Kiprah Deni Rachman (42) dalam industri perbukuan sudah berlangsung sekitar 20 tahun. Kendati terkenal sebagai penjual buku lawas di LawangBuku, jejaknya dalam dunia literasi di Bandung sebetulnya lebih dari itu.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Kiprah Deni Rachman (42) dalam industri perbukuan sudah berlangsung sekitar 20 tahun. Kendati terkenal sebagai penjual buku lawas di LawangBuku, jejaknya dalam dunia literasi di Bandung, Jawa Barat, sebetulnya lebih dari itu. Sepak terjang Deni sudah merambah sebagai penerbit buku, pegiat literasi, dan penulis.
Bagi kolektor buku, jenama LawangBuku sebagai toko buku lawas daring dari Bandung pasti sudah tak asing. Menurut Deni, sesuai dengan namanya, LawangBuku bertujuan menjadi jalur keluar masuk ide, dialektika, dan informasi. Orang jadi bisa bertransaksi, berjumpa, dan berdiskusi tentang karya-karya di dunia literasi.
”Itu narasi besarnya. Saya ingin mendistribusikan ilmu agar bermanfaat untuk orang lain. Salah satu tujuan literasi, kan, membangun kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan, dalam hal ini, lingkungan sekitar saya adalah Bandung,” kata Deni saat berjumpa di kediamannya di Cigadung, Cibeunying Kaler, Bandung, Selasa (15/6/2021).
Di LawangBuku, Deni juga melakukan diversifikasi unit bisnis dengan membuat beberapa merek turunan. Oleh-oleh Boekoe Bandoeng fokus pada penjualan buku-buku tematik Bandung, Menara Api menerbitkan buku-buku indie untuk komunitas sehingga bisa disalin, sedangkan ProPublic.Info menerbitkan buku untuk umum.
Diversifikasi bisnis tersebut membantu Deni menjaga stok bagi toko bukunya. Namun, lewat unit-unit bisnis tersebut, ia juga membantu para penulis pemula di Bandung agar bisa menerbitkan karya mereka. Menurut Deni, sudah sekitar tujuh penulis pemula yang menerbitkan buku lewat usahanya.
Beberapa penulis itu di antaranya Iman Herdi (novel Melukis Jalan Astana, 2020), Ojel Sansan Yusandi (novel Kala Murka, 2020), Atep Kurnia (buku sejarah Jejak-Jejak Bandung, 2020), dan Hafidz Azhar (buku sejarah Bandung di Persimpangan Kiri Jalan, 2021). Tak jarang, Deni berkolaborasi dengan komunitas atau penerbit lain untuk membedah buku-buku yang diterbitkan itu secara luring dan daring.
Tidak hanya itu. Deni turut aktif terlibat dalam berbagai komunitas, baik sebagai pengurus maupun pendiri. Deni pernah membuat agen literasi Dipan Senja dan komunitas jelajah sejarah Ulin Bandoeng serta bergabung dalam Klab Baca Pramoedya yang berkembang menjadi Pramoedya Institute.
Pada 2009, Deni menjadi salah satu pendiri Asian-African Reading Club, sebuah komunitas untuk menjaga Semangat Bandung dan nilai-nilai Konferensi Asia-Afrika. Komunitas itu selanjutnya berkembang menjadi komunitas yang membaca, memahami, dan mengulik buku tentang sastra, sejarah, serta pemikiran kebangsaan. Saat ini, Asian-African Reading Club beranggotakan 10-15 orang.
Deni selanjutnya menjadi salah satu pendiri Sahabat Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA) pada 2011. Komunitas ini bertujuan mengampanyekan museum, mempromosikan kebudayaan, dan mengembangkan klub peminatan. Sahabat MKAA, dengan lebih dari 1.000 anggota, turut mendorong kerja sama dan kajian antarbangsa Asia-Afrika.
”Dua komunitas ini mungkin puncak keberhasilan saya dalam komunitas. Sejak 2000-2009, komunitas di mana saya terlibat mengalami konflik, gagal, atau berujung tidak aktif. Ini sudah satu dasawarsa lebih masih aktif berkegiatan dan konsisten,” ujar Deni.
