M Maahir Abdullah, Sendirian Menjelajah Nusantara
Muhammad Maahir Abdullah menjelajahi Indonesia dengan sepeda selama 2,5 tahun. Sambil menjelajah ia menebarkan virus membaca.
Lima belas tahun lalu, saat duduk di bangku kelas IV SD, Muhammad Maahir Abdullah (25) pernah bermimpi untuk menjelajahi Indonesia. Kini, mimpi itu terwujud. Sebanyak 34 provinsi dan tujuh gunung tertinggi di Indonesia berhasil ia jelajahi.
Maahir segera melompat dari sepedanya dan langsung bersujud sesampainya di pintu gerbang kantor PMI Jakarta Selatan, Selasa (10/11/2020) siang. Namanya dielu-elukan oleh puluhan orang yang menunggunya sejak pagi. Ucapan selamat mengalir dari mulut mereka.
Tangis Maahir tak terbendung saat sang ibu, Sumaryati (51), menghampirinya. Tangisan itu langsung dibalas sang ibu dengan pelukan hangat. Suasana haru menandai pertemuan keduanya untuk kali pertama sejak 2,5 tahun lalu.
Maahir memulai ekspedisi penjelajahan nusantara seorang diri pada 11 Maret 2018. Tak tanggung-tanggung, ia menggunakan sepeda untuk mewujudkan mimpinya itu. Sepeda yang ia tunggangi bukan sepeda keluaran terbaru, melainkan sepeda MTB Federal Bobcat keluaran tahun 1993.
”Sepeda ini saya pilih karena bahan rangkanya dari besi. Rangkanya kuat, tidak mudah patah. Jadi cocok untuk jarak jauh,” katanya saat ditemui.
Maahir merakit kembali sepeda itu pada 2016. Awalnya, ia hanya membeli rangka sepeda federal tersebut. Rangka ini kemudian dipadukan dengan bagian-bagian lain yang lebih modern. Proses perakitan memakan waktu setahun dan menelan biaya Rp 8 juta.
Selama uji coba, saya selalu catat apa saja kekurangan dan kelebihan dalam bersepeda. Ini sebagai bekal ekspedisi.
Maahir sempat melakukan beberapa uji coba sebelum memulai ekspedisinya. Salah satunya dengan bersepeda mengelilingi Jawa Barat selama satu pekan. Ia juga merampungkan bersepeda Jakarta-Yogyakarta dan mendaki tujuh gunung selama 1,5 bulan.
”Selama uji coba, saya selalu catat apa saja kekurangan dan kelebihan dalam bersepeda. Ini sebagai bekal ekspedisi,” ujarnya.
Setelah memantapkan diri, Maahir memulai ekspedisinya. Dalam ekspedisinya tersebut, ia telah menempuh jarak sepanjang 21.926 kilometer pada 34 provinsi. Sekadar catatan, jarak Sabang-Merauke jika ditarik garis lurus di atas peta sekitar 5.240 kilometer. Dengan demikian, jarak jelajah Maahir sekitar empat kali jarak Sabang-Merauke di atas.
Ia menjelajah dalam waktu 975 hari atau lebih dari 2,5 tahun. Maahir mengaku hanya membawa uang Rp 5 juta untuk bekal perjalanannya. Uang itu diambil dari tabungan hasil berjualan kaos, beberapa bulan sebelumnya. Penjualan kaus ”Ekspedisi Penjelajahan Nusantara” tersebut bahkan terus dilanjutkan oleh rekan-rekannya di Jakarta.
Sulit membayangkan Maahir bisa bertahan bertahun-tahun dengan bekal seadanya. Kenyataannya, hal itu terjadi. Selama ini, Maahir cukup terbantu dengan kebaikan warga di daerah yang ia singgahi. Setidaknya, ia mendapat suguhan kopi gratis.
Bantuan dari warga ini yang juga membuat Maahir bisa menghadapi titik terberatnya selama ekspedisi. Saat singgah di NTT, misalnya, ia sempat terserang malaria. Di sana, ia terpaksa menghentikan perjalanannya satu pekan untuk memulihkan diri.
Dalam ekspedisinya tersebut, Maahir juga berhasil merampungkan seven summits Indonesia, sebutan untuk tujuh puncak gunung tertinggi di Indonesia. Salah satu yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya adalah pendakiannya di puncak Carstenz, Jayawijaya, Papua. Di sana ia membuat video blog yang emosionalnya, yang viral beberapa bulan lalu. Di video tersebut, Maahir tak kuasa menahan haru sehingga harus mengusap air matanya.
”Sekaligus saya ungkapkan kekhawatiran soal pemanasan global karena salju di sana sudah banyak mencair. Pemandu di sana juga bilang kalau dulu salju di sini lebih luas lagi,” ungkapnya.
Peta dunia
Di puncak Carstenz, seketika Maahir mengingat kembali awal mula ia mimpinya. Saat masih duduk di kelas IV SD, ia pertama kali bermimpi melakukan ekspedisi keliling Indonesia.
Impian itu berawal dari sebuah peta dunia yang terpampang di dinding kelasnya. Maahir saat itu iseng mengukur luas wilayah Indonesia menggunakan jengkal tangannya. Setelah ia bandingkan, rupanya luas wilayah Indonesia setara dengan empat negara di Eropa. Dari situ, ia penasaran dengan luasnya wilayah Indonesia.
