Nafsiah Mboi: Berani dan Merangkul Semua
Nafsiah Mboi dikenal luas karena keberaniannya berpendapat dan mengambil keputusan terkait kesehatan publik. Ia gigih memperjuangkan penanggulangan HIV dan penghapusan stigma serta diskriminasi pada orang dengan HIV.
Seperti tak mengenal kata istirahat, Nafsiah Mboi masih sangat aktif di usia yang pada 14 Juli mendatang genap 81 tahun. Mulai dari menjadi pembicara diskusi daring hingga jeli mengkaji data kesehatan terbaru dan memberikan masukan kepada para pemangku kepentingan.
”Saya tetap belajar, banyak ikut grup Whatsapp yang isinya anak-anak muda dengan pemikiran yang segar. Saya suka kedokteran berbasis bukti,” katanya, Selasa (15/6/2021).
Kehadiran Nafsiah di forum-forum pertemuan kesehatan, baik luar jaringan (luring) maupun dalam jaringan (daring), selalu mendapat sambutan hangat dari audiens. Nafsiah yang murah senyum ini menjadi guru bagi banyak kolega tenaga kesehatan.
Banyak yang bisa diteladani dari mantan pegawai negeri, aktivis, dan menteri itu, terutama kegigihannya dalam upaya mengendalikan HIV di Indonesia. Atas kiprahnya tersebut, ia meraih penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Tahun 2021 dari harian Kompas.
Baca juga : Melawan Stigma dan Diskriminasi, Upaya Indonesia Mencapai Bebas AIDS 2030
Sejak ditempatkan sebagai dokter di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tahun 1964 sampai pensiun tahun 1997 dan menggapai puncak karier sebagai Menteri Kesehatan 2012-2014, pergulatan pemikiran dan kiprah Nafsiah tidak bisa dilepaskan dari pengalaman dan penugasannya selama di NTT.
Perjalanan Ibu Naf, begitu beliau dikenal luas oleh kolega tenaga kesehatan, di bidang kesehatan dimulai setelah lulus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1964 dan ditempatkan di Ende sekaligus menjadi dokter perempuan pertama di sana. Sementara sang suami, Brigjen TNI (Purn) alm Benedictus Mboi, MPH, menjadi dokter kabupaten di Ende dan Manggarai.
Setelah mengabdi tiga tahun di daerah, seorang dokter boleh melanjutkan studi ke jenjang dokter spesialis. Melihat perempuan-perempuan Ende yang senang kalau diperiksa dokter perempuan, Ibu Naf ketika itu ingin menjadi dokter spesialis kebidanan dan kandungan.
Akan tetapi, ternyata ia tidak boleh menempuh pendidikan dokter spesialis kebidanan dan kandungan. ”Banyaklah alasannya. Katanya perempuan tidak mungkin kuatlah, tidak bisa kalau jagalah. Omong kosong saja itu semua,” katanya. Ia akhirnya menempuh pendidikan dokter spesialis anak di FKUI, lulus tahun 1971, dan melanjutkan untuk memperdalam kesehatan anak di Rijks Universiteit, Gent, Belgia, lulus tahun 1972.
Baca juga : Inovasi dan Riset Mesti Implikatif dan Mampu Mengatasi Persoalan Bangsa
Menyandang gelar dokter spesialis anak, Nafsiah pun kembali ke NTT dan bertugas sampai tahun 1975. Pengabdiannya di NTT ternyata tak sampai di situ. Ia mendampingi suaminya yang terpilih menjadi gubernur NTT pada tahun 1978-1988.
Nafsiah menuturkan, ketika itu sedang gencar upaya pemberdayaan perempuan. Sebagai istri gubernur, ia pun berkewajiban mendukung program kerja suaminya yang ingin mengentaskan penduduk dari kemiskinan. Ibu Naf akhirnya fokus pada penanggulangan penyakit-penyakit anak terkait kemiskinan.
”Ketika itu anggaran provinsi kecil sekali. Rakyatnya miskin dan sangat miskin serta pelayanan kesehatannya hanya kuratif. Obat tidak ada,” tuturnya.
Dalam kondisi serba terbatas itu, ia akhirnya merangkul semua pihak untuk memulai gerakan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, terutama untuk penyakit malaria, infeksi saluran pernapasan, dan diare. Mamak-mamak NTT kemudian menjadi penggeraknya di tingkat masyarakat.
Program imunisasi yang masih sangat terbatas kala itu pun turut digenjot hingga akhirnya cakupan imunisasi dasar wajib mencapai 97 persen.
Untuk menjadi dokter yang baik, Nafsiah belajar banyak dari mendiang suaminya. Menurut dia, suaminya adalah sosok dengan pendekatan humanis dan memiliki kemampuan komunikasi luar biasa. Ia mampu meyakinkan rakyat biasa hingga presiden di masa itu, Soeharto. Keterampilan itu berguna untuk merangkul dan meyakinkan banyak pihak dalam kegiatan promosi kesehatan.
