Alvian Wardhana Memajukan Pendidikan Anak Kalimantan Selatan
Alvian Wardhana membantu anak-anak untuk memahami pelajaran di sekolah sekaligus memberikan nilai-nilai kehidupan. Usia muda tak menghalangi Alvian membuat perubahan lebih baik.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·7 menit baca
Saat melihat anak-anak di Desa Kunyit, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, banyak yang tidak bisa membaca dan berhitung, Alvian Wardhana (19) tergerak untuk menjadi guru les gratis untuk anak-anak. Ia mengembangkan kurikulum pendidikan dan metode pengajaran sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak.
Bersama teman-temannya, Alvian mendirikan komunitas Literasi Anak Banua, Sejak pertama kali didirikan pada 2017, komunitas ini telah menjangkau 14 desa di Kalimantan Selatan. Anak-anak yang dulunya kesulitan belajar kini mengalami kemajuan di bidang pendidikan. Kegiatan Literasi Anak Banua telah dipublikasikan dan dipromosikan dalam ASEAN Youth Forum dalam Yuwana Zine 3 Days of Activism serta masuk dalam 100 proyek nominasi terbaik di dunia versi Friend for Leadership, dan telah dipublikasikan melalui State of Youth. Atas kepedulian, upaya, dan komitmennya memajukan pendidikan di lingkungan tempat tinggalnya, Alvian juga dipilih sebagai kandidat Ashoka Young Changemaker 2021.
Alvian mengatakan, gerakannya ini bermula dari keprihatinan melihat anak-anak kurang memiliki kemampuan untuk memahami hitung-hitungan dasar. ”Saya pernah datang ke Desa Kunyit melihat anak kelas 3 SD tidak bisa membaca dan memahami instruksi permainan sederhana. Ini membuat saya tertampar,” katanya dihubungi dari Jakarta, Kamis (4/2/2021).
Bersama lima kawannya, Alvian kemudian membangun program rumah baca dan les gratis di Desa Kunyit agar anak-anak bisa lebih cepat menyerap mata pelajaran di sekolah. Ide sederhana yang semula ia pikir mudah dilaksanakan ternyata tidak begitu saja berjalan mulus di lapangan. Ia harus berbenturan pada kelompok keagamaan yang menganggap les gratis bisa mengganggu kegiatan mereka. Tokoh desa juga sempat menentang karena dianggap Alvian terlalu muda untuk menjalankan kegiatan.
Dengan tekad kuat, pemuda yang saat ini kuliah di Universitas Brawijaya jurusan perencanaan wilayah dan kota ini berusaha meyakinkan pihak-pihak terkait. Ia mendatangi orangtua anak satu per satu untuk meminta dukungan. Orangtua yang setuju lalu membantu Alvian untuk mendekati kepala desa dan tokoh agama di sana.
”Kami juga berusaha meyakinkan bahwa di dalam Al Quran membaca Iqro tidak hanya berkaitan dengan ilmu agama, tetapi ilmu pengetahuan. Akhirnya kami mendapat dukungan dari sejumlah pihak,” katanya.
Dari awalnya hanya mendampingi 1 desa, kegiatannya berkembang ke 6 desa dan terakhir menjadi 14 desa. Ia menggandeng teman-teman sekolah dan teman-teman di organisasi untuk membuka les gratis untuk anak-anak. Desa-desa yang dipilih kebanyakan berada di daerah pelosok dengan kondisi pendidikan kurang merata.
Karakteristik anak
Alvian menjelaskan, tidak semua anak mempunyai kemampuan memahami pelajaran yang sama. Apalagi, anak-anak di desa menghadapi tantangan yang kian kompleks untuk belajar, seperti terkait lokasi dan fasilitas belajar. Itulah sebabnya, ketika memberikan les pelajaran gratis kepada anak-anak, ia menyesuaikan materi pelajaran dengan kondisi dan kebutuhan anak.
Sebelum kelas dimulai, anak-anak diminta mengikuti assestment untuk mengetahui kemampuan mereka terhadap pelajaran, seperti Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Setelah itu, anak-anak juga ditanya proses pelajaran seperti apa yang mereka suka. Sebagian anak rupanya lebih mudah mempelajari materi dengan cara visual dan audio. Beberapa anak lainnya lebih mudah belajar dengan gerakan dan permainan.
Setelah mengetahui kebutuhan anak, para pengajar membagikan materi sesuai dengan kebutuhan mereka. Terhadap anak-anak yang lebih senang dengan visual dan audio, materi pelajaran diberikan dalam bentuk video atau melalui gambar dan foto. Para pengajar juga sering membuat permainan atau gerakan-gerakan dengan boneka untuk anak yang lebih suka pelajaran dalam bentuk motorik atau gerakan.
Metode pengajaran seperti ini sekaligus menjawab mengapa anak-anak di pelosok kurang menguasai mata pelajaran seperti yang dibagikan di sekolah. ”Menurut saya, anak punya kemampuan yang berbeda dalam menangkap materi pelajaran. Di sekolah, kemampuan anak disamaratakan. Cara belajar juga digeneralisasi sehingga ada anak yang bisa menangkap materi, ada juga yang tidak bisa,” ujarnya.
Ia menjelaskan, fasilitas serta kemampuan guru di desa dan kota juga berbeda. Ini membuat ada jurang pemisah pendidikan di sekolah-sekolah. Untuk mengatasi gap ini, Alvian dan teman-teman berusaha menjadi teman belajar anak. Biasanya, kelas akan dimulai dengan satu kelas besar. Setelah itu, anak dikelompokkan sesuai dengan materi dan cara belajar mereka.
