Joko Anwar, Standar Baru untuk Dilampaui
Setiap membuat film, Joko Anwar seperti menetapkan standar baru bagi kualitas produk film. Piala Citra sebagai sutradara film horor ”Perempuan Tanah Jahanam” adalah ganjaran yang pantas.
Film Perempuan Tanah Jahanam mendapat 17 nominasi dan memenangi enam Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia 2020, termasuk di kategori puncak Film Cerita Panjang Terbaik. Pencapaian itu tak bisa dipandang sebelah mata, apalagi bagi film berjenis horor. Joko Anwar adalah arsiteknya.
Satu dari enam piala itu ditujukan kepadanya sebagai Sutradara Terbaik. Secara pribadi, Joko juga jadi nomine penulis Skenario Asli Terbaik untuk film Perempuan Tanah Jahanam (PTJ), dan Skenario Adaptasi Terbaik untuk film Ratu Ilmu Hitam. Dua-duanya lepas. Tak jadi soal. Dianugerahi penghargaan di tengah mandeknya industri film tetap memberi pengalaman yang tidak biasa baginya.
”(Pengalaman) tahun ini berbeda banget. pertama karena sekarang roda perfilman Indonesia benar-benar lagi berhenti meskipun beberapa bioskop sudah mulai buka, tetapi tetap masih lesulah. Kedua, di tengah kondisi itu, penyelenggaraan FFI tetap ada, dan acaranya tidak bertele-tele, betul-betul merayakan film. Ini ditambah menang pula, betul-betul jadi penyemangat buat kami,” kata Joko ketika dihubungi pada Senin (7/12/2020) di Jakarta.
Kata ”penyemangat” itu sepertinya bukan ujaran manisnya saja. Sehari setelah dihadiahi Piala Citra, Joko langsung kembali bekerja, bertemu dengan timnya di kantor. Pesta kemenangan tak perlu berpanjang-panjang, sampai-sampai piala itu belum sempat dia pajang di rumahnya; masih teronggok di jok mobil hingga Senin petang itu.
Joko mulai mengerjakan naskah PTJ tak lama setelah film Pintu Terlarang tayang tahun 2009. Naskah itu selesai tahun 2010, tetapi baru mulai diproduksi pada 2019. Selama sembilan tahun itu, Joko mengerjakan proyek film-film lainnya, termasuk film paling ambisiusnya, A Copy of My Mind (2015).
Naskah PTJ tak ia biarkan membeku. Selama sembilan tahun banyak hal berubah yang menuntut pembaruan di naskahnya. Di film, tokoh Maya (Tara Basro) digambarkan bekerja sebagai penjaga pintu tol, metafora untuk menggambarkan perjuangan perempuan yang harus ambil risiko bekerja di tempat yang rentan bahaya.
Pada kenyataannya, sekarang pintu tol tak lagi dijaga manusia. Namun, latar profesi itu tetap dipertahankan Joko. Dia justru menampilkan perubahan itu sebagai sebuah ”ancaman” baru bagi upaya memperbaiki hidup tokohnya. Menguatnya isu feminisme beberapa tahun terakhir juga jadi perhatian Joko pada naskahnya.
(Pengalaman) tahun ini berbeda banget. pertama karena sekarang roda perfilman Indonesia benar-benar lagi berhenti meskipun beberapa bioskop sudah mulai buka, tetapi tetap masih lesulah. Kedua, di tengah kondisi itu, penyelenggaraan FFI tetap ada, dan acaranya tidak bertele-tele, betul-betul merayakan film. Ini ditambah menang pula, betul-betul jadi penyemangat buat kami.
”Filmnya (PTJ) banyak berbicara tentang empowerment perempuan, mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi juga menyinggung hal-hal yang menahan mereka. Represi itu memengaruhi keputusan yang mereka ambil,” ujar Joko. Dalam film, realitas pahit itu dibenturkan dengan mistisisme yang bikin bergidik.
Di antara banyak adaptasi pada bangunan cerita PTJ menyesuaikan era, Joko bergeming memilih Christine Hakim untuk memerankan tokoh Nyi Misni. Christine, yang dapat Piala Citra sebagai Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik untuk film ini, tak menjalani proses casting. Sosoknya adalah imajinasi Joko ketika menulis naskah ini 11 tahun silam.
”Ketika menulis naskah PTJ, yang terbayang adalah muka Bu Christine, bahasa tubuhnya, sampai berapa helai rambut yang terlepas dari kuncirnya,” ujarnya. Imaji itulah yang benar-benar muncul di layar.
Membangun kerangka karakter adalah disiplin yang diterapkan Joko pada setiap filmnya. Setelah dapat pemeran, Joko menjelaskan kepada mereka latar belakang tokoh tersebut sedetil mungkin; latar belakang keluarga, pendidikan, dan pekerjaan adalah beberapa yang utama. Bangunan karakter inilah yang akan menyetir jalan ceritanya.
Tak heran, jika mengikuti delapan film cerita panjang yang disutradarai Joko, kita akan mendapati ragam karakter pada tokoh-tokohnya. Aspek profesi adalah salah satu yang beragam. Misalnya, penonton diajak menyelami kehidupan romantika antara kapster salon dan penerjemah teks DVD bajakan di film A Copy of My Mind, pengantar rol film di Janji Joni (2003), dan pedagang kain keliling di PTJ.
