Cece Royadi, Berjuang Agar Kali Cikapundung Bisa Tersenyum
Wajah murung Sungai Cikapundung tercemar kotoran sapi sejak dari hulu. Cece Royadi dan warga Batuloceng lainnya berusaha menghentikan pencemaran dengan aneka cara.
Wajah murung Sungai Cikapundung tergambar sejak dari sekitar kawasan hulunya di Kampung Batuloceng, Desa Suntenjaya, Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat. Sungai sepanjang 28 kilometer itu sudah lama tercemar kotoran sapi. Cece Royadi (35) pernah menjadi salah seorang pelakunya. Namun, sejak 2011, ia berbalik menjauhkan Cikapundung dari kotoran sapi.
Jumat (6/11/2020), dia memperlihatkan bukti nyata limbah bisa diubah jauh lebih bersih. Air bening mengucur dari ujung pipa instalasi pengolahan air limbah (IPAL) peternakan sapi yang ia kelola. Tidak ada pesing bau kotoran sapi yang tercium di sekitarnya.
Cece tersenyum. Dia terlihat bangga dengan hasil kerja kerasnya. Namun, raut wajahnya berubah saat melihat air berwarna kehijauan mengalir dari hulu.
“Belum semua warga di pinggiran Cikapundung mengolah limbah ternaknya. Masih ada yang membuang kotoran sapi langsung ke sungai,” ujarnya merujuk air kehijauan itu.
Cece lahir di Batuloceng. Di masa kecilnya, Cikapundung menjadi tempat bermain karena airnya jernih. Warga juga sering mendapatkan beragam jenis ikan di sana.
Akan tetapi, kondisinya berubah sejak 1990-an. Ternak sapi perah warga semakin banyak. Namun, pengolahan limbahnya tak memadai. Kotoran sapi dibuang begitu ke Cikapundung, salah satu anak Sungai Citarum itu.
Cece mengatakan, pernah berandil mencemari Cikapundung sepanjang 2003-2010. Ia membuang ratusan kilogram kotoran sapi setiap hari ke sungai itu. Hal ini menjadi pilihan paling praktis. Kandang ternak dibangun di dekat sungai. Dengan begitu, ia cukup menggali parit untuk mengalirkan kotoran sapi ke Cikapundung.
Kebiasaan buruknya berubah pada akhir 2010. Ketika itu, Rahim Asyik Budhi Santoso (53), pegiat lingkungan di Cikapundung, memergokinya sedang membuang kotoran sapi ke sungai.
Rahim mengingatkan Cece untuk tidak membuang limbah ternak ke sungai. Sebab, air Cikapundung digunakan Perusahaan Daerah Air Minum Tirtawening sebagai sumber air bersih jutaan warga Kota Bandung.
“Saya merasa sangat bersalah. Untuk membayar dosa itu, saya tergerak menjaga Cikapundung dengan mengolah limbah ternak agar mengurangi pencemaran sungai,” ujarnya.
Bersama warga lainnya, Cece lantas membentuk Kelompok Tani Ternak Batuloceng pada 2011. Mereka menggunakan lahan milik Rahim untuk membangun IPAL.
Tiga kolam dibangun untuk menampung limbah sapi dari kandang komunal. Sementara limbah dari kandang ternak yang jauh dari kolam penampungan diangkut secara manual.
Setiap kolam dipasang belasan paralon dengan lubang kecil di beberapa titik. Fungsinya untuk memisahkan limbah padat dan cair. Sementara limbah dari kandang peternak yang jauh dari kolam penampungan diangkut secara manual.
Setelah 2-3 hari, kotoran sapi padat diangkat dan dikeringkan. Selanjutnya difermentasi selama 1-2 minggu untuk diolah menjadi kompos.
Kotoran sapi juga menjadi media mengembangkan budidaya cacing Lumbricus rubellus untuk kascing (pupuk organik berupa kotoran cacing yang telah dikeringkan). Kascing dihargai Rp 25.000 per kilogram. Sementara cacing diminati industri obat dan kosmetik dijual Rp 20.000 per kilogram.
Akan tetapi, permintaan kascing dan cacing selama pandemi tidak menentu. Oleh sebab itu, untuk saat ini pihaknya terfokus mengolah limbah sapi menjadi kompos.
Perlakuan berbeda dilakukan pada limbah cair. Limbah dialirkan melalui pipa sepanjang 200 meter ke bak seluas enam meter persegi. Bak di sempadan Cikapundung ini berisi bebatuan untuk menyaring limbah cair sebelum dibuang ke sungai.
“Hasilnya belum sempurna. Terkadang airnya agak kehijauan. Makanya mesti sering dicek dan dibersihkan,” ujarnya.
Sebelum pandemi Covid-19, Cece dan rekan-rekannya mengolah sekitar dua ton kotoran sapi per hari. Limbah ternak itu berasal dari sekitar 300 ekor sapi milik 50-an peternak di RW 009 dan 010 Desa Suntenjaya. Sejumlah 16 ekor di antaranya milik Cece.
