Surwedi, Jalan Keabadian Wayang Jawa Timuran
Surwedi tak kenal lelah melestarikan wayang jawa timuran. Dengan usahanya, dia membukukan bahan ajar pewayangan yang lebih runut dan rapi.
Banyaknya pementasan tak menjamin kelestarian wayang. Tanpa referensi yang memadai, generasi kini dan nanti tetap kesulitan menyelami nilai-nilai budaya adiluhung ini. Itulah yang mendorong Surwedi (56) gigih menulis wayang purwa lakon jawa timuran sebagai jalan keabadian.
Pintu rumah di tepi Sungai Mangetan Kanal Desa Bakungpringgondani, Sidoarjo, Jatim, itu terbuka lebar, Minggu (22/11/2020). Tuan rumah dengan ramah meladeni tamunya. Keramahan itu tak hanya ditunjukkan melalui sikap dan pembawaan, tetapi juga aneka hidangan yang disuguhkan.
Seperti menggelar hajatan, beragam makanan ringan hingga menu berat makan siang terhidang. Meski bukan menu restoran, rasanya tak kalah menggoda karena dilandasi ketulusan hati. Itulah secuil gambaran suasana di kediaman Surwedi, salah satu dalang wayang kulit gaya jawa timuran.
Kehadiran tamu silih berganti itu bukanlah hal baru. Selama bertahun-tahun, rumah pria yang juga mahir menatah wayang ini menjadi kawah candradimuka bagi pelajar yang tengah menempuh Pendidikan Sistem Ganda (PSG) seni pedalangan dan karawitan tingkat sekolah menengah atas.
”Pernah sampai 18 anak menjalani PSG di sini dalam waktu bersamaan. Lama pendidikan yang ditempuh rata-rata satu bulan. Baru belakangan ini kurikulumnya diubah menjadi dua bulan,” ujar Surwedi.
Meski tinggal sebulan, Surwedi tak menuntut imbalan karena tujuannya berbagi pengetahuan. Hanya belakangan dia prihatin dengan perubahan kebijakan PSG yang waktunya diperpanjang menjadi dua bulan. Menurut dia, kebijakan itu membuat siswa kesulitan mencari tempat praktik.
Mereka pun harus mengeluarkan biaya besar, padahal tidak semua pelajar berkemampuan keuangan yang mapan. Dia khawatir hal itu menghambat upaya pembinaan seniman pedalangan jawa timuran. Anak-anak yang berbakat bisa jadi tak mampu menjalankan PSG karena kendala biaya.
Kegundahan itu dia diskusikan dengan 12 dalang jawa timuran lainnya yang tergabung dalam Forum Latihan Dalang Jawa Timur-an (Forladaja). Forum yang diinisiasi Surwedi sejak 2006 ini merupakan wahana membahas beragam persoalan seni pedalangan atau pewayangan di Jatim, termasuk pengembangannya.
Wayang jawa timuran, menurut Surwedi, merujuk pada wayang yang berkembang di Kota Surabaya dan sekitarnya. Meski disebut wayang Jatim, lingkup pengembangan spesifik hanya di wilayah Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Mojokerto, Pasuruan, Jombang, dan Kediri. Selain itu, sebagian Malang Raya serta Madura, terutama Sumenep.
Wayang ini memiliki sebutan lain, yakni wayang jekdong atau wayang dakdong. Kata jekdong bersumber dari bunyi kepyak (jeg) yang berpadu dengan bunyi kendang bersama gong. Sementara itu, dakdong berasal dari bunyi kendang berpadu dengan gong yang terjadi saat dalang memeragakan adegan bertarung di awal adegan peperangan.
Melihat lingkupnya yang masih kecil inilah, wayang jawa timuran perlu pengembangan agar keberadaannya lebih dikenal. Setidaknya, wayang kulit purwa ini bisa membumi di kampung sendiri. Peluang pengembangan itu terbuka lebar karena keberadaan wayang yang justru semakin dibutuhkan.