”Saya bertemu suami di FKUI. Saat itu, dia ketua panitia penyambutan mahasiswa baru, tapi baik, halus suaranya. Keluarga sempat tidak setuju karena beda suku dan agama. Kami seribu kali putus, tapi seribu kali nyambung lagi. Kami sama-sama keras orangnya,” kenang Bu Naf.
Pembangunan kesehatan
Menurut Nafsiah, pembangunan kesehatan di Indonesia dalam kurun waktu 1990-2019 sudah banyak kemajuan. Angka harapan hidup meningkat, angka kematian bayi dan angka kematian ibu menurun. Sistem pelayanan kesehatan juga sudah lebih tertata dan bahkan Indonesia kini memiliki program Jaminan Kesehatan Nasional yang memiliki peserta 224 juta penduduk.
Akan tetapi, transisi epidemiologi di mana penyakit tidak menular makin mendominasi sebagai penyebab kematian meresahkan Nafsiah. Meski angka harapan hidup penduduk meningkat, angka harapan hidup sehat penduduk juga masih merisaukan.
Pada tahun 1990, angka harapan hidup Indonesia 69,4 tahun, sementara angka harapan hidup sehat 61,2 tahun. Ada selisih sekitar delapan tahun tahun dilalui masyarakat Indonesia dalam disabilitas. Kualitas hidup mereka buruk.
Baca juga : Mempercepat Eliminasi Malaria di Kawasan Timur Indonesia
Kesenjangan angka harapan hidup (AHH) dan angka harapan hidup sehat (AHHS) itu justru melebar pada tahun 2019, yakni AHH 73,5 tahun dan AHHS 62,9 tahun. Ketimpangan kualitas hidup dan akses pelayanan kesehatan antardaerah juga masih sangat timpang.
Minatnya terhadap analisis data beban penyakit membuat Ibu Naf kini terlibat aktif sebagai anggota dewan Institute for Health Metrics Evaluation (IHME) di University of Washington, Amerika Serikat.
Ibu Naf mengakui bahwa dia banyak diminta untuk menempati posisi dewan penasihat atau dewan pertimbangan banyak organisasi. Namun, di antara semua, ia lebih aktif di IHME.
”Bagaimana pada setiap tahap kehidupan bisa berkontribusi positif, asal mau membuka diri dan belajar terus serta berusaha memberikan yang terbaik. Tuhan tetap menuntun kita,” kata Nafsiah.
Berani
Salah satu mengapa Nafsiah dikenal luas adalah keberaniannya dalam berpendapat dan mengambil keputusan. Dalam isu pengendalian tembakau, misalnya, Ibu Naf berani beradu argumen dengan organisasi petani tembakau bahwa rokok berbahaya dan perlu dikendalikan produksi dan peredarannya.
Keberaniannya juga terlihat dalam pengendalian HIV, bidang kesehatan tempat ia mendedikasikan diri selama tiga dekade. Perkenalannya dengan penyakit infeksi ini bermula ketika ia bertemu dengan Guru Besar Epidemiologi Jonathan Max Mann, saat menjadi research fellow di Harvard University, Amerika Serikat.
Bagaimana pada setiap tahap kehidupan bisa berkontribusi positif, asal mau membuka diri dan belajar terus serta berusaha memberikan yang terbaik. Tuhan tetap menuntun kita.
”Mulai dari enggak tahu persis apa itu HIV sampai akhirnya tertarik, ya, setelah bertemu dengan bapak program HIV, Jonathan Mann,” ujarnya.
Nafsiah juga sempat belajar formulasi kebijakan kesehatan yang nondiskriminatif di Australia. Pengalaman itulah yang kemudian mendorong ibu dari tiga anak itu untuk mencari formula penanganan HIV yang cocok di Indonesia.
Sikap berani Ibu Naf terlihat ketika menawarkan alat suntik steril gratis dan terapi metadon kepada para pengguna narkoba suntik saat ia menjadi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Sebuah keputusan yang kontroversial ketika itu. ”Banyak orang takut menangani ini (HIV). Ngomong kondom saja takut, kok,” ujarnya.
Kemampuannya merangkul banyak pihak, termasuk kelompok berisiko untuk menjadi pendidik sebaya dan laki-laki yang sering dilupakan dalam penanganan HIV, juga membuktikan bahwa pendekatan yang Ibu Naf ambil sangat tidak biasa di Tanah Air. Namun, justru pendekatan itu efektif sampai sekarang.
”HIV akan tetap jadi ancaman sepanjang pendekatannya moral dibandingkan kesehatan masyarakat,” ujarnya. (EVY RACHMAWATI)