Dimas Jayasrana mendirikan lumbung pangan warga di tengah Kota Jakarta. Lewat lumbung pangan, ia mempertemukan warga yang memiliki kelebihan bahan pangan dan warga yang kekurangan.
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·5 menit baca
Dengan modal solidaritas, Dimas Jayasrana menghidupkan lumbung pangan di Jalan Teuku Cik Ditiro, Gondangdia, Jakarta Pusat. Di sana, ia menyimpan bahan makanan untuk dibagikan kepada warga yang terancam kekurangan pangan akibat pandemi Covid-19.
Kamis (13/8/2020) dini hari, Dimas berbelanja kebutuhan lumbung pangan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Selanjutnya, ia bersama beberapa sukarelawan membagi dan membungkus bahan pangan. Setiap pekan, 150 bahan pangan, yang terdiri dari bahan makanan pokok, sayur-mayur, dan lauk-pauk, mereka bagikan kepada warga yang membutuhkan.
Dimas juga merebus singkong dan ubi serta menyeduh kopi dan teh untuk warga. Sejak pukul 05.30, warga lumbung, terdiri dari pengemudi ojek daring, ibu rumah tangga, petugas kebersihan, petugas keamanan, dan masih banyak lagi, mulai antre. Padahal, pembagian bahan pangan baru dilakukan pukul 09.00-11.00. Selanjutnya, seperti siklus kehidupan di era kenormalan baru, Dimas mulai mendata sisa bahan pangan dan menyusun daftar belanja untuk pembagian bahan pangan pekan depan.
Saya tidak bisa membiarkan diri tenggelam dalam perasaan gloomy ini dan tidak tahu harus melakukan apa.
Dimas mengatakan, ide menghidupkan lumbung pangan muncul karena sama seperti banyak warga lainnya, ia sempat merasa depresi karena pandemi. Penyebaran virus telah mengganggu dinamika hidupnya, baik secara sosial maupun ekonomi. Seniman visual yang biasanya sibuk membuat konten-konten kebudayaan ini tiba-tiba harus kehilangan klien dan aktivitasnya dibatasi jaga jarak fisik. Lingkungan tempat tinggalnya juga mendadak sepi.
”Saya tidak bisa membiarkan diri tenggelam dalam perasaan gloomy ini dan tidak tahu harus melakukan apa,” kata Dimas.
Ia kemudian membaca berita mengenai distribusi bansos untuk warga terdampak Covid-19 yang bermasalah dan tidak tepat sasaran. Isi bansos juga terbatas hanya pada beras, minyak goreng, mi instan, gula, teh, dan kopi. ”Lalu, saya berpikir bagaimana kalau warga mau memasak. Dari mana bawangnya? Dari mana sayuran dan lauk-pauknya?” kata Dimas.
Pria yang pernah bekerja di Ruangrupa sebagai Kepala Riset dan Dokumentasi, kemudian menjadi Wakil Atase Kebudayaan di Institut Perancis di Indonesia, Kedutaan Besar Perancis, ini kemudian menginisiasi lumbung pangan. Gerakan ini mempertemukan warga yang memiliki kelebihan bahan makanan meski hanya sepotong tahu-tempe dengan warga yang membutuhkan bantuan pangan. Di lumbung, warga bisa memilih bumbu dapur dan sayur-mayur sesuai dengan kebutuhan.
Pertahanan pangan
Lumbung pangan dulu mudah ditemukan di desa-desa di Indonesia. Tujuannya untuk menyimpan bahan makanan cadangan untuk digunakan terutama saat terjadi peristiwa tak terduga, seperti paceklik atau bencana. Sayangnya, kearifan lokal ini mulai dilupakan.
Dimas, yang melewati masa kecil di Jagakarsa, Jaksel, pada pertengahan tahun 80-an, masih ingat bagaimana warga menjalankan jumputan beras setiap hari. Warga meletakkan secangkir beras di depan rumah dan pengurus RT atau masjid mengumpulkannya. Beras yang terkumpul diberikan kepada warga yang kekurangan.
Kini, tradisi jumputan beras sudah sulit ditemukan di Jakarta dan diganti dengan sumbangan uang tunai, bahkan uang digital. ”Meski terlihat lebih mudah dan ringkas (dengan sumbangan uang), interaksi antarmanusianya hilang. Padahal, kalau berbagi bahan pangan, seperti beras, tempe, tahu, di situ ada sentuhan personal yang membuat kita merasa sebagai manusia seutuhnya,” ujarnya.
