, mereka masuk ke permukiman warga dan kebun masyarakat.
”Lalu mereka dianggap hama, merugikan ekonomi. Padahal, mereka bermanfaat bagi kehidupan. Mereka ini penyebar biji, yang juga berfungsi membentuk kehidupan baru dan bisa menjaga kelestarian hutan. Kalau hutan hilang, orangutan hilang. Begitu juga sebaliknya, manusia bakal kena dampaknya juga,” tutur Rere.
Perjalanan selama delapan bulan pun dibukukan pada 2012 disertai pameran foto tunggal. Ia juga pergi ke beberapa kota bercerita tentang orangutan lewat buku fotonya yang bertajuk Orangutan Rhyme and Blues.
Tak cukup hanya Kalimantan. Rere menggagas perjalanan ke hutan Sumatera. Dari Aceh sampai Lampung disusurinya dengan telaten. Lagi-lagi, ia menghabiskan tabungannya ditambah dengan menjual perhiasan dan kamera untuk membiayai proyeknya kali ini. Keluar masuk hutan selama tiga tahun menjadi kebiasaan baginya. Hingga lahir buku tentang hutan Sumatera yang juga dibawa Rere berkeliling ke sepuluh kota di Indonesia.
”Karena dorongan passion yang besar, segala halangan yang susah aku hadapi. Dorongan cinta yang besar itu yang buat aku cepat belajar. Learning by doing,” ujar perempuan yang gemar menonton Discovery Channel dan National Geographic yang kemudian menjadi referensinya dalam menghasilkan karya di alam liar.
Mendobrak batas
Sejak awal, niat Rere menjumpai orangutan hingga keluar masuk hutan bukan untuk memenuhi ambisi proyek pribadi. Keinginannya agar orangutan dan satwa langka, termasuk hutan yang ada di Indonesia, tetap lestari. Selama ini, banyak kampanye untuk menjaga hutan tanpa orang memahami secara dekat tentang hutan dan satwanya. Lewat foto, Rere merasa lebih mudah.
”Visual itu, kan, lebih nempel. Orang melihat, langsung terekam. Hutan yang hijau, cantik. Satwa, misalnya burung sungai berwarna-warni yang cantik. Saat menyadari itu, mereka jadi mengerti alasan kenapa harus menjaga hutan. Kenapa harus menjaga satwanya. Jadi, ini salah satu caraku berkampanye dan ngompori orang-orang. Juga menyebarkan virus peduli,” ujarnya.
Namun, upayanya ini tentu saja sempat berbenturan karena alasan klise bahwa dirinya perempuan. Pandangan bahwa perempuan akan kerepotan berada di dalam hutan, bahkan tidak tangguh, mengiringi langkahnya. ”Dari teman satu profesi juga ada yang bilang, emang lu bisa? Tapi ya udah dijalani aja dan ada buktinya,” ungkapnya.
Keluarga, terutama ibunda Rere, juga tak mengizinkan anak perempuannya ini berlama-lama di hutan. Lebih karena rasa khawatir yang besar. Akan tetapi, hasil yang ditunjukkan anak ketiga dari empat bersaudara ini meluluhkan hati ibunya. ”Asal harus ngasih kabar dan jelas, baru diizinin, ha-ha-ha,” kata Rere.
Masuk dalam dunia fotografi yang didominasi pria saja merupakan dobrakan yang dilakukannya. Rere melampaui batasnya dengan memilih jalur memotret di alam liar yang tak banyak ditekuni. Diminati iya, tetapi untuk ditekuni tak semudah itu. Biaya yang besar dan risiko yang tak terduga pada akhirnya menjadi penghambat bagi yang ingin mendalami fotografi alam liar.
Belum lagi lokasi yang tak menentu karena kondisi di hutan tak dapat diprediksi. Adakalanya jalur yang mereka lalui terendam banjir karena sungai meluap sehingga membuatnya tertahan sementara waktu.