Deni, yang mengoleksi sekitar 1.500 judul buku lawas, juga aktif menulis buku dan artikel. Salah satu karyanya yang berkesan adalah Pohon Buku di Bandung: Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009 (2018). Menurut rencana, Deni akan lanjut menulissoal industri buku di Bandung setiap dekade sampai era tahun 1920-an.
Penuh petualangan
Jalan Deni di dunia literasi Bandung tak lepas dari masa muda yang penuh petualangan. Lahir pada 1979 di Sukabumi, Deni sempat hidup berpindah-pindah lantaran pekerjaan ayahnya sebagai pegawai perkebunan. Sejak kecil, ia sudah terbiasa melihat kakak sulungnya rajin membaca buku atau koran.
Pada 1988, Deni melanjutkan pendidikan sekolah dasar di Palabuhanratu, Sukabumi, yang terpencil. Lantaran hanya ada tiga guru yang mengajar di sekolah itu, Deni diberi tugas mengelola perpustakaan di sekolah tersebut. Tugasnya mengatur buku dan mencatat peminjaman buku. Dari situlah, Deni rajin melahap buku. Nilai tinggi Deni di SD mengantarnya ke SMP Negeri 1 Palabuhanratu pada 1991 dan kemudian ke SMU Negeri 1 Bandung pada 1994.
Saat berkuliah di Universitas Padjadjaran pada 1998, kampus menjadi tempat Deni mengulang hidupnya dari titik nol. Karena tidak setuju dengan kekerasan senior, Deni sempat tidak betah di kampus. Kebetulan satu kawan memperkenalkan novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer. Mental Deni tentang hidup, keluarga, dan kampus pun berubah. Ia bertekad untuk hidup mandiri.
Deni pun mulai banyak menulis, membaca, dan mengoleksi buku-buku, termasuk soal sastra Indonesia. Atas usulan temannya, Deni berjualan buku di Pasar Kaget Gasibu sejak 2001. Kiprahnya sebagai penjual buku dengan jenama LawangBuku itu berlanjut hingga merambah ke pameran-pameran. Kuliahnya jadi sempat terbengkalai sehingga baru lulus pada 2005.
Pada tahun yang sama, bersama temannya, usaha Deni berubah menjadi distributor buku. Malang tak bisa ditolak, usaha ini bangkrut akibat krisis moneter pada 2009. Utang puluhan juta menumpuk. Meskipun trauma, Deni tak bisa jauh-jauh dari dunia literasi. Ia sibuk bekerja sebagai pustakawan, konsultan penulisan, manajer bakat, dan pegiat literasi.
Pertemuan dengan calon istri membuat Deni kembali menemukan jalan di dunia buku. Pada 2010, LawangBuku hadir dengan branding baru sebagai toko buku lawas. Usaha ini berkembang dan bertahan. LawangBuku bisa terlibat, antara lain, dalam pameran Ramadhan Post Book 2021 dan membuat pameran tunggal berkolaborasi dengan Anatomi Coffee selama pandemi ini.
”Ada tiga prinsip untuk bertahan, yaitu kolektif, kolaboratif, dan adaptif, terutama di era digital. Para pegiat buku harus bisa bertahan hidup dari semua saluran pemasaran karena tak jarang kami bekerja sambilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saya terbantu berkat dukungan istri,” ujar Deni.
Deni Rachman
Lahir: Sukabumi, 16 Juni 1979
Pendidikan: Program Studi Kimia FMIPA Universitas Padjadjaran (1998)
Pekerjaan: Pendiri LawangBuku (2001- sekarang) dan Penulis
Istri: Ully Sofia Maulina
Anak:
Adhitya Iqra Dharmanarayan
Bujangga Nom Sofie Dharmaudawa
Ciptarasa Putik Denira Dama
Dewangga Fathan Tarusbawa
Prestasi:
LawangBuku Juara II Stand Terbaik Pameran Buku Bandung, IKAPI Jawa Barat (2013)
Penghargaan dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia sebagai Pendiri Sahabat Museum Konferensi Asia-Afrika, Asian-African Reading Club, dan turut aktif mendukung upaya pelestarian dan internalisasi nilai-nilai Semangat Bandung di kalangan generasi muda (2013)
Juara I Lomba Resensi Buku Hari Buku Nasional IKAPI Jawa Barat (2004)
Siswa Teladan ke-2 tingkat Kabupaten Sukabumi (1992)