Asa Perajin Tenun Tradisional NTT Diuji
Rumah tenun Mira Kaddi di Kampung Tenun Sabu, Kelurahan Kolhua, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, begitu sepi. Sejak empat bulan terakhir, konsumen tidak datang atau memesan hasil kerajinan.
Rumah tenun Mira Kaddi di Kampung Tenun Sabu, Kelurahan Kolhua, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, begitu sepi. Sejak empat bulan terakhir, konsumen tidak datang atau memesan hasil kerajinan dari 45 perajin anggota rumah tenun ini.
Sebagian perajin beralih pekerjaan untuk bertahan hidup. Meski demikian, mereka tetap menenun demi menjaga warisan leluhur. Ruangan tempat kelompok ibu-ibu menenun tampak tak terawat. Tiga alat tenun tergeletak di lantai. Hanya satu lemari kaca berisikan puluhan lembar sarung hasil tenun anggota kelompok terpajang di dalamnya.
Tidak ada penjaga ruangan tanpa sekat itu. Persis di pintu keluar sebelah kanan, di depan lemari kaca itu, tampak sebuah bangunan panjang, mirip tempat indekos. Dari dalam rumah itu, mereka bisa memantau siapa saja yang datang dan pergi.
Baca juga: Prodi Tenun Ikat Universitas Nusa Cendana Bakal Jadi Rumah Bagi Wastra Nusantara
Di rumah barak itu menetap beberapa perajin, yang juga anggota kelompok tenun tradisional Mira Kaddi. Ketika Kompas menghampiri rumah itu, Senin (8/6/2020), seorang anggota kelompok tenun Mira Kaddi menyambut hangat. Dia adalah Sabrina Hadu (49), yang memperkenalkan diri sebagai sekretaris kelompok.
”Aduh, yang bisa bicara kepada media, ketua kelompok, Ibu Hendrina Uly. Tunggu saya panggilkan. Anggota kelompok ini 45 orang, saat ini ada di rumah masing-masing, termasuk ketua kelompok,” kata Sabrina sambil bergegas semangat menuju kediaman Hendrina Uly, sekitar 10 meter dari rumah tenun.
Ketua Kelompok Mira Kaddi Hendrina Uly menjelaskan, rumah tenun Mira Kaddi dibangun tahun 2014 oleh Bank Indonesia Nusa Tenggara Timur (NTT). Mira Kaddi artinya membangun bersama, menenun bersama dalam kelompok. Ia menuturkan, saat pandemic Covid-19, situasi memang benar-benar sepi. Tidak ada peminat sama sekali.
Baca juga: Ketika Tenun Ikat NTT Mulai Mendunia
Semua sentra penjualan sarung NTT di Kota Kupang pun tidak lagi memesan sarung dari sini, seperti sebelum pandemi Covid-19, demikian pula pembeli perorangan atau kelompok. Sebelumnya, setiap pekan ada 5-30 sarung hasil tenun dari rumah tenun ini laku dijual. Selain karena larangan bekerja kelompok akibat Covid-19, sepinya pasar itu pula mendorong anggota kelompok Mira Kaddi menenun di rumah masing-masing.
Bahkan, belasan anggota kelompok terpaksa beralih pekerjaan sebagai penjual sayur, tahu tempe, dan bumbu dapur di pinggir jalan. Keuntungan yang diperoleh antara Rp 30.000 dan Rp 50.000 per hari. Akan tetapi, mereka ini mengaku berjualan sekadar bertahan hidup karena sang suami telah kehilangan pekerjaan sebagai tukang bangunan atau buruh bangunan dan pekerja serabutan.
Hendrina dan anggota lain bertahan menenun di rumah masing-masing. Hendrina memiliki 55 lembar sarung. Sebanyak 15 lembar dipajang di dalam lemari kaca di Mira Kaddi, dan 40 lembar disimpan di rumah. Karena sepi, ia tidak menenun rutin di rumah, sebagian waktu dihabiskan membereskan pekerjaan rumah.
Sekretaris Mira Kaddi, Sabrina Hadu (46), mengatakan, dirinya menekuni pekerjaan menenun sejak usia 5 tahun, belajar dari ibunya. Di Kupang, ia terus belajar menenun sampai hari ini. Dari empat anak, dua anak ia kuliahkan sampai sarjana dan dua lainnya memilih melanjutkan pekerjaan sebagai perajin tenun ikat, mengikuti jejak sang ibu.
