Mahmud Tohir, Menyebar Manggis Wanayasa hingga ke Negeri China
Semangat Mahmud Tohir memperkenalkan manggis (”Garcinia mangostana L”) Wanayasa tak pernah redup. Baginya, manggis bukan sekadar buah, tetapi juga warisan hidup dan aset negara yang harus dilestarikan.
Semangat Mahmud Tohir untuk memperkenalkan manggis (Garcinia mangostana L) Wanayasa kepada dunia tak pernah redup. Baginya, manggis bukan sekadar buah, tetapi juga warisan yang harus dilestarikan keberadaannya. Berkat ketekunannya bereksperimen, kini tanaman manggis Wanayasa dapat ditanam di sejumlah daerah dengan kualitas yang sama seperti pohon indukan di daerah asalnya.
Gerimis tak menghentikan langkah Mahmud (63) menuju salah satu pohon indukan warisan keluarganya di Desa Cibuntu, Kecamatan Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (10/4/2020) siang. Pohon setinggi lebih kurang 15 meter itu pernah menjadi bahan eksperimennya untuk menghasilkan benih.
”Sampai sekarang tanaman ini masih berbuah, padahal usianya lebih dari 100 tahun. Dulu belum setinggi ini, jadi masih mudah dipanen,” kata Mahmud.
Ketertarikan Mahmud terhadap manggis sudah muncul sejak kecil. Kala itu, ia kerap bermain di kebun milik keluarganya yang ditanami sekitar 10 pohon manggis. Saat masa panen tiba, ia sibuk mengumpulkan manggis untuk dijualnya ke kota. Uang hasil berjualan dipakainya untuk menambah uang saku sekolah.
Ayah Mahmud adalah seorang petani padi dan mendirikan kelompok tani Desa Cibuntu pada 1977. Sepeninggal ayahnya, Mahmud menjadi pengganti ayahnya.
Menyelam lebih dalam, ia makin yakin, keberadaan pohon tanaman manggis di kebun warisan itu bukan tanpa tujuan. Di beberapa daerah di Jabar, pohon buah seringkali sengaja ditanam orangtua untuk kecukupan pangan anak cucu kelak.
Maka dirawatlah kebun itu dengan membersihkan rumput liar, memotong ranting yang menjulur, dan memberi asupan nutrisi dari pupuk kandang yang dibuatnya sendiri secara rutin.
Keinginannya untuk memperbanyak jumlah produksi buah pun dilakukan dengan menanam tanaman baru yang dikembangkan dari biji (seedling). Tak memiliki latar pendidikan pertanian, ia tak patah semangat untuk praktik langsung di lapangan.
Percobaan pertama, ia menebar biji manggis yang telah dimakannya begitu saja di atas tanah. Namun, biji itu malah dikerubungi semut. Ia mengira bahwa biji manggis sama seperti buah lainnya yang akan tumbuh saat ditebar di atas tanah.
Cara selanjutnya, ia mencuci biji manggis sebelum ditanam. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan lendir yang menyelimuti biji. Setelah bersih, barulah disebar ke tanah. Beberapa hari kemudian, benih itu bertunas, dan tumbuh subur. Namun, pohon tak kunjung berbuah.
Berbagai cara dicobanya demi menghasilkan tanaman baru dengan produktivitas buah yang tinggi. Ia tak ingat pada eksperimen ke berapa, ia menemukan teknik pembibitan yang menghasilkan pohon berkualitas.
Pertama, biji manggis dicuci bersih sampai tidak ada daging buah yang menempel. Selanjutnya, biji ditiriskan dan dijemur 10-30 menit, tergantung kondisi cuaca. Setelah melalui proses itu, biji siap disebarkan di atas tanah hingga tumbuh.
Pemilihan biji sebagai bakal bibit tak boleh sembarang. Biji manggis harus berasal dari pohon induk yang memiliki sifat unggul, antara lain pertumbuhan pohon cepat, subur, ukuran buah besar, produksi buah lebat dan stabil.
Usia pohon juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang bibit baru. Pohon indukan harus berumur minimal 25 tahun. Di bawah umur tersebut, tumbuh kembang tanaman menjadi tidak maksimal, misalnya daun mudah menguning, akar tidak kuat, pertumbuhan lambat, dan tanaman kerdil.
Meski punya kemampuan mumpuni, dia tak ingin besar kepala. Mahmud tak gengsi mengikuti pelatihan terkait teknologi perbanyakan, penerapan teknologi maju, dan pengelolaan kebun manggis. Pengetahuan baru itu dipadukan dengan pengalamannya selama di lapangan. Ia juga mencoba metode sambung pucuk (grafting).