Banyak kearifan lokal yang dikembangkan menjadi atraksi wisata memerlukan pergelaran wayang kulit sebagai daya tarik wisatawan. Contohnya, tradisi bersih desa dan ruwatan. Selain itu, acara-acara seperti khitanan, pernikahan, dan haul atau ulang tahun. Wayang memiliki daya tarik tersendiri.
Akan tetapi, banyaknya pementasan atau pergelaran itu tidak serta menjamin kelestarian sebuah budaya. Bagi mayoritas warga, terutama generasi masa kini, cerita wayang sulit dipahami. Di sisi lain, upaya pembinaan untuk mencetak seniman, terutama dalang, juga menemukan tantangan tersendiri.
”Ini karena penempaan dalang jawa timuran dilakukan dengan metode ’nyantrik’ pada dalang yang lebih senior. Dengan metode ini, calon dalang hanya mempelajari sesuai yang diajarkan oleh gurunya. Apalagi, guru juga menuntut muridnya itu harus sama persis seperti dirinya,” ujar Surwedi.
Pendidikan formal seni pewayangan Jatim belum berkembang seperti halnya seni pedalangan di Yogyakarta dan Surakarta. Pendidikan baru ada di tingkat SMA yakni di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 12 Surabaya yang dulunya Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI).
”Itu pun para pendidik dan siswa kesulitan mencari bahan ajar yang spesifik tentang seni pedalangan Jatim karena terbatasnya referensi,” kata Surwedi.
Bahan ajar
Keinginan melestarikan seni pewayangan jawa timuran sekaligus memperkaya referensi bagi generasi masa kini dan nanti melatari Surwedi mengabadikan lakon wayang purwa jawa timuran dalam bentuk tulisan. Kumpulan tulisan itu kemudian dibukukan berdasarkan sistem periodisasi atau pembagian zaman pada lakon wayang.
Buku pertama dan kedua berhasil diterbitkan tahun 2007 dengan judul Layang Kandha Kelir Jawatimuran: seri Mahabharata dan Layang Kandha Kelir Jawatimuran: seri Ramayana Lakon Dasamuka Lair Dumugi Asgsohe Sumantri. Tiga tahun kemudian menyusul buku ketiganya yang berjudul Layang Kandha Kelir, Kumpulan Lakon Wayang Purwa Gagrak Jawatimuran.
Buku ketiga ini paling diminati masyarakat hingga dicetak ulang. Adapun isinya memuat tentang lakon-lakon yang dalam sistem periodisasi lakon wayang jawa timuran, termasuk zaman Tirtalaya dan zaman Antarayana. Penulisannya menggunakan bahasa Jawa tetapi cukup mudah dipahami karena menggunaan bahasa sehari-hari.
Meski telah menerbitkan tiga buku, semangat menulis Surwedi tidak lantas habis. Sebaliknya, semangatnya membara hingga terbitlah buku keempatnya pada 2014. Buku berjudul Layang Kandha Kelir Jaman Antaraboga ini berisi lakon-lakon wayang kulit zaman Antaraboga.
”Sekarang masih proses menulis buku berikutnya. Namun, jangan ditanya kapan selesainya sebab menulis tak bisa terburu-buru,” ujarnya.
Untuk membukukan lakon wayang jawa timuran, proses yang dilalui oleh Surwedi penuh liku. Terlahir sebagai anak salah satu dalang kondang di Jatim, suami Suherlis (55) ini mewarisi darah seni dari ayahnya. Bakat dalangnya terasah sejak masih duduk di bangku sekolah dasar.
Bakatnya menguat saat mengikuti seleksi dalang bocah se-Jatim 1979 dan berhasil menyabet peringkat kedua. Ketika ada festival dalang se-Sidoarjo 1984, Surwedi kembali memberanikan diri dan menjadi peringkat keempat. Hasil itu membuatnya tak puas hingga memutuskan memperdalam ilmunya.
