Slamet Widodo, Keteguhan Pelatih Atletik Indonesia
Slamet Widodo termasuk pelatih atletik Indonesia yang berhasil menggabungkan pengalaman dan ilmu keolahragaan ketika melatih anak asuhnya. Hasilnya, ia bisa mencetak atlet disabilitas yang berprestasi di tingkat dunia.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·5 menit baca
Slamet Widodo melatih atlet-atlet atletik Indonesia tidak hanya berdasarkan pengalaman, tetapi juga kajian ilmu keolahragaan yang detail dan menyeluruh. Dengan cara itu, ia berhasil mengantar atlet-atlet disabilitas Indonesia meraih prestasi di tingkat Asia, bahkan dunia.
Selasa (22/12/2020) pagi, Slamet melatih atlet-atlet yang akan tampil pada Paralimpiade Tokyo 2021 di Stadion Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, dalam sepi. Pandemi Covid-19 membuat pencinta atletik dan media absen melihat proses latihan seperti yang terjadi jelang Asian Para Games 2018. Ketika itu, setiap sesi latihan, orang berdatangan untuk memberi semangat.
Walakin, para atlet tetap semangat berlatih. Di antara mereka ada pebalap kursi roda Zaenal Aripin, pelompat jauh Setyo Budi Hartanto, serta pelari cepat Karisma Evi Tiarani dan Sapto Yogo Pratomo. Pagi itu, Slamet terus memompa semangat anak-anak asuhnya agar berlatih secara maksimal.
”Ayo, putaran terakhir. Kasih power ke kaki,” teriak pelatih National Paralimpic Committee (NPC) Indonesia itu kepada Sapto yang kelihatan kelelahan. Mendengar teriakan itu, Sapto memacu larinya. Pada putaran terakhir itu, ia mampu melewati catatan latihan sebelumnya.
Slamet mengatakan, ada kebanggaan tersendiri melihat atlet berkembang. Sapto, misalnya, ketika pertama kali bergabung dengan pelatnas NPC Indonesia, catatan waktunya tidak begitu baik. Badan Sapto masih kurus dan belum berorot.
Slamet ”menemukan” Sapto saat mengikuti Pekan Olahraga Provinsi Jawa Tengah 2016. Dalam ajang itu, atlet penyandang disabilitas jenis cerebral palsy itu tidak meraih medali. Namun, Slamet melihat Sapto punya bakat alami dan potensi untuk berkembang.
Ia kemudian mengajak Sapto bergabung dengan pelatnas. Setelah menjalani latihan intens, Sapto berhasil meraih emas di Asian Para Games dan World Para Atletik 2018. Di Asian Para Games, Sapto mencatatkan waktu 11,49 detik pada nomor lari 100 meter.
Saat melatih atlet, Slamet Widodo tidak hanya mengandalkan program latihan berdasarkan pengalaman. Ia juga menerapkan dasar-dasar keilmuan olahraga, seperti ilmu kepelatihan, biomekanik, biologi, matematika, dan statistika, untuk memprediksi pencapaian atlet. Slamet akan mengukur kecepatan lari, kemampuan vertikal, dan panjang kaki.
”Kalau tidak tercapai sesuai prediksi, pasti ada yang salah. Itulah yang diperbaiki, apakah teknik langkah, teknik lompat, atau apa, itu semua bisa dihitung,” tambah dosen Ilmu Keolahragaan UNS itu.
Ilmu keolahragaan juga dipakai, salah satunya, ketika Slamet mendampingi atlet lari 400 meter asal Nusa Tenggara Timur, Felipus Kolymau. Slamet menggunakan teori menggeser titik defleksi ambang rangsang kelelahan. Ia mengukur titik di mana otot mulai lelah. Jika ambang kelelahan atlet terjadi pada jarak 250 meter, misalnya, ia akan melatih agar ambang kelelahan itu bergeser menjadi 300 meter, lalu 325 meter, dan 350 meter.
”Pada akhirnya, ambang kelelahan itu terjadi pada jarak 400 meter. Enggak masalah jarak 400 meter lelah, yang penting juara,” ucapnya.
Ia melakukan tes terpadu untuk mengetahui ambang kelelahan ini, seperti mengukur detak jantung dan VO2Max. Setelah itu, ia merancang pembiasaan latihan pada sekitar 90 persen kemampuan lari maksimal. Latihan juga dibuat untuk meningkatkan daya tahan tubuh atlet.