Kenali dan jalani
”Semua cerita saya berdasarkan karakter yang saya kenal, atau situasi yang pernah saya lalui. Penjaja kain keliling di pasar, seperti Maya (di PTJ), pernah dijalani ibu saya di Pasar Sambu di Medan,” ujar Joko. Lebih jauh, perjuangan Maya dan Dini demi penghidupan lebih layak di film itu juga mencerminkan kegigihan ibunya.
Joko lahir dari keluarga pas-pasan. Ayahnya pernah jadi penarik becak, lalu menjadi tukang bubut di sebuah bengkel. Ibunya bekerja serabutan, termasuk menjajakan kain untuk pedagang di pasar itu. Kadang, bayarannya bukan uang, melainkan barter; bisa bahan makanan, atau jasa pangkas rambut.
Uang saku dari orangtuanya yang tak seberapa dia kumpulkan untuk menonton film di bioskop Remaja Theater, bioskop terdekat dari rumah, yang sebenarnya enggak dekat-dekat amat. Hampir tiap pekan Joko kecil menonton film horor dan silat di situ. Kalau bisa dapat karcis, dia menonton dari kursi. Tapi kalau tidak, dia mengintip dari ventilasi yang lumayan rendah.
Kegemarannya pada film kelak tecermin pada karya-karyanya, terutama di Janji Joni. Salah satu karakter di film itu yang diperankan Surya Saputra selalu mencari kursi terbaik di bioskop—di tengah-tengah ruangan untuk dapat sajian audio dan visual utuh. Begitulah preferensi Joko sebenarnya.
Joko remaja yang tinggal di daerah bernama Medan Amplas ini juga kerap melihat kekerasan jalanan di sekitarnya. Penikaman sering terjadi. Perkelahian pakai pedang jadi pemandangannya hampir saban hari. Beberapa kenalannya pada masa itu masuk-keluar bui.
”Karena kedekatan sejak kecil dan remaja, kekerasan dan horor adalah bahasa sinema yang paling saya kuasai,” ujar mantan kolumnis film di sebuah harian nasional ini.
Habis-habisan
Joko memang tak pernah mendalami perfilman secara formal. Dia adalah lulusan Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung—hasil kompromi karena kuliah perfilman memerlukan biaya tergolong mahal baginya saat itu. Persinggungannya dengan produksi film ia dapat dari kegiatan Liga Film Mahasiswa kampus di Bandung itu. Meski begitu, dalam memproduksi film, Joko kerja habis-habisan.
Joko tak cuma menulis naskah dan menyutradarai proyeknya. Di hampir setiap filmnya, Joko mengurusi hal-hal lain, mulai dari mencari lagu sampai memikirkan promosi dan marketingnya. Poster utama film Pintu Terlarang dan Modus Anomali didesain olehnya. Di film A Copy of My Mind, dia adalah penulis, sutradara, sekaligus eksekutif produser.
Untuk film PTJ dan juga Pengabdi Setan, Joko juga memimpin tim dalam urusan promosi, pemasaran, dan pendistribusian. Film itu telah diputar di belasan negara dan ditayangkan di layanan over the top (OTT). PTJ bahkan sedang mengikuti seleksi untuk bisa jadi nomine film cerita internasional di ajang Piala Oscar.
”Ternyata saya menikmati menjadi marketing film. Ditambah lagi, yang tahu bagian apa yang bisa dijual dalam film itu, kan, saya,” ujarnya.
Baca juga: Tentang Film Horor yang Digemari dan Berkualitas
Keuletan kerja itu memberi hasil baik. Film PTJ mendapat 17 nominasi di ajang FFI akhir pekan lalu—jumlah nominasi terbanyak yang pernah didapat sebuah film di ajang yang telah berlangsung sebanyak 40 kali itu. Terlebih lagi, film berjenis horor, yang selama ini diragukan kualitasnya, keluar sebagai film terbaik. Joko dan timnya menetapkan standar baru bagi film yang menonjolkan kengerian.
”Setiap membikin film, saya selalu berusaha menjadi standar terendah untuk dilampaui sineas lain. Di film berikutnya, standar itu saya naikkan untuk jadi yang terendah lagi. Bagi saya, setiap sineas yang membuat film harus bisa meningkatkan benchmark-nya. Karena hanya dengan demikian, film Indonesia bisa berkelanjutan,” ujarnya.
Joko Anwar
Lahir: Medan, 3 Januari 1976
Karya penyutradaraan film panjang:
- Janji Joni (2005)
- Kala (2007)
- Pintu Terlarang (2009)
- Modus Anomali (2012)
- A Copy of My Mind (2015)
- Pengabdi Setan (2017)
- Gundala (2019)
- Perempuan Tanah Jahanam (2019)
Beberapa penghargaan:
- Sutradara Terbaik, Festival Film Indonesia, 2020
- Best Director, Silver Awards for Film Craft, Citra Pariwara, 2017
- Sutradara Terbaik, Festival Film Indonesia, 2015
- Best Film, Puchon International Fantastic Film Festival, 2012
- Best Director, Terror Mollins de Rei Film Festival, Spanyol, 2012
- Skenario Terbaik, Festival Film Indonesia, 2008