Menurut Mahmud, memperbanyak buah dengan biji dan sambung pucuk memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pada grafting, tanaman cepat berbuah (4-5 tahun) dan bisa ditanam dalam pot. Berbeda dengan seedling yang baru berbuah pada usia 5-6 tahun.
”Prinsip seedling itu semakin tinggi tanaman, maka buah yang dihasilkan semakin banyak dan berukuran besar. Sementara pada grafting, ukuran buahnya kecil dan sedikit,” katanya.
Aset negara
Tak ada data pasti kapan dikelola secara massal, manggis Wanayasa bukan buah sembarangan. Buah ini dilindungi Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 571/Kpts/SR.120/9/2006. Dari segi bentuk, manggis Wanayasa berukuran relatif besar, berdiameter 4,5-5 sentimeter dan berbobot 90-110 gram per buah.
Rasa dagingnya manis dan asam. Yang membedakan manggis ini dengan manggis dari tempat lain adalah daya simpan yang bisa mencapai 28 hari. Tak heran apabila buah ini sangat diminati konsumen China.
Tahun 2018, ekspor manggis ke China mencapai 38.800 ton. Tidak hanya membanggakan negara, kini puluhan ribu petani bergantung hidup pada 1.500 hektar perkebunan manggis dengan produksi rata-rata 47 ton per hektar pada saat panen raya. Jumlah pohonnya diklaim lebih dari 150.000 batang.
”Semakin banyak bibit unggul tersertifikasi, harapannya ada peningkatan jumlah produksi manggis berkualitas di Indonesia,” ujarnya.
Akan tetapi, tak mudah mengenalkan budidaya manggis yang baik kepada para tetangganya saat awal merintis. Bahkan beberapa di antaranya memandang sebelah mata upaya Mahmud. Beberapa tetangga mencibirnya. Manggis saat itu dianggap hanya pohon pekarangan.
”Untuk apa membudidayakan manggis, memang ada yang mau beli bibit sebanyak itu,” kata Mahmud menirukan mereka.
Mahmud yakin betul bahwa upaya budi daya ini sangatlah menguntungkan meski hal itu baru bisa dirasakan setelah bibit siap dijual pada usia 1,5 tahun.
”Budidaya tanaman ini memang hasilnya tidak bisa cepat. Sekarang tanam, besoknya tidak bisa langsung dapat untung. Butuh waktu dan kesabaran dalam berproses,” kata Mahmud.
Berkat kerja kerasnya, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang sarjana. Ketekunannya membudidayakan manggis pun menjadi magnet bagi orang-orang di sekitarnya.
Seiring berjalannya waktu, mereka mulai tertarik untuk mengikuti jejak Mahmud menjadi pembudidaya. Kini setidaknya ada 10 pembudidaya manggis yang tergabung dalam binaannya.
Perkumpulan pembudidaya itu dinamai Ikatan Penangkar Benih Wanayasa dan diresmikan pada 2019. Minimnya regenerasi pembudidaya dari kalangan anak muda membuatnya gencar mengajak mereka agar mau menekuni bidang budidaya ini. Terlebih permintaan dari luar Pulau Jawa cukup tinggi, dirinya pernah mendapat pesanan hingga 60.000 pohon manggis dalam setahun.
Dari teras rumahnya, ia kerap mengumpulkan masyarakat sekitar yang berminat untuk budidaya manggis. Bahkan banyak masyarakat dari luar daerah, peneliti, dosen, dan mahasiswa yang datang kepadanya untuk belajar di ”laboratorium” alam itu. Pelatihan pun diberikan tanpa dipungut biaya.
Sekitar 25.000 bibit manggis diproduksi oleh kelompok taninya dalam setahun. ”Bayi-bayi manggis” itu telah berkelana dan bertumbuh di sejumlah daerah Indonesia, antara lain Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Bogor, dan Sukabumi. Ia meyakini, bibit yang dirawat dengan baik akan bertumbuh dan menghasilkan buah yang baik pula.
Untuk menghasilkan buah yang unggul, kata Mahmud, mutu bibit juga harus terjaga. Saat ini, ada empat pohon yang telah lolos sertifikasi Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Jabar sebagai pohon induk.
”Pohon manggis Wanayasa ini bagaikan warisan alam. Keunggulan buah yang dimilikinya harus dijaga agar generasi penerus tetap dapat mencicipi nikmatnya,” katanya.
Mahmud menegaskan, apa yang dilakukan merupakan langkah awal dari perjalanan panjang untuk menyebarkan manggis Wanayasa ke berbagai penjuru dunia.
Mahmud Tohir
Lahir: Purwakarta, 12 Januari 1957
Istri: Entin Fatimah
Anak: Ayik Saifulloh, Eka Sutisna, Neneng Eva Novianti, Yudi Hidayatulloh
Pendidikan: Pendidikan Guru Agama (1975)