Surwedi kemudian berguru pada Ki Suleman, dalang jawa timuran yang tinggal di Pasuruan. Kemampuan mendalang yang semakin terasah membuatnya mendapat tawaran mengajar di SMKI Surabaya pada 1987. Sekarang ia masih aktif sebagai tenaga ahli di sekolah tersebut.
Saat mengajar siswa itulah, Surwedi kesulitan mencari bahan ajar karena minimnya referensi wayang jawa timuran. Metode pembelajaran yang berkembang adalah merekam memori dalang senior yang menyimpan warisan naratif lakon-lakon jawa timuran. Saat ditanya sumbernya dari mana, ya dari bapak, mbah, atau gurunya. Tidak ada rujukan formal.
Banyak kearifan lokal yang dikembangkan menjadi atraksi wisata memerlukan pergelaran wayang kulit sebagai daya tarik wisatawan. Contohnya, tradisi bersih desa dan ruwatan. Selain itu, acara-acara seperti khitanan, pernikahan, dan haul atau ulang tahun. Wayang memiliki daya tarik tersendiri.
Ketika dalang itu meninggal, pengetahuannya tentang lakon wayang akan diwariskan kepada muridnya atau anaknya. Persoalan lain, lakon yang dikuasai antara dalang satu dan lainnya bisa jadi tidak sama. Proses pengumpulan lakon-lakon itu agar bisa dipelajari secara runtut menjadi pekerjaan tersendiri.
Upaya Surwedi awalnya tak berjalan mulus karena mendapat penolakan dari dalang senior yang khawatir tersaingi apabila cerita wayang dibuka lebar. Namun, setelah melalui pergulatan pemikiran yang cukup panjang, dukungan dari dalang senior pun akhirnya mengalir.
Restu dari para dalang itu hanyalah sebagian kecil dari perjuangan mengabadikan lakon wayang jawa timuran. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh Surwedi, contohnya karyanya harus mendapat pengakuan minimal dari 10 dalang.
Baca juga: Darwin, Penggerak Literasi Lingkungan ala Pohon Pustaka
Selain itu, untuk menulis buku, konten yang bagus tidaklah cukup. Perlu perangkat lain supaya buku itu legal dan memenuhi standar internasional, misalnya mengantongi ISBN (International Standard Book Number). Karena itulah, meski keinginan menulis telah tercetus sejak 1987 dan penulisan materi sudah berjalan, buku karyanya baru bisa diterbitkan pada 2007.
Pelatih pedalangan jekdong Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) selama tiga periode ini mengatakan, Layang Kandha Kelir yang ditulisnya merupakan upaya pendokumentasian dalam bentuk tulisan, cerita-cerita yang beredar di kalangan seniman, ataupun penggemar wayang kulit purwa gaya jawa timuran.
Cerita yang menjadi sumber lakon pergelaran wayang purwa ini mengalami pengayaan sumber penulisan sehingga cenderung sebagai proses penstrukturan rasa budaya komunitas jawa timuran dalam upaya pelestarian dan pengembangan seni pedalangan sebagai khazanah budaya nasional. Menukil ucapan Pramodeya Ananta Toer, menulis adalah jalan keabadian, termasuk mengabadikan lakon wayang jawa timuran.
Surwedi
Lahir : Sidoarjo, 26 Juni 1964
Istri : Suherlis (55)
Anak : Tejo Sulistiono (38)
Pendidikan:
- SDN Madubronto Krian (1976)
- SMPN I Krian (1979)
- SMAN Krian (1983/1984)
- Sarjana Ekonomi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Al-Anwar Mojokerto (lulus 2011)
Jabatan:
- Sekretaris Paripuja tahun 1989
- Pengurus Pepadi Sidoarjo tahun 2003
- Guru Tidak Tetap SMKI Surabaya (1987-1992)
- Tenaga Ahli SMKI Surabaya sejak 1992-sekarang
- Pendiri Forladaja (2006)