Yus Lusi berhasil membangun Sentra Tenun Ina Ndao serta lembaga pendidikan dan pelatihan tenun di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ribuan perempuan dari NTT dan Papua pernah belajar menenun di sentra itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Tiga puluh tahun Yus Lusi bersusah payah mengembangkan Sentra Tenun Ina Ndao di Kota Kupang. Ia berhasil menjadikan Ina Ndao sebagai sentra tenun terbaik di Kupang yang dilengkapi dengan pusat pelatihan dan pendidikan tenun.
Sentra Tenun Ikat Ina Ndao yang dikelola Yus Lusi (59) di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, tampak seperti mal mini. Ribuan kain tenun dan pakaian berbahan tenuh dipajang di sana. Ada yang ditata di dalam lemari kaca, digantung di dinding, atau dipamerkan di ruangan yang ditata seperti panggung.
Menurut Yus Lusi, ada sekitar 3.700 lembar kain tenun dan banyak pakaian dari bahan tenun di sentra itu. Produk-produk itu mewakili sekitar 2.500 motif tenun khas dari daerah-daerah di NTT, termasuk motif-motif tenun dari desa terpencil yang jarang ditemukan.
Selain tenun, Ina Ndao juga memajang banyak produk kerajinan khas NTT, mulai topi ti’i langga, alat musik sasando, cincin dari sisik, anyaman dari lontar, kopiah, gelang akar bahar, hingga kopi dari beberapa daerah di NTT. Produk dijual mulai puluhan ribu hingga jutaan rupiah.
Jumat (21/5/2021) siang, kami bertemu Yus di teras Ina Ndao di Kelurahan Naikoten, Kota Kupang. Sentra tenun itu dilengkapi aula serba guna, tempat foto pre-wedding, dan kafe yang menyediakan kopi bajawa dan manggarai, serta aneka camilan.
Pandemi Covid-19 yang melanda setahun terakhir membuat pengunjung yang datang ke Ina Ndao menurun drastis. ”Belum lagi ditambah serangan badai Seroja. Bencana ini membuat semua usaha, termasuk tenun ikat, mati suri,” kata Yus.
Sebelum pandemi, ujar Yus, tamu yang datang bisa 100 orang per hari. Kini, hanya 1-2 orang yang datang. Itu pun belum tentu berbelanja, melainkan hanya melihat-lihat atau foto-foto. Omzet Ina Ndao pun turun 50 persen dalam setahun. Ketika terjadi badai Seroja, omzetnya menukik lagi tinggal 30 persen.
Meski situasi sedang susah, Yus berusaha keras tidak mengurangi karyawan yang saat ini berjumlah 30 orang, termasuk 15 perajin tenun. Agar usahanya bisa bertahan, ia menghemat listrik, mengurangi pemakaian penyejuk ruangan, dan tidak merekrut karyawan baru.
”Awal pandemi kami sempat kewalahan membayar upah mereka, tetapi setelah itu kami panggil lagi (mereka untuk bekerja),” ujar Yus.
Berdayakan perempuan
Pandemi dan badai Seroja hanyalah satu dari sekian banyak rintangan yang harus dilalui Yus sejak ia mendirikan Ina Ndao di Kupang pada 1991. Saat itu, ia menenun kain dengan motif tenun dari Pulau Ndao dan Rote.
Rote dan Ndao memiliki motif yang relatif sama karena mereka berasal dari satu nenek moyang. Namun, motif Ndao lebih variatif. Sementara itu, motif tenun Rote didominasi bentuk burung.
Melihat mayoritas perempuan di Ndao suka menenun, Yus mulai mengumpulkan mereka untuk memproduksi kain tenun. Hasilnya dibeli Yus dengan harga Rp 20.000-Rp 300.000 dan dibawa ke Kupang untuk dipasarkan.
Pada 2008, ia membawa 10 perempuan Ndao untuk menenun di Ina Ndao. Seiring perkembangan usaha, Ina Ndao tidak hanya memproduksi tenun Ndao dan Rote, tetapi juga tenun dengan motif Sumba, Flores, Timor, dan Alor. Tahun itu juga, Yus mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan (diklat) tenun di Sentra Tenun Ina Ndao untuk melatih kaum ibu.
Awalnya hanya untuk ibu-ibu dari Ndao. Belakangan, peserta pelatihan juga mencakup ibu-ibu dari Kupang, pelajar, dan mahasiswa. Yus membiayai kegiatan itu. Bahkan, untuk para pelajar dan mahasiswa yang ikut menenun, biaya pendidikannya ditanggung Ina Ndao.
Seiring waktu, peserta pelatihan juga datang dari Papua, mulai Jayapura, Keerom, Timika, hingga Merauke, serta Papua Barat, yakni Sorong, Fakfak, Maybrat, dan Manokwari. Ada 500-an perempuan dari Papua dan Papua Barat yang pernah berlatih menenun di Ina Ndao.
Sejak 2009 hingga 2021, secara total ada 4.700-an kelompok perempuan yang telah dilatih di Ina Ndao. Setiap kelompok beranggotakan 5-20 orang. ”Kalau dari Papua dan Papua Barat serta beberapa kabupaten di NTT, kami kerja sama dengan pemda. Khusus kelompok pelajar dan ibu-ibu di Kota Kupang, mereka mengikuti pelatihan gratis,” ujar Yus yang belajar menenun sejak usia enam tahun.
Yus mengatakan, orang-orang yang pernah berlatih tenun di Ina Ndao sebagian membentuk kelompok petenun di sejumlah kelurahan. Sebagian lagi menjadi petenun perorangan. Mereka menenun dengan bahan dari Yus. Hasilnya akan dinilai dan dibeli oleh Yus untuk dijual di Ina Ndao. Agar kualitasnya terjaga, Yus memberi arahan terkait motif, panjang dan lebar kain tenun, hingga tata cara menenun yang baik.
Keberadaan Sentra Tenun Ina Ndao yang dikembangkan Yus mendapat pengakuan banyak pihak. Salah satunya, Ina Ndao ditetapkan sebagai juara satu nasional kategori pusat belanja khas daerah pada ajang Anugerah Pesona Indonesia (API), 20 Mei 2020, di Labuan Bajo. Sentra ini juga dijadikan sebagai tempat studi banding mahasiswa Universitas Nusa Cendana, Kupang, jurusan tenun ikat.
Sebagai sentra tenun pertama di Kota Kupang, Ina Ndao sering diajak pemda mengikuti sejumlah pameran di dalam dan di luar NTT. Namun, sejak 2020, kegiatan itu dihentikan sama sekali lantaran terjadi pandemi. Bahkan, pameran di Kota Kupang dan kabupaten lain di NTT pun tidak digelar untuk sementara. Dampaknya, hampir semua usaha tenun ikat di NTT jalan di tempat.
”Kebanyakan pengusaha kini hanya berusaha menjaga warisan leluhur ini tetap bertahan dalam keterbatasan. Mereka masih aktif menenun agar tidak lupa atau kalau ada pesanan khusus dari konsumen,” tambah Yus.
Pemilik satu-satunya lembaga diklat tenun ikat NTT ini menegaskan, ia terus berkreasi dan berkarya di tengah pandemi ini dengan memadukan motif-motif sesuai selera konsumen masa kini.
”Kami tidak menyerah. Semoga pandemi segera berlalu dan mudah-mudahan dengan meraih juara satu nasional API 2020 bidang belanja (produk kerajinan) tradisional, Ina Ndao makin dikenal, bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, dan tenun NTT tetap eksis,” tutur Yus.