Rasminah, Endang Wasrinah, dan Maryanti Memerangi Perkawinan Anak
Rasminah bersama temannya, Endang Wasrinah dan Maryanti, berjuang memerangi praktik perkawinan anak.
Rasminah (35) tak akan melupakan kejadian pada Kamis, 13 Desember 2018. Hari itu Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Rasminah bersama temannya, Endang Wasrinah (38) dan Maryanti (33). Mereka berjuang memerangi praktik perkawinan anak.
Rasminah tinggal di pelosok Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Jaraknya sekitar 35 kilometer dari pusat pemerintahan Indramayu. Rumahnya berlantai semen. Plafon dari terpal dan spanduk bekas.
Di rumah berukuran sekitar 6 meter x 7 meter itulah, Rasminah yang pernah tiga kali menjanda, hidup bersama lima anaknya. Mereka menjadi saksi hidup perjuangannya. ”Ini anak pertama saya. Usianya 22 tahun dan sudah menikah,” katanya sambil menunjuk Taryamin, Jumat (16/4/2021).
Ia melahirkan Taryamin saat berusia 14 tahun. Ia menikah di umur 13 tahun, tamat SD. Pernikahan dengan pria berusia hampir dua kali lipat darinya itu atas permintaan orangtuanya.
”Pernikahan saya cuma setahun. Suami pergi enggak tahu ke mana. Mungkin dia merasa enggak keurus. Ya, gimana, saya kan masih anak-anak,” kenangnya.
Pada usia 16 tahun, Rasminah kembali dinikahkan dan mempunyai anak Julina. Lagi-lagi, pernikahannya tidak berlanjut. Suaminya pergi tanpa kabar. Rasminah terpaksa mengadu nasib ke Jakarta sebagai penjaga warteg. Baru tiga bulan di sana, orangtuanya memintanya kembali.
Kepulangannya disambut perjodohan lagi. Calonnya dari Cikedung, sekitar 20 kilometer dari rumahnya. Sekitar tujuh tahun menikah, Rasminah dikaruniai seorang anak perempuan bernama Wika. Ia tidak hanya mengurusi anak dan suaminya, tetapi juga mertua, sawah, dan ternak keluarga. Beban hidupnya kian bertambah ketika pada satu hari memberi pakan ternak, kakinya dipatuk ular dan membusuk. Ia pun bertumpu pada satu kaki dengan bantuan kruk.
Penderitaannya bertambah saat suaminya meninggal. Ia memilih kembali ke kampung halamannya. Di tengah berbagai keterbatasannya, Rasminah bertemu Runata, seorang buruh tani. Dengan suami keempatnya, ia mengaku bahagia.
Rasminah beruntung karena Runata mendukung keinginannya melawan perkawinan anak. Jalan Tuhan mempertemukannya dengan Darwini, aktivis dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dalam acara bantuan kaki palsu pada 2016.
Bukannya mendapatkan kaki palsu, Rasminah larut dalam diskusi mencegah perkawinan anak. Hasilnya, ia bersama Endang Wasrinah, warga Indramayu, dan Maryanti (Bengkulu Tengah) yang juga korban perkawinan anak menggugat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Didampingi Tim Koalisi 18+, mereka berjuang menaikkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui uji materi Pasal 7 Ayat 1 UU No 1/1974 di Mahkamah Konstitusi. ”Waktu sidang, saya deg-degan, enggak bisa ngomong. Namanya juga orang kampung,” katanya yang waktu itu bolak-balik ke Jakarta membawa Anita yang masih berusia 2 bulan.
Perjuangan tiga perempuan korban perkawinan anak itu berhasil. Permohonan uji materi mereka dikabulkan MK pada 13 Desember 2018. MK menyatakan, perkawinan anak, khususnya perempuan di bawah umur, bertentangan dengan konstitusi. Ketentuan Pasal 7 Ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang mensyaratkan usia minimal perempuan menikah ialah 16 tahun, sedangkan laki-laki 19 tahun adalah bersifat diskriminatif.
”Saat itu, kami hanya bisa berharap jangan ada lagi anak-anak lain mengalami nasib kayak saya, dinikahkan masih anak,” ujar Rasminah.
