Di tengah keterbatasan fisik, Hikmah Miliana masih memikirkan sesama kaum disabilitas. “Saya merasakan apa yang mereka rasakan. Inilah yang mendorong saya untuk lebih banyak berbuat bagi mereka."
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
Setiap warga negara memiliki hak yang sama di Indonesia termasuk para penyandang disabilitas. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi. Prinsip inilah yang mendorong Hikmah Miliana (42) terus bersuara agar kaum disabilitas di Sumatera Selatan memperoleh kesetaraan hak demi hidup yang lebih sejahtera.
Dengan cermat Hikmah mendata 12 kaum disabilitas yang mendapatkan bantuan kursi roda dari PT Pelindo II Palembang di aula Panti Sosial dan Bina Daksa Budi Perkasa Palembang, Selasa (23/3/2021). Ia menyusun rapi semua fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang ia terima dari para peserta.
Dengan bantuan tongkatnya, sesekali Hikmah berdiri guna memastikan semua penerima bantuan sudah terdata dan tidak ada satu pun yang tertinggal. “Bantuan ini sangat mereka butuhkan agar bisa berdaya,” ujar Hikmah.
Di tengah keterbatasan fisik, Hikmah masih memikirkan sesama kaum disabilitas. “Saya merasakan apa yang mereka rasakan. Inilah yang mendorong saya untuk lebih banyak berbuat,” ucap Hikmah yang saat ini menjabat sebagai Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Wilayah Sumatera Selatan.
Sebelum tergabung pada organisasi itu tahun 2017, Hikmah kerap menerima keluhan dari kaum disabilitas yang lain. Keluhan paling mendasar adalah soal KTP-Elektronik (E-KTP). Dua tahun lalu, banyak kaum disabilitas di Sumsel tidak mendapatkan E-KTP. Alasannya, karena keterbatasan fisik yang menghambat mereka datang ke fasilitas pelayanan publik.
Alasan lainnya, keluarga mungkin malu mengantarkan anggotanya yang menyandang disabilitas untuk membuat E-KTP. Fenomena ini kerap terjadi pada penyandang disabilitas intelektual (tuna grahita). Padahal memiliki E-KTP merupakan syarat penting agar seseorang dapat diakui sebagai warga negara.
Persoalan lain terkait fasilitas publik yang kurang ramah disabilitas. Misalnya, masih ada kantor yang belum memiliki penerjemah bahasa isyarat untuk membantu warga tuna rungu atau tuna wicara. Selain itu, masih banyak fasilitas publik yang tidak menyertakan petunjuk informasi dengan huruf braile bagi mereka yang tuna netra.
Padahal penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Hal ini sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2006 tentang Penyandang Disabilitas. “Dengan undang-undang ini maka keberadaan kaum disabilitas lebih terlindung. Tugas kami kini adalah memastikan semua poin dalam undang-undang itu sudah berjalan,” ucap Hikmah.
Kondisi inilah yang melecut Hikmah untuk berbuat lebih luas. Ia memulai dengan mendata semua penyandang disabilitas yang butuh bantuan. Dari situ diketahui ada 225 orang penyandang disabilitas di Palembang yang butuh bantuan.
Pendataan ini belum menyeluruh, Hikmah memperkirakan masih ada sekitar 3.000 penyandang disabilitas di Sumsel. “Kita mulai dulu dari Palembang dulu dan akan terus berlanjut ke daerah,” katanya.
Dari hasil kerja kerasnya ini, Hikmah bisa menginisiasi perekaman E-KTP bagi ratusan penyandang disabilitas di Palembang. “Beruntung Pemkot Palembang menyambut baik usulannya tersebut sehingga program ini bisa berjalan,” tuturnya.
Nantinya, program perekaman E-KTP bagi penyandang disabilitas akan berlanjut pada sistem jemput bola. Menurutnya, dengan mendaftarkan para kaum disabilitas, mereka berpeluang untuk mendapatkan bantuan.
Tidak hanya itu, Hikmah juga memberikan bimbingan bagi para orangtua yang anaknya memiliki keterbatasan fisik. Menurutnya, dukungan keluarga adalah faktor paling penting untuk membangun kepercayaan diri seorang penyandang disabilitas.
“Ketika orangtuanya semangat maka anaknya pun akan lebih percaya diri. Sebaliknya, jika tidak mereka akan terus terpuruk meratapi nasib,” ucapnya.
Inilah yang ia rasakan ketika kecil dulu. Sang ayah terus memberikan semangat untuk tidak minder. “Ayah saya juga memiliki keterbatasan fisik, tapi beliau selalu menanamkan rasa percaya diri pada keempat anaknya,” katanya.
Ketika kecil, Hikmah mengenyam pendidikan di sekolah umum. Ketika itu, tidak ada diskriminasi dari teman-temannya. Sebaliknya, mereka memperlakukan Hikmah seperti orang biasa.
“Bahkan kebanyakan teman-teman saya adalah laki-laki yang secara tidak langsung melindungi saya,” katanya. Inilah yang membangun rasa percaya diri Hikmah walau hidup di tengah keterbatasan. Berangkat dari sana, Hikmah ingin semua kaum disabilitas memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi.
Dimulai dari keluarga, lingkungan, utamanya diri sendiri. Dia meyakini di balik keterbatasan, penyandang disabilitas memiliki potensi besar. Ada yang bisa menjadi penjahit, pedagang, dan pekerjaan yang lain. Karena itulah, dia menilai kesetaraan hak harus terus diperjuangkan.
Regenerasi
Mimpinya kini adalah adanya seorang penerus yang peduli dalam memperjuangkan nasib kaum disabilitas. Sebenarnya, masa jabatannya sebagai Ketua HWDI sudah habis. Namun pengurus pusat masih mempercayakan jabatan itu padanya.
Beragam cara dilakukan untuk membentuk anggotanya untuk menggantikannya seperti memberikan mereka kesempatan untuk tampil atau hadir dalam sejumlah pertemuan. Cara ini dinilai dapat meningkatkan rasa percaya diri. “Ada diantara mereka yang belum pernah masuk hotel untuk menghadiri rapat. Saya beri mereka kesempatan untuk datang,” jelasnya.
Bahkan dia ingin penerusnya nanti adalah sesama kaum disabilitas yang mengerti benar apa yang dirasakan oleh para penyandang disabilitas di Sumsel.“Saya ingin ada yang melanjutkan mimpi saya dan mewujudkan visi saya yang belum terlaksana,” ucapnya,
Salah satunya adalah menyediakan rumah bagi penyandang disabilitas yang hingga kini belum memilikinya. Menurutnya, masih banyak kaum disabilitas yang belum memiliki rumah karena keterbatasan. “Saya sedang memperjuangkan hal ini. Semoga ada kabar baik dari pemerintah,” ujarnya.