Memotret pun acap kali menemui kendala meski dipersiapkan karena lokasi yang dihadapi kadang tak sesuai ekspektasi. Memotret gajah, misalnya. Sudah ribuan frame milik Rere mengabadikan gajah. Namun, tiap akan mengambil gambar gajah lagi, Rere selalu menemui tantangan berbeda. ”Medan perangnya beda dengan liputan di kota,” ungkap Rere yang masih ingin terus mendalami profesi ini.
Menurut Rere, masih banyak cerita yang harus dia bagikan kepada banyak orang untuk mengetuk hati berkesadaran menjaga alam. Ia pun keras menolak donasi atau bantuan untuk proyeknya apabila ada kecenderungan mengintervensi karya. Pengalamannya menangkap pemburu harimau yang ternyata merupakan oknum pegawai negeri sipil Taman Nasional Berbak, Jambi, pun dapat terangkum apik dengan jujur dalam bukunya.
Jaringannya sebagai wartawan dimanfaatkan Rere untuk menyebarkan informasi serupa atau mengabarkan kampanyenya sehingga dapat teramplifikasi. Untuk lebih memperkaya pengetahuannya, Rere kini menempuh pendidikan S-2 dengan mengambil Jurusan Ilmu Lingkungan di Universitas Indonesia.
Tesis dengan tema pendidikan lingkungan untuk anak remaja di desa penyangga hutan dipilihnya. Tema ini diambil setelah menemui peristiwa anak di bawah umur memberondong orangutan dengan tembakan. ”Saat ditanya, dia enggak tahu bahwa orangutan satwa yang dilindungi. Makanya aku pengin ada pendidikan lingkungan ini,” ujarnya.
Selain merampungkan studi, Rere juga sudah berencana kembali menyambangi hutan di timur Indonesia. Bahkan, ia juga bermimpi membuat khusus tentang laut, berbekal pengalaman bekerja dengan Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan.
”Intinya caring capacity. Alam ini, kan, ngasih banyak ke kita, makanya jangan bikin dia patah hati,” tutur perempuan yang menjadi salah satu pembicara di Kompasfest pada Jumat (20/8/2021) ini.
Biodata
Nama : Regina Septiarini Safri (Rere)
Lahir : Jakarta, 23 September 1983
Pendidikan : - S-1 Komunikasi, Fisipol Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta
- S-2 Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta
Pengalaman Pekerjaan
- 2005-2016, jurnalis dan fotografer di Kantor Biro Foto Antara
- 2016-2018, fotografer Menteri Susi Pudjiastuti,
(Biro Kerja Sama dan Humas di Kementerian Kelautan dan Perikanan)
- 2019-2020, Satgas115, satuan tugas bentukan Presiden untuk pemberantasan illegal fishing
- 2020, Head Communication of Pandu Laut Nusantara
Pameran Foto
2007 Pameran ”Air” bersama PFI di Jogja (bersama)
2011 Pameran ”Merapi” bersama Antara di Kemang, Jakarta (bersama)
2011 Pameran ”Jangan Fitnah Merapi” bersama PFI di JNM Jogja (bersama)
2011 Pameran ”Kilas Balik Antara” di Galeri Foto Jurnalistik Antara (bersama)
2012 Pameran ”Kilas Balik Antara” di Galeri Foto Jurnalistik Antara (bersama)
2013 Pameran ”Jogja Berhenti Nyaman” di Bentara Budaya Yogyakarta (bersama)
2014 Pameran ”Ayo Ngguyu” di Bentara Budaya Yogyakarta (bersama)
2015 Pameran ”Nusa Bahari” di Bentara Budaya Yogyakarta (bersama)
2015 Pameran ”ASAP” di Bentara Budaya Jakarta (bersama)
2011 Pameran ”30 Frames of Jogja” di Bentara Budaya Yogyakarta (tunggal)
2012 Pameran ”Orangutan Rhyme and Blues” di Galeri Antara, Jakarta (tunggal)
Buku
2011 Buku Membidik Peristiwa Jadi Berita
2012 Buku Orangutan Rhyme and Blues
2015 Buku Belajar Membumi bersama Mbah Rono
2017 Buku unpublished Susi Pudjiastuti, Kece dari Lahir
2018 Buku unpublished Susi Pudjiastuti, Kece dari Lahir 2
2019 Buku foto hutan Sumatera, Before Too Late