Pada 2013, rencana ekspedisi ini dilontarkan kembali oleh Maahir kepada dosen pembimbing akademiknya di kampus. Saat itu, tidak ada satu pun yang memercayai niat Maahir. Bahkan, tak sedikit yang menganggapnya gila.
Namun, Maahir enggan menyerah. Saat dinyatakan lulus pada 2017, ia kembali menuliskan rencana ekspedisinya itu pada lembar terima kasih di skripsinya. Tulisan itu ibarat doa yang terkabul baginya.
Ekspedisi penjelajahan Nusantara yang dilakukan Maahir bukan sekadar perjalanan biasa. Selama hampir tiga tahun tersebut, Maahir juga menginisiasi pembentukan taman baca di berbagai daerah.
Hal itu dilakukan karena selama ini Maahir resah dengan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak. Selama minat baca rendah, harapan generasi muda pada kemajuan bangsanya juga bakal sama rendahnya.
Memang benar membaca adalah jendela dunia. Tetapi, tidak mungkin kita hanya melihat dari jendela saja. Kita harus membuka pintu dan keluar.
”Memang benar, membaca adalah jendela dunia. Tetapi, tidak mungkin kita hanya melihat dari jendela saja. Kita harus membuka pintu dan keluar,” ungkapnya.
Ketika singgah di beberapa daerah, Maahir meminta kepada komunitas-komunitasnya di Jakarta untuk mengirimkan buku. Komunitas yang mendukung pengiriman buku ini, antara lain, Pramuka Saka Bhayangkara dan Gowes Literasi.
Dalam sekali pengiriman, Maahir bisa mendapatkan setidaknya 10 kilogram buku dari mereka. Buku tersebut kemudian disumbangkan kepada perwakilan warga di tempat singgahnya. Lewat buku-buku tersebut tersemat harapan bakal tumbuh taman bacaan yang lebih besar di sana.
”Dari target sepuluh taman bacaan, kami hanya bisa menuntaskan empat karena sempat terkendala biaya pengiriman buku,” ujarnya.
Taman bacaan pertama yang diinisiasi oleh Maahir berada di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kebetulan, salah satu pemuda di sana bersedia menjadikan rumahnya sebagai taman baca.
Sementara pembuatan taman bacaan yang paling berkesan bagi Maahir adalah di Kokonao, Mimika Barat, Papua. Menurut dia, anak-anak di sana sangat antusias membaca buku-buku dongeng. Selama ini, mereka hanya bisa membaca buku-buku pelajaran yang menjadi koleksi perpustakaan sekolah.
”Kami beri mereka buku dongeng atau komik. Pokoknya yang ringan-ringan. Mereka butuh buku yang lebih banyak gambar daripada tulisan,” tambahnya.
Ia juga tidak sembarangan mengirimkan buku. Sebelumnya, Maahir harus memetakan terlebih dahulu budaya dan kearifan lokal yang berkembang di tempat singgahnya. Misalnya, jika masyarakat di sana mayoritas adalah nelayan, ia akan meminta buku-buku bernuansa maritim dari Jakarta.
Maahir ingin masyarakat di daerah yang membaca buku-buku kirimannya tersebut suatu saat bisa memiliki mimpi seperti dirinya. Selama ini, keinginannya menjelajahi Indonesia kerap dipengaruhi oleh buku-buku bacaannya.
Lewat buku Tere Liye yang berjudul Tentang Kamu, misalnya, ia mengetahui bahwa kampung terpadat di dunia ada di Indonesia yakni di Pulau Bungin, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pulau yang selama ini hanya bisa ia bayangkan tersebut, berhasil ia sambangi dalam ekspedisi.
Operasi kemanusiaan
Sebagai bagian dari korps sukarela PMI Jakarta Selatan, Maahir juga ikut serta dalam sejumlah operasi kemanusiaan. Kebetulan, saat sedang singgah di Halmahera Selatan, Maluku Utara, pada 2019, kota tersebut diguncang gempa besar. Tanpa pikir panjang, Maahir terjun membantu korban.
”Saya menghentikan perjalanan dan membantu para korban. Saya bergabung dengan petugas PMI setempat,” ungkapnya.
Menurut Maahir, jika ada satu orang yang disebut paling berjasa pada kesuksesan ekspedisinya, orang itu adalah ibunya. Sebab, tanpa restu dan doa dari sang ibu, Maahir sangat yakin ekspedisinya ini tak akan dapat terselesaikan.
Hal ini diamini oleh Sumaryati. Meski tahu putranya akan meninggalkannya untuk waktu yang lama, ia mengaku ikhlas. Sebab, keikhlasan tersebut menurutnya dapat melapangkan perjalanan putranya.
Saya sama sekali nggak melarang. Kalau saya ikhlas, saya yakin perjalanannya akan dimudahkan.
”Saya sama sekali enggak melarang. Kalau saya ikhlas, saya yakin perjalanannya akan dimudahkan,” ungkapnya.
Kini, kesabarannya berbuah manis. Sumaryati bisa kembali berkumpul dengan anak bungsunya tersebut. Bahkan, diam-diam sang ibu sudah menyiapkan sayur asem kesukaan Maahir di rumah.
Muhammad Maahir Abdullah
Lahir: Jakarta, 30 Mei 1995
Pendidikan:
- SD Negeri 15 Ciracas Jakarta (2001-2007)
- SMP Negeri 106 Jakarta (2007-2010)
- SMK Negeri 58 Jakarta (2010-2013)
- Jurusan Pendidikan Bimbingan Konseling Universitas Indraprasta Jakarta (2013-2017)