Kami memang tidak mampu menyulap hulu Cikapundung menjadi bersih seketika
Dengan begitu, 60 ton kotoran sapi per bulan bisa dicegah masuk ke Cikapundung. “Kami memang tidak mampu menyulap hulu Cikapundung menjadi bersih seketika. Namun, dengan IPAL, setidaknya tingkat pencemaran berkurang,” ujarnya.
Ekologi dan ekonomi
Mengolah limbah sapi tidak hanya berdampak secara ekologi, tetapi juga ekonomi. Kotoran sapi diolah menjadi kompos dan dijual.
Dari 20 ton kotoran sapi dapat menghasilkan 600 kilogram kompos. Proses fermentasi memakai EM 4 (Effective Microorganism 4) dan kapur dolomit. Beberapa pelanggan memesan agar pupuk dicampur sekam bakar. Setiap karung kompos berukuran 35 kg dijual seharga Rp 15.000. Peminatnya adalah para petani sayur setempat dan petani buah di sekitar Lembang.
Melalui pengolahan limbah ini, Kelompok Tani Ternak Batuloceng bisa mempekerjakan enam warga setempat. Mereka berbagi tugas, mulai dari menjemput kotoran sapi dari peternak, mengeringkan limbah padat, melakukan fermentasi, dan memeriksa kelancaran IPAL.
Mereka memakai sistem bagi hasil dari penjualan pupuk. Namun, salah satu kendalanya, kompos seharga Rp 15.000 per karung masih sulit bersaing di pasaran. Sebab, ada kompos dari kotoran ayam yang dijual Rp 8.000– Rp 9.000 per karung. Meski kualitasnya di bawah kotoran sapi, harga yang lebih murah membuat peminat kotoran ayam juga tinggi.
“Kami tidak mungkin menjual kompos di bawah Rp 10.000 per karung. Sebab, biaya produksinya saja Rp 14.000 per karung,” ujarnya.
Cece menyadari, tujuan utama mengolah limbah bukan untuk mencari keuntungan ekonomi, melainkan melestarikan lingkungan. Namun, proses pengolahan limbah membutuhkan biaya untuk membeli bahan fermentasi dan mempekerjakan warga.
Apalagi sejak pandemi Maret lalu, permintaan kompos limbah sapi menurun hingga 50 persen. Alhasil, tinggal sekitar 1,2 ton kotoran sapi yang diolah per hari. Sementara 800 kilogram sisanya terancam kembali dibuang ke sungai.
Jika tetap mengolah dua ton kotoran sapi per hari, gudang penyimpanan tidak akan cukup menampung. Saat ini saja sekitar 100 karung pupuk teronggok karena belum laku.
Cece berharap, pemerintah dapat menyerap kompos peternak sehingga pengolahan limbah berjalan optimal. “Semakin banyak kompos tersalurkan, semakin banyak pula kotoran sapi bisa dicegah agar tidak mencemari Cikapundung,” ujar bapak dua anak itu.
Aksi bersama
Sejak sembilan tahun lalu, Cece dan sejumlah peternak sapi di Batuloceng telah berupaya mengurangi pencemaran di Cikapundung. Namun, butuh aksi lebih besar untuk memperbaiki kualitas air di sungai itu.
“Butuh aksi bersama dari semua warga dari hulu hingga hilir dalam melestarikan Cikapundung. Alam perlu dijaga agar tidak mendatangkan bencana bagi manusia,” ujarnya.
Persoalan Cikapundung kompleks karena tercemar limbah ternak, industri, dan rumah tangga. Sungai yang bermuara ke Citarum ini melintasi Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Bandung. Oleh sebab itu, upaya pelestariannya tidak cukup secara sektoral.
Untuk merintis aksi bersama tersebut, Cece membuka kesempatan berbagai pihak untuk berkolaborasi. Bahkan, beberapa kelompok peternak, di antaranya dari Kabupaten Bandung dan Kota Bandung, pernah belajar mengolah limbah sapi di Batuloceng.
“Pengolahan limbah di sini telah diduplikasi di beberapa tempat. Harapannya dampak pengurangan pencemaran sungai semakin besar,” ucapnya.
Menurunnya penjualan pupuk limbah sapi akibat dihantam pandemi tidak mengendurkan semangat Cece. Ia tak lelah mengajak peternak lainnya untuk mengolah kotoran sapi. Bukan hanya di Batuloceng, namun di banyak tempat dan secara berkelanjutan. Semuanya demi membuat wajah Sungai Cikapundung tak murung lagi, tetapi memancarkan senyum.
Cece Royadi
Lahir: Batuloceng, Bandung Barat 21 Desember 1984
Pendidikan terakhir: Sekolah Dasar (lulus 1997)
Kegiatan: Ketua Kelompok Tani Ternak Batuloceng