Yacinto Dacrus, Guru yang Mengabdi di Perbatasan RI-Timor Leste
Meski hidup pas-pasan, Yacinto Dacrus bersedia mengabdi selama 25 tahun sebagai guru di perbatasan RI-Timor Leste di Belu, NTT. Sebelumnya, Yacinto adalah warga eks Timor Timur.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·5 menit baca
Yacinto Dacrus, eks warga Timor Timur, sudah lebih dari 20 tahun memilih menjadi warga Republik Indonesia. Ia mengabdi sebagai guru yang tidak hanya mengajarkan pelajaran sekolah, tetapi keragaman dan kekayaan Indonesia. Namun, nasibnya tak sebaik pengabdiannya.
Rumah berdinding bebak (pelepah lontar), berlantai tanah, dan beratap seng itu menunggu tumbang. Dua potong kayu penyangga rumah sudah lapuk. Posisi rumah yang lebih mirip gubuk itu sudah miring. Di rumah itulah Yacinto, istri, tujuh anak, dan seorang keponakannya tinggal. Mereka bersepuluh harus berbagi ruang di rumah yang luasnya hanya berukuran 5 meter x 7 meter dan tinggi 160 sentimeter.
Kamis (13/8/2020), ia keluar rumah untuk menemui Kompas. Ia memakai sandal jepit yang menyeret debu yang segera melayang ke udara. Angin kencang siang itu menambah debuh jalanan makin liar menerpa apa saja yang ditemui.
Hari itu Yacinto tidak datang ke sekolah karena merasa tidak enak badan. ”Saya hanya titip bahan ke sekolah untuk disampaikan kepada kepala sekolah, dilanjutkan kepada siswa, biar mereka bisa belajar dari rumah,” kata guru kelas II SD Inpres Silawan, Desa Kenen Bibi, sekitar 50 kilometer dari Atambua, Nusa Tenggara Timur.
Selama pandemi, kegiatan belajar-mengajar tidak bisa dilakukan secara tatap. Sayangnya, mayoritas murid dan guru juga kesulitan menggelar pelajaran secara virtual lantaran mereka tidak punya ponsel atau paket data. Yacinto bahkan tidak punya keduanya.
Yacinto tinggal di Silawan, perbatasan RI-Timor Leste, sejak 1983. Awalnya ia bekerja sebagai kepala tata usaha. Lalu selepas mengikuti kursus pendidikan guru, ia menjadi guru sejak 1995. Ketika Timor Timur lepas dari Indonesia dan menjadi negara merdeka bernama Timor Leste pada 2002 pascajajak pendapat 1999, Yacinto memilih bergabung dengan Indonesia. Ia meneruskan pengabdiannya sebagai guru di Silawan.
Sebagai guru, ia tidak hanya mengajarkan pelajaran sesuai kurikulum. Ia juga aktif mengenalkan seluk beluk Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada siswa-siswanya di perbatasan. Ia ajarkan apa itu Pancasila, lambang negara Burung Garuda, keragaman suku, budaya, dan agama di Indonesia.
”Tanyakan saja kepada anak-anak di perbatasan ini tentang lima sila Pancasila, mereka hafal semua. Juga lambang negara dan pembukaan UUD 1945. Mereka tahu Aceh, Papua, Sunda, Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan suku lainnya,” kata Yacinto yang tak lelah menekankan pentingnya mencintai NKRI kepada siswa-siswanya.
Ia menambahkan, mayoritas anak-anak eks Timor Timur, warga Silawan, dan Matoain hanya kenal suku-suku yang ada di Timor Barat, seperti Kemak, Bunak, Tetun, Dawan, dan suku Tetun Portugis. Dengan memperkenalkan suku-suku lain, siswanya memiliki kesadaran bahwa mereka hidup di sebuah negara yang luas dan penduduknya amat beragam.
Pengetahuan tentang keindonesiaan yang mereka miliki, kata Yacinto, membuat siswa-siswanya menghormati perbedaan dan makin mencintai NKRI. Salah satu sikap kecintaan kepada NKRI, misalnya, ditunjukkan oleh Yohanes Andi Gala atau Johny Gala siswa SMPN Silawan, yang mendadak terkenal setelah memanjat tiang bendera untuk memperbaiki posisi tali bendera yang terlilit pada peringatan HUT Kemerdekaan Ke-73 RI di Silawan tahun 2018.
Menurut Yacinto, generasi muda di perbatasan tidak cukup dibekali pengetahuan teoretis. Kehidupan konkret tentang perbatasan pun perlu mereka pahami, hayati, dan praktikkan dalam hidup. Setiap 17 Agustus, misalnya, mereka sadar untuk memasang bendera Merah Putih di rumahnya, terlibat dalam kegiatan sosial dan kebersamaan merayakan HUT kemerdekaan. Ini sebagai modal bagi generasi muda untuk hidup dan bergerak di seluruh wilayah NKRI.
Di perbatasan RI-Timor Leste, guru berperan penting dalam menanamkan kesadaran tentang keindonesiaan dan nasionalisme kepada generasi muda. Peran serupa dijalankan oleh anggota TNI dan Polri yang bertugas di perbatasan.
Nyaman
Yacinto mengaku merasa nyaman menjadi warga NKRI. Ia memiliki pekerjaan sebagai guru negeri meski penghasilannya hanya pas-pasan untuk menghidupi keluarga. Karena itu, tidak ada satu pun anak-anak Yacinto yang bisa sekolah hingga jenjang pendidikan tinggi karena kesulitan biaya.
Sebagaimana kebanyakan warga eks Timor Timur, Yacinto berjuang keras untuk menghidupi keluarga. Selama 20 tahun menjadi bagian NKRI, ia hanya mampu membeli sebidang tanah di ruang jalan negara Motaain-Oecussi untuk mendirikan rumah ala kadarnya.
Lahan yang ditinggali Yacinto itu sebelumnya dimanfaatkan UNHCR untuk tenda penampungan pengungsi eks Timtim pada 1999-2002. Tenda itu kemudian disulap menjadi sebuah rumah tinggal dengan tiga kamar tidur yang terbuat dari batang lontar, berlantai tanah, dan beratap seng.
Selain itu, Yacinto tidak memiliki lahan lain untuk digarap sebagai lahan pertanian. Sejumlah warga eks Timor Timur yang memiliki tanah garapan untuk bertani hidupnya lebih sejahtera dibandingkan warga yang tidak memiliki lahan garapan.
”Bergabung dengan NKRI tanpa lahan usaha ternyata jadi masalah besar bagi kami. Jika pemerintah memberi opsi menjadi peserta transmigrasi ke provinsi lain, saya akan ikut. Saya bersama sebagian teman-teman dari Timtim ingin memiliki lahan olahan demi memperbaiki hidup,” kata Yacinto yang mengaku tidak suka bepergian ke wilayah Timor Leste untuk mengunjungi keluarga atau kerabatnya di sana.
Meski hidupnya begitu-begitu saja, Yacinto tetap bersyukur berada di bawah lindungan NKRI. Setidaknya, ia merasa tenang dan bebas dari ancaman kekerasan. ”Itu lebih penting daripada harta berlimpah,” tegasnya.
Yacinto Dacrus
Lahir: Maubara, Timor Leste, 2 Mei 1962
Istri: Maria Aurora Alfonsa Brites
Anak-anak: Lotu (34), Aida (33), Alsidio Akoli (30), Abel (28), Fabiola (27), Alcasio (25), dan Dirse Fatima (23)
Pendidikan: Diploma Universitas Terbuka PGSD, 2003