Naomi Selan, Pelindung Kaum Terpinggirkan di Jayapura
Naomi Selan adalah sosok di balik pemberdayaan kaum terpinggirkan di pusat Kota Jayapura. Ia memberikan bantuan makanan, pelayanan rohani, dan pendidikan secara sukarela kepada mereka.
Oleh
Fabio Maria Lopes Costa
·5 menit baca
Naomi Selan, yang biasa dipanggil mama Naomi, menjadi sosok spesial di hati ratusan anak-anak jalanan dan anak-anak para pedagang di Kota Jayapura. Ia menjadi sosok pelindung dan pendidik mereka selama 15 tahun terakhir.
Sabtu (8/8/2020) sekitar pukul 13.00 WIT, Naomi yang dibonceng anaknya, Kezia, dengan motor tiba ke sebuah lokasi bekas Pasar Ampera, Kota Jayapura, yang telah digusur beberapa tahun lalu. Di lokasi itu, ada beberapa bangunan terbengkalai dan sebuah lapangan futsal. Di tempat itulah, sekitar 40 anak jalanan bermukim.
Tempat itu sekaligus lokasi berkumpulnya Komunitas Anak Jantung Kota Jayapura yang dibina Naomi. Anggota komunitas sekitar 200-an orang. Sebelumnya, anak-anak binaan Naomi tinggal di dekat Terminal Lama Kota Jayapura. Tempat itu digusur sehingga mereka pindah ke lokasi bekas Pasar Ampera hingga waktu yang mereka sendiri tidak tahu sampai kapan.
Sekitar tujuh pemuda dan seorang wanita berusia sekitar 50 tahun menyambut kedatangan Naomi dengan riang gembira. Mereka memanggilnya mama. Siang itu Naomi membawa pati sagu, sayur kangkung, dan beberapa ekor ikan. Dibantu beberapa anak muda, ia memasak sagu dan sup ikan. Masakan itu kemudian disantap bersama-sama dengan penuh rasa syukur.
”Dengan melihat saya memasak, anak-anak dapat merasakan suasana rumah dan kehadiran seorang ibu. Banyak dari mereka yang kabur dari rumah karena hubungan dengan orangtua tidak harmonis atau karena minim perhatian,” ujarnya.
Sudah 15 tahun terakhir, Naomi menjadi ibu bagi ratusan anak-anak jalanan. Ia menyediakan makanan bagi anak-anak binaannya, mengajarkan mereka untuk mandiri dan mendorong mereka agar rajin beribadah. Dana untuk semua kegiatan itu sebagian ia tanggung sendiri. Sisanya ia peroleh dari para dermawan yang menaruh perhatian pada nasib anak-anak jalanan.
Kasih sayang dan perhatian seorang ibu yang Naomi tunjukkan, membuat anak-anak jalanan itu hidup lebih baik. Dulu, sebagian dari mereka ada yang terlibat tindakan kriminalitas seperti mencuri dan memalak warga. Kini, tidak ada lagi. Mereka bahkan tidak mau mengemis di jalanan, tetapi bekerja untuk mendapatkan uang. Ada yang bekerja sebagai tukang parkir, buruh bangunan, dan pembersih sampah.
Selain membina anak-anak jalanan, Naomi, yang juga seorang pendeta di Gereja Internasional Full Gospel Fellowship dengan jemaat 50-an keluarga, menggelar pembelajaran matematika dan bahasa Inggris bagi anak jalanan dan 250-an anak pedagang di Pasar Mama Papua, Kota Jayapura. Kegiatan yang dirintis bersama almarhum Robert Jitmau itu telah berjalan lima tahun dengan peserta berusia 3 tahun hingga 17 tahun.
Tongkat estafet
Bagi Naomi, kegiatan pelayanan di tengah masyarakat seperti melanjutkan tongkat estafet kegiatan yang telah dirintis ayahnya, Frans Selan sejak 1970. Frans adalah seorang pendeta di Gereja Kemah Injil Papua yang berasal dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, yang menjalankan tugas pelayanan rohani di daerah Wamena, Jayapura, hingga Sarmi selama tiga dekade.
Semangat pelayanan Frans yang menjelajahi wilayah pedalaman Papua menginspirasi Naomi dalam menetapkan pilihan hidupnya. Ia mulai aktif dalam kegiatan pelayanan sejak usia 18 tahun, yakni sebagai Koordinator Pusat Pelatihan Kepemimpinan Pemuda Gereja Kemah Injil. Di organisasi itu, Naomi dan pemuda lainnya menggelar pelatihan organisasi bagi pemuda, menyanyi, dan pendalaman kitab suci.
Selepas wisuda dari Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih di Jayapura, ia melanjutkan pendidikan filsafat di Sekolah Tinggi Teologi Jaffray Jakarta untuk menjadi pendeta. Setelah enam tahun Naomi bermukim di Jakarta, hatinya bergejolak sehingga memutuskan kembali ke Papua pada 1994 untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. Keputusan itu ia ambil setelah membaca buku karya Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Papua, berjudul Gembalakan Umatku.
”Buku ini turut memotivasi saya agar segera kembali ke Papua untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat setempat,” katanya.
Pada 2005, ia mulai merintis kegiatan pelayanan di Kota Jayapura di sebuah kolong jembatan yang menjadi ”rumah” bagi 27 anak jalanan. Kondisi kesehatan mereka saat itu tidak baik dan sebagian kecanduan ganja. Ia memberikan pendampingan rohani, menyiapkan bahan makanan, dan rumah singgah sementara. Kegiatan itu terus berlanjut hingga anak jalanan yang dibina mencapai ratusan.
Naomi berharap bisa membangun sebuah rumah singgah yang menampung seluruh anak jalanan di Jayapura. Dengan begitu, mereka tak lagi tidur di emperan jalan maupun lapangan sepak bola. Sampai saat ini, belum ada fasilitas rumah singgah untuk anak jalanan di Kota Jayapura.
Meski sulit, ia telah merintis pendirian rumah singgah. Namun, ia baru mampu membangun sebuah pondok dengan satu kamar. Pondok itu berjarak sekitar 10 meter dari tempat tinggal anak-anak jalanan di bangunan-bangunan di sekitar lokasi bekas Pasar Ampera.
”Banyak pihak yang siap membantu saya membangun fasilitas rumah singgah. Tapi meminta saya mencarikan tanahnya,” tambah Naomi yang mengaku kesulitaan menyediakan lahan untuk rumah singgah karena harga tanah di Kota Jayapura sangat tinggi.
Di tengah segala keterbatasan, Naomi terus bergerak. Bulan lalu, ia membuka kedai kopi di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Jayapura. Kedai yang menjual kopi arabika Kabupaten Pegunungan Bintang itu dikelola oleh staf Naomi dan seorang anak jalanan.
”Saya bermimpi bisa mempunyai puluhan kedai kopi yang dikelola anak-anak. Mereka bisa menjadi sosok yang mandiri dengan memiliki usaha sendiri,” harap Naomi yang terdengar seperti doa.
Naomi Selan
Lahir: Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah, NTT, 25 April 1968
Suami: Dominggus Sogalrey
Anak: Hizkia Sogalrey dan Kezia Sogalrey
Pendidikan:
Sarjana Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura
Master Filsafat Sekolah Tinggi Teologi Jaffray Jakarta