Anak punya kemampuan yang berbeda dalam menangkap materi pelajaran. Di sekolah, kemampuan anak disamaratakan. Cara belajar juga digeneralisasi sehingga ada anak yang bisa menangkap materi, ada juga yang tidak bisa.
Dengan metode ini, kemampuan anak memahami mata pelajaran meningkat. Selain itu, pelajaran yang dibagikan secara berkelompok juga menumbuhkan karakter dalam kehidupan anak, seperti kerja sama, gotong royong, empati, dan kreatif.
Alvian menceritakan, pernah ada seorang anak disabilitas yang mengalami perundungan saat belajar bersama. Para pengajar kemudian memberikan penanaman karakter kepada anak untuk mau menghargai orang lain. Mereka membagikan cerita dan foto-foto tentang anak-anak dengan kondisi fisik berbeda. ”Kebetulan, salah satu pengajar juga ada yang disabilitas. Pengajar ini memberikan teladan sehingga anak-anak tidak lagi fokus pada kekurangan fisik seseorang,” ucapnya.
Dalam menjalani aksinya, Alvian sering menghadapi banyak kejadian tidak terduga. Ketika mengikuti upacara adat di Desa Lok Lahung, misalnya, Alvian harus menjalani shalat di tengah keramaian. Padahal, ketika itu, warga setempat sedang mengadakan upacara religi Kaharingan, atau kepercayaan tradisional suku Dayak.
Alvian sangat terkesan saat melihat anak-anak membuat lingkaran untuk mengelilinginya sehingga ia bisa menjalani shalat dengan khusyuk. Sikap spontan anak-anak itu menunjukkan toleransi dan saling menghargai di antara manusia. Ada kalanya juga Alvian harus menghadapi tantangan tidak terduga, seperti digigit nyamuk ganas.
”Saat mengajar di suatu desa terpencil, saya diserang nyamuk. Saya sudah tidur dengan menggunakan jas hujan, kaus kaki, dan masker untuk menutupi wajah, tetapi nyamuk terus menyerang hingga bibir saya bengkak,” katanya menceritakan pengalaman tidak terduganya.
Alvian juga pernah masuk di desa 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) di Indonesia. Di sana, kecenderungan warga adalah tidak percaya dengan kehadiran orang luar karena sering terjadi konflik antara orang asli suku Dayak dan warga dari luar daerah.
Untuk menembus desa ini tidak cukup mengandalkan tekad memajukan pendidikan anak atau menunjukkan kegiatan positif melalui dokumentasi yang sudah ada. Alvian harus menggandeng pemuda-pemudi setempat untuk menjadi pengajar. Keterlibatan warga setempat itu membuat gerakannya akhirnya diterima oleh masyarakat.
Mengikuti jejak orangtua
Kepedulian Alvian pada dunia pendidikan dan anak-anak muncul atas nilai-nilai hidup yang ditanam oleh orangtuanya sejak ia masih kecil. Sejak masih berusia 4 tahun, Alvian sudah sering melihat orangtuanya, pasangan suami-istri, Mochammad Ardiansyah dan Devi Kesumawardani, melakukan kegiatan-kegiatan sosial.
Ibunya yang bekerja sebagai notaris sering mengumpulkan uang dari masyarakat untuk membantu masyarakat terdampak bencana alam. Sementara ayahnya yang bekerja sebagai PNS sering mengumpulkan buku untuk disumbangkan kepada orang yang membutuhkan. Kegiatan orangtua membuat Alvian dekat dengan dunia pendidikan, anak-anak, dan organisasi masyarakat.
Dari pengalaman orangtuanya, Alvian memetik pelajaran bahwa paling penting bukanlah seberapa besar langkah yang diciptakan, melainkan justru bagaimana bisa menciptakan perubahan sekecil apa pun itu. ”Perubahan, meskipun kecil, bisa berdampak untuk orang lain,” ujarnya.
Ketika mulai terjun pada kegiatan organisasi dan pendidikan, Alvian sering mendapat pandangan sebelah mata mengingat usianya yang masih sangat muda. Namun, ia berhasil membuktikan bahwa anak muda mempunyai empati serta bisa turun tangan mengatasi persoalan. Kini, selain mengajar anak-anak di desa-desa, Alvian juga mengembangkan pelatihan untuk teman sebaya yang ingin berperan di lingkungan mereka.
CEO of Ashoka Bill Drayton menjelaskan, setiap orang adalah pembuat perubahan, termasuk anak-anak dan remaja. ”Sekalinya anak muda memiliki impian, membangun tim, dan mengubah dunia mereka, mereka akan selamanya menjadi pembuat perubahan dalam hidup.”
Alvian Wardhana
Lahir: Banjarmasin, 24 Oktober 2001
Pengalaman Organisasi dan Kerelawanan
1. Founder Literasi Anak Banua 2018, Ketua Literasi Anak Banua 2020
2. Wakil Ketua OSIS SMAN 1 Pelaihari Tahun 2018
3. Wakil Koordinator Bangun Bangsa Indonesia Chapter Kalimantan Selatan Tahun 2019
4. Koordinator Kerelawanan Kegiatan Rawat Bumi yang dilaksanakan oleh Lindungi Indonesia cabang kegiatan Tanah Laut tahun 2019
5. Ketua Bidang Hubungan Masyarakat Pemuda Perintis Asa Tahun 2018
Penghargaan (antara lain):
- Delegasi Terbaik Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dari Humanitas Model United Nations (2021)
- Delegasi Terbaik World Trade Organization (WTO) ”A Discussion On World Trade dari Aid For Yemen Model United Nations” (2020)