Di sela kesibukannya bekerja sebagai buruh, Budi Ayin membuat aneka alat musik berbahan kayu bekas bongkaran rumah, kayu bakar pemberian tetangga, dan kabel bekas. Semuanya menghasilkan suara nan indah.
Oleh
Defri Werdiono
·5 menit baca
Budi Ayin (51) hanya seorang buruh. Sejak dua tahun lalu dia memanfaatkan waktu luang untuk membuat alat musik dari bahan limbah. Puluhan instrumen telah dihasilkan, salah satunya menjadi pengiring video klip musik garapan anak muda Kampung Cempluk yang memenangi festival internasional di pengunjung 2020.
Budi Ayin menjadi salah satu orang yang paling bergembira atas prestasi yang diraih anak muda “Kampung Cempluk” di Jalan Dieng Atas, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Pada 23 Desember 2020, mereka meraih juara I Sopravista International Festivals, sebuah festival online berbasis folklore di Italia untuk kategori instrumen dan vokal.
Dalam festival yang diikuti perwakilan dari 30-an negara itu, video klip musik berjudul “Hijau Lestari” yang dibawakan oleh grup Duo Etnicholic dari Kampung Cempluk menggunakan iringan alat musik dawai buatan Budi Ayin. Instrumen itu dinamai Dawai Cempluk empat senar.
Duo Etnicholic digawangi oleh Anggar Syaf’iah Gusti dan Redy Eko Prastyo. Mereka adalah pembakti di tempat itu. Pembakti adalah sebutan bagi anak muda yang punya peran memajukan kampung. Sebelumnya, video klip “Hijau Lestari” dibuat dalam rangka mengisi kanal iRL Gigs yang berisi karya-karya musik non-mainstream di Malang.
“Pekerjaan saya buruh proyek. Membuat alat musik hanya sambilan kalau ada waktu. Alhamdulillah, sekitar 30 buah alat musik sudah saya hasilkan, seperti sape’ dan banjo. Ada juga cetik (menyerupai kolintang berukuran kecil) dari bambu,” ujarnya, Minggu (21/2/2021).
Budi mengaku sehari-hari lebih banyak membuat ornamen rumah. Sebelum pandemi Covid-19, dia biasa menerima pesanan pembuatan dekorasi untuk acara perpisahan siswa sekolah dan panggung pertunjukan dengan ukuran tidak terlalu besar. Pekerjaan itu sudah digelutinya sejak puluhan tahun lalu dan masih berlangsung sampai sekarang.
Di sela kesibukannya bekerja, dia memanfaatkan sisa-sisa waktu untuk membuat alat musik. Bahan bakunya kayu-kayu hasil bongkaran rumah, kayu bakar pemberian tetangga, hingga rol penggulung kabel bekas. Ada juga sisa bahan membuat pelindung muka (face shield).
Di tangannya, alat-alat itu memunculkan nada yang indah. “Ini bahan sisa pembuatan face shield. Ada order dari Universitas Brawijaya untuk membuat face shield di awal pandemi, sisanya saya pakai membuat ini,” kata Budi sambil menunjuk ke salah satu alat musik buatannya.
Sebagai orang awam yang tidak memiliki latar belakang seni, Budi tidak begitu saja bisa membuat instrumen musik berdawai. Lelaki dua anak ini menghadapi sejumlah kendala, salah satunya soal ketersediaan bahan baku.
Selain tidak selalu tersedia, bahan baku yang ada terkadang tidak bisa langsung digunakan karena basah atau faktor lain. Padahal, saat itu semangat Budi untuk berkreasi sedang membuncah. Kalau sudah begitu proses kreasi menjadi tertunda.
“Kayu-kayu bekas itu saya taruh di luar rumah. Kadang basah oleh hujan, padahal saat itu saya sedang bersemangat. Ini jadi kendala tersendiri,” ucapnya. Kendala lainnya terkait peralatan. Peralatan yang ia gunakan seadanya, seperti parang, cutter, hingga pecahan kaca.
Setelah badan alat musik jadi, kini tinggal penyesuaian nada. Budi mengaku tidak mengalami kesulitan untuk memadukan tinggi rendah nada, baik untuk alat musik petik atau gesek. Dia memanfaatkan aplikasi di telepon pintar sebagai pembanding.
Dia pun harus berkoordinasi dengan Redy Eko Prastyo yang sudah sering memainkan dawai dan menjadi salah satu inisiator Festival Dawai Nusantara yang biasa digelar rutin setiap tahun.
“Kalau dari sisi bentuk, saya sendiri yang memiliki inisiatif. Sedangkan untuk masalah bunyi terkadang ada masukkan dari Mas Redy. Menurut saya seni tidak terbatas. Asalkan senang saya lakukan,” ujarnya.
Lulusan STM Jurusan Mesin Produksi tahun 1989 itu mengaku tertarik membuat alat musik berdawai setelah melihat sape’. Alat musik khas Kalimantan itu memiliki bunyi yang indah. Dari situlah Budi kemudian berusaha mencoba membuat sendiri.
Lelaki asli Malang itu membutuhkan waktu hampir satu minggu untuk membuat karya pertamanya. Bahan baku yang ada tidak sesuai kebutuhan menjadi kendala. Dia membutuhkan bahan setebal 12 centimeter, namun yang tersedia kurang dari itu. Budi pun harus berulangkali menyeting nada hingga akhirnya berhasil.
“Saat itu memang betul-betul awal belajar. Sehingga saya butuh waktu lama untuk mencari nada yang pas,” ucap pria yang mengaku hanya bisa bermain musik berdawai ala kadarnya alias genjreng-genjreng saja.
Dalam proses pembuatan karya berikutnya Budi relatif tidak menemui banyak kesulitan. Dengan bermodalkan telaten dan terus belajar akhirnya satu demi satu alat musik selesai tercipta.
Menemani anak muda
Selain membuat alat musik, Budi Ayin juga kerap menemani anak-anak muda “Kampung Cempluk” mengisi waktu luang dengan kegiatan positif. Budi berusaha mengarahkan mereka agar memiliki banyak berkegiatan agar terhindar dari pengaruh pergaulan yang negatif.
“Saya prihatin melihat anak-anak muda zaman sekarang. Godaan mereka besar. Saya ingin anak-anak muda sekarang punya kegiatan yang positif, baik itu melalui belajar bermain musik maupun kegiatan lain,” katanya.
Upaya Budi dan kawan-kawan membuahkan hasil. Anak-anak muda dari Kampung Cempluk keranjingan musik dan dari situ ada yang mencatat prestasi internasional.
Baru-baru ini, Budi juga mendapat undangan dari Dewan Kesenian Malang (DKM) untuk mengikuti pameran. Pada kesempatan itu ia memamerkan sekitar 20-an buah alat musik dawai buatannya.
Ke depan, dia berharap alat musiknya bisa diterima oleh masyarakat luas dan bisa dikembangkan menjadi alat musik khas Malang. Karena selama ini Malang tidak memiliki identitas soal instrumen musik.
Di luar itu, ia punya harapan apa yang dilakukan bisa berguna bagi lingkungan. Bagaimana sampah dan limbah yang ada bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang memiliki nilai tambah dan bermanfaat. Selama ini banyak orang tidak peduli dengan sampah yang mereka hasilkan. Padahal setiap hari volumenya terus bertambah.
Seandainya sebagian besar sampah itu bisa diolah menjadi alat musik bersuara indah, semua orang pasti senang.