”Saya punya sekitar 110 lembar sarung di rumah. Di dalam lemari kaca ini, saya simpan 10 lembar saja sebagai contoh. Jika ada yang berminat, semua hasil tenunan saya datangkan ke rumah tenun ini,” kata Sabrina. Ia mengatakan, sesuai kesepakatan kelompok, harga jual sarung antara Rp 25.000 dan Rp 600.000 per lembar.
Baca juga: Kreasi dan Inovasi Tenun NTT Mutlak Agar Berdaya Saing Internasional
Namun, di luar Kampung Tenun Sabu, ada yang menjual sampai Rp 25 juta per lembar, terutama sarung khusus peninggalan leluhur, untuk urusan adat, yakni mas kawin atau adat meminang gadis, dan sejenisnya. Sabrina saat ini tetap menenun di rumah. Satu lembar wastra berukuran panjang 1,5 meter dan lebar 85 cm diselesaikan dalam kurun waktu 5-12 hari. Jika ia fokus dari pukul 06.00 sampai pukul 18.00 Wita, sarung dapat dikerjakan lima hari. Namun, kalau masih terganggu dengan urusan rumah tangga, bisa selesai satu bulan.
Sulit memasarkan
Pesanan langsung ini biasanya dihargai Rp 600.000 per lembar. Konsumen meminta jenis-jenis motif, panjang, lebar, jenis benang, pewarnaan, dan kelembutan kain. Ia mendapatkan pesanan tiga lembar kain dalam dua bulan terakhir.
Ketua Kelompok Mama Alor di Kabupaten Alor, Syariat Libana, menghubungi Kompas, dari Alor, mengatakan, saat ini sangat sulit memasarkan hasil tenun kelompok mereka. Dalam empat bulan terakhir, 12.000 lembar sarung dihasilkan 75 anggota kelompok tenun, tetapi belum satu lembar pun terjual.
”Mereka datang dari sejumlah pulau di Kabupaten Alor, seperti Buaya, Pura, Pantar, dan Pulau Kepa. Mereka datang pagi hari, sore hari pulang ke pulau. Namun, sebagian menginap di kediaman saya karena malam hari masih menenun,” kata Libana.
Demi menghidupi 75 anggota kelompok, Libana mengarahkan sebagian perajin untuk bekerja di kebun, menanam jagung, umbi-umbian, kacang, dan sayur-sayuran. Hasil kebun untuk kebutuhan makan harian para perajin. Perajin lain tetap menenun di rumah tenun. Mereka bergantian sehingga semua perajin memiliki keterampilan berladang dan menenun.
Memenuhi kebutuhan sehari-hari para perajin di dalam keluarga, Libana terkadang juga terpaksa meminjamkan uang kepada anggota, kemudian dibayar dengan hasil penjualan sarung anggota. Bisa juga ia membeli sarung hasil tenunan anggota kelompok dengan harga Rp 50.000 hingga Rp 1 juta per lembar karena semua bahan dan alat tenun, biaya makan minum, dan seterusnya disiapkan Libana.
Ia mengatakan, harga tenun milik Libana berkisar Rp 100.000-Rp 10 juta per lembar. Kerajinan tenun milik Libana terkenal mahal karena menggunakan pewarna alami dari darat dan laut, berupa kerang, cumi-cumi, mengkudu, dan lainnya. Warna-warna ini tidak pernah luntur karena melalui proses yang panjang dan sudah diuji coba beberapa kali.
Orang NTT menenun secara manual karena mempertahankan tradisi leluhur.
Pemilik toko suvenir dan sarung khas NTT di Maumere, Moat Babong (65), mengatakan, selama turis dari dalam dan luar negeri tidak singgah di Flores, sarung tradisional Flores tidak laku dijual. Orang Sikka sendiri menenun di rumah-rumah sehingga tidak mungkin membeli sarung yang dijual di toko, pusat suvenir, atau pusat tenun kelompok.
Ia mengatakan, motif-motif tenun NTT sangat kaya warna, variasi, dan kreatif. Motif-motif itu, jika digabungkan, begitu indah dan memesona. Motif ini sulit ditiru, jika ditiru pun keaslian tenun NTT tetap terpantau. Mereka meniru melalui pabrik karena mengejar keuntungan ekonomi, sedangkan orang NTT menenun secara manual karena mempertahankan tradisi leluhur. Hasilnya pun jelas beda.
Ia mengatakan, menenun bagi orang NTT sebenarnya bukan soal untung-rugi. Dulu, nenek moyang menenun begitu saja tanpa ada harapan orang beli. Mereka menenun untuk pakai atau urusan adat, itu tujuan utama. ”Sekarang, karena tuntutan ekonomi, hasil tenun diperdagangkan. Tetapi, di beberapa tempat tenun dilarang dijual. Karena itu, tanpa pembeli pun sebagai warisan leluhur, tenun tetap hidup dan berkembang dari generasi ke generasi,” kata Babong.