Dengan metode latihan ini, Felipus meraih medali emas nomor lari 400 meter T20 di ASEAN Para Games tahun 2015 Singapura. Ia bahkan memecahkan rekor Asia dengan catatan waktu 49,57 detik. Hingga kini belum ada atlet Asia yang memecahkan rekor itu.
Slamet menuturkan, ketika masih muda, ia tidak tertarik olahraga. Ayahnya, Mujimulyono (78), bekerja sebagai buruh tani dan tukang kayu, sedangkan ibunya, Badriah (alm), bekerja sebagai pedagang sayur di pasar. Oleh orangtua, Slamet dimasukkan ke sekolah guru olahraga agar bisa cepat bekerja setelah lulus. Pendidikan di bidang olahraga berlanjut dengan kuliah S-1 ilmu kepelatihan olahraga di UNS, Solo.
Memasuki semester ketiga, teman-temannya sangat suka olahraga. Ia jadi termotivasi untuk berlatih voli, bulu tangkis, dan atletik. Ia sempat mengikuti sejumlah kejuaraan atletik untuk nomor lari, lompat, dan lempar tingkat sekolah. Meski punya fisik dan potensi olahraga yang cukup baik, ia tidak bisa mencatat prestasi maksimal. Penyebabnya adalah ia tidak punya pelatih yang bisa mendukung penampilannya.
”Dengan pengalaman ini, saya jadi terpanggil untuk jadi pelatih. Saya yakin banyak orang punya potensi olahraga, tetapi tidak punya pelatih yang membantu mereka berkembang. Saya ingin menjadi pelatih agar bisa mengantar atlet mencapai prestasi mereka, demi masa depan mereka,” ujarnya.
Setelah lulus kuliah, Slamet membuat klub bola voli dan bulu tangkis di Desa Tempursari, Klaten. Ia melatih anak-anak muda, pelajar, dan mahasiswa. Saat itu, ia melatih tanpa dibayar. Sebaliknya, ia sering mengeluarkan uang pribadi untuk membeli makanan dan minuman bergizi untuk anak asuhnya.
Pada 2011, Slamet bergabung dengan NPC Indonesia. Ia melatih atlet disabilitas di Stadion Manahan, satu-satunya tempat latihan sintetis. Saat itu, ia diajak oleh temannya sekaligus pelatih atletik, yakni Waluyo. Sejak 2018, Slamet menjadi pelatih kepala tim atletik. Ia mengantar tim Merah Putih meraih 6 medali emas, 12 perak, dan 10 perunggu pada Asian Para Games 2018.
Menurut dia, melatih atlet disabilitas dan nondisabilitas tidak jauh berbeda karena prinsip gerakannya sama. Yang membedakan hanya pendampingan psikologi dan metode latihan. Melatih atlet-atlet tunagrahita, misalnya, perlu kesabaran mengingat mereka tidak mudah mengungkapkan perasaan. Kadang-kadang ada atlet yang sembunyi saat latihan karena kelelahan. Ketika lelah, atlet juga sering menangis atau mudah marah di lapangan.
Kunci menggelar latihan untuk atlet disabilitas adalah memahami karakteristik mereka serta menerapkan target yang realistis. ”Kalau target itu tercapai, itu akan membangkitkan semangat. Mereka bisa berlatih maksimal dan mencapai target yang lebih hebat lagi,” katanya.
Tahun 2021 ini, ia memasuki tahun ke-10 mendampingi atlet-atlet atletik disabilitas. Ia bersyukur karena perhatian pemerintah terhadap atlet-atlet disabilitas semakin baik. Ia berharap prestasi atlet Indonesia semakin meningkat, apalagi negara ini mempunyai sumber daya manusia yang luar biasa. ”Dengan dukungan dari pemerintah ini, tidak ada alasan kita tidak bisa berprestasi,” kata Slamet.
Slamet Widodo
Lahir: Klaten, 28 Desember 1971
Pendidikan:
S-1 Pendidikan Kepelatihan Olahraga UNS, Solo
S-2 Ilmu Keolahragaan UNS, Solo
S-3 Pendidikan Olahraga Unnes, Semarang (masih berjalan)