Aiptu Muhammad Muhtasor, Polisi yang Jadi Guru Bagi Ribuan Bocah
Selama 20 tahun terakhir, Aiptu Muhammad Muhtasor mengajar budaya berlalu lintas pada puluhan ribu bocah di Palembang.
Oleh
Rhama Purna Jati
·4 menit baca
Memiliki niat untuk menghapus citra menakutkan pada institusi Polri, Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) Muhammad Muhtasor terjun sebagai guru pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak di Palembang, Sumatera Selatan. Sudah 20 tahun, ia mengabdi di bidang ini. Muridnya mencapai puluhan ribu orang.
Selasa (11/8/2020), saat jeda istirahat Muhtasor duduk di anak tangga rumah dinas Gubernur Sumsel, Griya Agung Palembang. Hari itu, dia melatih 50 pelajar dari 15 Kabupaten/Kota di Sumsel baris-berbaris. Mereka dipersiapkan untuk menjadi pengibar bendera pada upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di lingkungan Pemprov Sumsel, pada 17 Agustus 2020.
Di sela-sela kesibukannya sebagai polisi, Muhtasor menyempatkan diri mengajar anak-anak usia dini dan taman kanak-kanak. Itu dilakukannya sejak 20 tahun lalu. “Ada ratusan TK dan PAUD di Palembang yang sudah saya datangi,” ucapnya. Dia mengajarkan budaya tertib berlalu lintas termasuk memberi pengetahuan tentang rambu-rambu lalu lintas.
Sebagai polisi, dia bekerja di Unit Pendidikan Masyarakat dan Rekayasa Lalu Lintas Satuan Lalu Lintas (Dikyasa Satlantas) Polrestabes Palembang. Menurutnya, dengan mengajar tertib berlalu lintas sejak dini, kesadaran itu akan terbawa hingga anak itu dewasa. Selanjutnya, mereka akan menjadi “polisi” bagi orangtua mereka.
Ada orangtua siswa yang mengaku pernah ditegur oleh anaknya karena melanggar lalu lintas. Dari sana Muhtasor menyadari, jika pengetahuan yang ia berikan ternyata ada dampaknya. Dia pun makin rutin menyosialiasikan pendidikan berlalu lintas di Kota Palembang. Dalam setahun setidaknya ada 15.000 anak setingkat TK dan PAUD yang mengikuti kelas sosialisasi itu.
Muhtasor mulai bertugas di Palembang pada 1998 usai lulus dari Sekolah Polisi Negara (SPN) Betung. Ia diterjunkan untuk membantu mengendalikan kerusuhan. Saat itu, kondisi Palembang sedang mencekam. Dua tahun berselang, ia ditugaskan di bagian Satlantas. “Sejak saat itu saya mulai mengajar,” ucapnya.
Di masa awal menjalani pekerjaan barunya sebagai “guru TK”, Muhtasor mendapati kejadian yang membuat ia kaget. Seorang anak menangis dan lari ketakukan begitu ia masuk kelas dengan seragam lengkap. Ternyata, sang anak trauma lantaran pernah menyaksikan seorang polisi membentak orangtuanya karena melanggar lalu lintas.
Kejadian itu membuat Muhtasor sadar bahwa segala tingkah laku polisi akan terekam kuat dalam ingatan anak-anak. “Karena itulah, saya berupaya untuk menanamkan persepsi bahwa polisi adalah sahabat anak,” ungkapnya.
Setiap mengajar, ia membawa alat peraga yang memudahkan penyampaian pesan kepada anak-anak. Dengan begitu pesan yang disampaikan akan mudah terserap. Baginya, mengajar anak kecil adalah hal yang sangat menyenangkan. “Ketika saya berhadapan dengan anak-anak pikiran saya menjadi plong. Kepenatan berubah menjadi suka cita,” katanya.
Mengajar anak-anak, lanjutnya, lebih mudah daripada mengajar orantuanya. Yang diperlukan hanya kesabaran. “Sepanjang kita ikhlas dalam menjalani pekerjaan, tentu semua kesulitan akan dapat dihadapi,” ucapnya.
Masukan istri
Muhtasor mengakui kemampuannya dalam mengajar anak-anak diperoleh secara otodidak. Kadang sang istri yang berprofesi sebagai guru TK, Siti Zahara, memberi masukan yang berharga. Salah satunya terkait cara penyampaian materi. Menurutnya, ketika menyampaikan pesan kepada anak kecil sebisa mungkin menghindari kata, “jangan”.
Misalnya meminta anak-anak jangan menerobos lampu merah, bisa diganti dengan kata, ayo patuhi rambu lalu lintas. Ajakan jangan mencuri bisa diganti dengan ayo hidup jujur. “Biasanya kata \'jangan\' akan mengundang anak untuk melakukan hal yang dilarang,” ujarnya.
Mengajar anak TK atau PAUD berarti menanamkan nilai-nilai kehidupan yang akan mereka bawa sampai besar. “Intinya, saya ingin menanamkan nilai kejujuran dan disiplin pada setiap anak yang saya ajar,” ungkapnya.
Keinginan untuk berbagi ilmu, mulai muncul ketika Muhtasor duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin. Saat itu, ia menjabat sebagai ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah. Ia kerap memberikan ilmu tentang baris-berbaris dan juga mengajarkan sejumlah mata pelajaran kepada adik kelasnya.
“Bagi saya sukses bersama itu adalah sebuah kebanggaan,” ucapnya.
Kini, banyak anak didiknya yang sudah menjalani beragam profesi. Ada yang menjadi dokter. Ada pula yang mengikuti jejaknya menjadi seorang polisi. “Bahkan ada anak didik yang kini menjadi atasan saya,” ucapnya.
Hal itu tidak membuatnya minder. Sebaliknya ada rasa kebanggaan ketika anak yang dulu dia didik, meraih kesuksesan. “Walaupun menjadi atasan saya, mereka tetap hormat kepada saya dan saya pun hormat kepada dia sebagai atasan saya,” katanya. Dia mengaku sangat senang jika ada seseorang yang datang kemudian berkata, “Dulu saya murid bapak.”
Tidak hanya mengajar anak TK, dia juga mengajar remaja seperti pramuka, latihan baris-berbaris, mempersiapkan anggota pasukan pengibar bendera.
Muhtasor mengaku ingin terus mengajar anak-anak kecil hingga dirinya pensiun nanti. Menurutnya, dengan mengajar anak-anak banyak hal yang dia dapatkan termasuk rasa tenteram dan melatih kesabaran.
“Yang terpenting bagi saya adalah hidup saya bermanfaat bagi orang lain,” tambahnya.
Muhammad Muhtasor
Lahir: Brebes, 14 Agustus 1977
Istri: Siti Zahara (44)
Anak: Muhammad Tazra Raafisah (9)
Pendidikan:
SD Negeri 10 Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin (lulus 1991)
SMP Negeri 2 Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin (1994)
SMA Negeri 1 Kabupaten Musi Banyuasin (1997)
Sekolah Polisi Negara (SPN) Betung (1998)
Penghargaan:
Penghargaan Polisi Masyarakat dari Kapolda Sumsel (2004)
Penyuluh Hukum Berdedikasi dari Kemenkumham (2011)
Penghargaan dari Wali Kota Kota Palembang (2012)
Penghargaan Pandu Tani Indonesia (2015)
Penghargaan Sebagai Polisi Masyarakat dari Kapolda Sumsel (2018)