Dari ingatan masa kecil itu, Dimas ingin mengembalikan semangat gotong royong melalui lumbung pangan. Di lumbung pangan, masyarakat tidak hanya berbagi, tetapi juga saling memberikan kekuatan mental dan sosial. Idenya pertama kali ia realisasikan pada 24 April 2020. Ia mengumpulkan bahan pangan yang ada di warung mi instan miliknya untuk dibagikan kepada warga.
Selanjutnya, keluarga dan teman-teman ikut memberikan bantuan. Bantuan juga datang dari warga dalam bentuk bahan pangan dan lauk-lauk. ”Ini bukanlah kegiatan donasi, tetapi berbagi. Siapa pun boleh ikut,” jelasnya.
Ini jadi tantangan karena kalau tiba-tiba kegiatan ini berhenti, saya tidak siap membuat orang kecewa.
Seiring waktu, jumlah warga yang datang untuk mendapatkan bahan pangan terus bertambah. Sementara kemampuan lumbung untuk menyediakan bahan pangan terbatas. ”Ini jadi tantangan karena kalau tiba-tiba kegiatan ini berhenti, saya tidak siap membuat orang kecewa,” ujarnya.
Menyebar kebaikan
Dimas lahir dan besar di Jakarta. Setamat SMA, ia pindah ke Purwokerto, Jawa Tengah, dan sempat kuliah tiga semester di Jurusan Bahasa Inggris Universitas Jenderal Soedirman.
Di Purwokerto, Dimas bergaul dengan banyak kalangan yang membawanya mengenal dunia film, seni, dan budaya. Suatu hari, seorang kawan bernama Alex Fahmi membantu Dimas meminjam kamera untuk membuat film pendek. Belakangan, film pendek itu membawa Dimas mengikuti International Short Film Festival di Hamburg, Jerman.
Ia pun terjun sepenuhnya ke dunia film. Ia membuat berbagai judul film dengan berbagai genre, mulai dari dokumenter, eksperimental, hingga film pendek. Beberapa judul di antaranya adalah Kepada yang Terhormat, Please Come to My Dream, I want to Hurt You; Takbir, dan Garuda Power.
”Alex dan teman-teman memberikan pengetahuan mendasar untuk melangkah. Tanpa mereka saya lost. Ini menginspirasi saya untuk berbagi, agar kebaikan itu menyebar,” ujar Dimas.
Dimas berpengalaman membuat berbagai judul film dengan berbagai genre, mulai dari dokumenter, eksperimental, hingga film pendek. Ia mengelola proyek seni budaya, termasuk mengelola pertunjukan, berjalan bersamaan dengan keterlibatannya di jejaring komunitas film di Indonesia sejak tahun 2000. Pada 2007 hingga 2018, ia aktif membantu CLC Purbalingga untuk mengelola Festival Film Purbalingga. Ia juga mendirikan PT Selasar Kebudayaan Nusantara, fokus pada media cerita, pengelolaan, dan database seni budaya Nusantara.
Sejak tahun 2000, Dimas banyak terlibat dalam berbagai proyek seni budaya, pengelolaan pertunjukan, dan pengembangan jejaring komunitas film. Ia juga mendirikan Spektakel.id, perusahaan yang fokus pada media, perjalanan, dan pengembangan bisnis seni budaya.
Selain fokus berkesenian, Dimas terpanggil berbagi pengetahuan dengan masyarakat kebanyakan. Ia, antara lain, mendirikan kelompok tani di daerah Banyumas dan membantu anak-anak jalanan di Purwokerto pada 1999-2002. Hingga kini, Dimas juga aktif memberikan lokakarya dan pelatihan audiovisual untuk anak-anak muda. Menurut Dimas, film dan kesenian adalah alat untuk berbagi kepada mereka yang membutuhkan.
Dimas tak hanya melangkah. Ia melangkah jauh.
Dimas Jayasrana
Lahir: Jakarta
Aktivitas, antara lain:
Founder Youth Power, Purwokerto (2001-2005)
Director and Co-founder Jaringan Kerja Film Banyumas (2007-sekarang)
Founder dan CEO Spektakel.id (2015-sekarang)
Founder Komunitasfilm.id (2016-sekarang)
2010-2018 Program Director for Festival Film Purbalingga
Ketua Bidang Festival Internasional dan Hubungan Luar Negeri Badan Perfilman Indonesia (2017-2020)
Karya film, antara lain:
Kepada yang Terhormat (2001)
Desaku, Video Music (2002)
Please Come to My Dream, I want to Hurt You (2004)