Bagi Rasminah dan kawan-kawan, putusan MK dan Revisi UU Perkawinan menjadi kado terindah bagi para korban perkawinan anak, terutama perempuan. Endang menjadi korban perkawinan anak ketika berusia 14 tahun. Dia terpaksa berhenti sekolah setelah dinikahkan dengan duda beranak satu berusia 37 tahun. Selama perkawinannya Endang diminta mengurus anak tirinya dan hanya diberi nafkah Rp 20.000 per hari.
Beberapa bulan setelah perkawinannya, Endang pulang ke rumah ibunya, karena mengalami gangguan kesehatan, terutama organ reproduksinya yang tidak siap berhubungan seksual. Ibunya marah lalu kemudian meminta suaminya menceraikannya.
Endang sempat mengalami trauma panjang dalam hidupnya. Dia mendaftar menjadi pekerja migran dengan mendewasakan usianya. Namun, tidak sampai setahun di Abu Dhabi Endang ditangkap dan dipulangkan. Pada usia 18 tahun, Endang kemudian menikah dengan laki-laki yang dicintainya. Hingga saat ini, Endang memiliki tiga anak.
Setelah mengajukan uji materi di MK, Endang bergabung dengan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Indramayu gencar berkampanye stop perkawinan anak. Tidak ingin ada anak perempuan bernasib seperti dirinya, bukan hanya pada keluarga sendiri, Endang pun tak pernah berhenti bicara jika melihat ada tetangga yang berniat menikahkan anak-anaknya.
Harapan yang sama juga disampaikan Maryanti. Kendati kini dia telah menerima kenyataan menjadi korban perkawinan anak, Maryanti tidak ingin ada anak-anak lain yang mengalami nasib seperti dirinya yang pada usia 14 tahun dipaksa menikah oleh ayahnya karena alasan ekonomi.
Ayahnya berutang pada calon suaminya. Meskipun Maryanti sempat kabur dari rumah dan berniat bunuh diri, dia tidak berdaya dan akhirnya menerima perkawinan tersebut karena diancam ayahnya, bahwa ibunya akan masuk penjara jika dia menolak menikah.
Tidak mudah bagi Maryanti menjalani masa perkawinan. Dia bahkan mengalami dua kali keguguran kandungannya, karena rahimnya tidak kuat. Anak ketiga sempat dilahirkan, tetapi meninggal pada usia 4 bulan. Dia baru bisa memiliki anak setelah usianya di atas 20 tahun.
”Orangtua masih berpikir kalau menikahkan anaknya bisa mengurangi beban ekonomi keluarga. Padahal, itu tidak menyelesaikan persoalan,” ujar Maryanti yang kini mengurus suaminya yang sakit.
Pada 6 Maret 2019, Rasminah, Endang, dan Maryanti berkesempatan bertemu Presiden Joko Widodo. Rasminah meminta Presiden tidak menunda apalagi menolak pengajuan revisi usia minimal perkawinan.
”Kata Pak Jokowi, iya, nanti saya bilang biar jangan ditunda, ya, mbak,” ucapnya menirukan ungkapan presiden.
Baca juga: Perkawinan Anak Tingkatkan Risiko Penyakit dan Kematian
Tanggal 16 Agustus 2019 menjadi hari bersejarah bagi perempuan di Tanah Air. Hari itu, Rapat Paripurna DPR mengesahkan UU No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menaikkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun (sama dengan usia laki-laki).
”Alhamdulillah, pengorbanan kami tidak sia-sia. Ini untuk anak saya dan perempuan-perempuan di Indonesia,” kata Rasminah.
Rasminah
Lahir: 4 November 1985
Suami: Runata
Anak: 5 orang
Pendidikan: SDN Karangsari, Desa Krimun
Penghargaan:
- Koalisi Perempuan Indonesia Indramayu Award atas Partisipasinya dalam Peluang Perempuan Menuju Indramayu Bermartabat (2021)
- DPRD Kabupaten Indramayu atas Keberhasilannya Menjadi Pemohon Uji Materi UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di MK
Endang Wasrinah
Usia: 38 tahun
Pendidikan: sampai Kelas I SMP
Maryanti (33)
Usia: 33 tahun
Pendidikan: sampai kelas II SMP