Proses panjang
Proses tersebut yang membuat hasil tenun memiliki kandungan nilai yang tinggi. Apalagi, mereka juga melalui proses yang panjang dalam setiap menenun. Puluhan untaian benang masih berwarna putih atau belum diwarnai tampak bergantung di dinding rumah tenun Mira Kaddi. Benang sengaja dipajang sehingga ketika ada anggota kelompok kehabisan benang, mereka boleh menulis nama di buku kas kelompok, lalu mengambil benang yang sudah diberi nomor.
”Ini dipinjam saja. Setelah sarung laku dijual, orang yang telah mengambil benang itu mengembalikan benang serupa. Sebelum sarung belum laku, pemilik benang tidak boleh paksa. Ia bisa mengambil benang dari anggota lain jika ingin menenun,” kata Hendrina. Harga benang Rp 200.000 per gulung. Benang bisa menghasilkan satu sarung tradisional dengan ukuran 100 cm x 200 cm.
Kain dengan ukuran seperti itu bisa dijual dengan harga Rp 350.000 hingga Rp 600.000, tergantung dari motif dan tingkat kesulitan menenun. Benang yang dipajang biasanya warna putih. Orang yang meminjam akan memberi warna dan membuat motif sesuai dengan selera konsumen atau pasar. Ada yang menggunakan pewarna buatan, tetapi banyak pula yang membuat warna alami, yakni dari tumbuh-tumbuhan atau dari biota laut.
Tidak sampai di situ. Jika ada konsumen membutuhkan tenun dengan motif, warna, dan ukuran tertentu kepada salah satu anggota, tetapi ia tidak memiliki, orang tersebut berusaha menghubungi setiap anggota kelompok yang memiliki tenun tradisional dengan kriteria yang diinginkan konsumen.
”Kami punya arisan kelompok, yakni Rp 35.000 per bulan, per orang. Jika ada anggota kelompok yang dapat arisan, tetapi ia belum butuh uang, uang yang didapat itu diberikan kepada yang membutuhkan,” katanya. Kelompok Mira Kaddi berusaha agar semua anggota terus menenun. Karena itu, mereka saling membantu di tengah sepi peminat sarung tradisional ini.
Menenun tidak saja untuk mencari keuntungan ekonomi, tetapi juga hiburan, menjaga kepercayaan diri, dan meneruskan warisan leluhur. Sebelum pandemi Covid-19, satu anggota kelompok bisa menjual lima sampai sepuluh sarung per pekan. Harga sarung Rp 25.000 hingga Rp 600.000 per lembar. Jika ada 45 anggota kelompok, sekitar 225-450 lembar sarung yang dijual per pekan.
Biasanya pengusaha sarung di Kupang, Surabaya, dan Denpasar memesan sarung dari Mira Kaddi. Namun, selama pandemi Covid-19, pasar sarung tenun NTT sangat sepi. Saat ini sekitar 1.475 lembar sarung hasil tenun kelompok Mira Kaddi tersimpan di rumah masing-masing. Sarung masih menumpuk. Jika sebelumnya satu bulan satu anggota perajin menghasilkan lima sarung, kini hanya satu sampai dua sarung per bulan. Itu pun karena pesanan dari konsumen.
Pemilik toko suvenir khas NTT, yang juga pendiri kelompok tenun Ina Ndao, Lusi Ina Ndao, mengatakan, dirinya tidak mengambil sarung dari lima kelompok binaannya di Kota Kupang. Selain karena sepi pembeli, ia juga tidak memiliki modal usaha dan tempat lagi untuk menyimpan sarung di tokonya. ”Sebelum pandemi Covid-19, pemasukan bersih yang saya terima Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Dalam satu pekan, awal pandemi Covid-19 pertengahan Maret 2020, penghasilan kosong sama sekali. Karena itu, pada 30 Maret 2020 saya mulai tutup toko ini,” kata Lusi.
Menurut Lusi, ada 21 kelompok tenun di Kota Kupang. Jika setiap kelompok beranggotakan 30 orang, ada 630 perajin di Kupang. Ini belum termasuk mereka yang menenun pribadi di rumah. Dalam kondisi pandemi Covid-19, mereka sungguh berharap ada terobosan pemerintah daerah. Setidaknya, pemerintah daerah membantu mempromosikan sarung tenun NTT sehingga bisa dipasarkan secara daring ke luar daerah. Sarung tenun terjual, kesejahteraan perajin meningkat, dan warisan leluhur pun tetap terjaga.