Maruli Sartadi, Sang Juru Runding Desa di Lombok Utara
Di usianya yang masih muda, Maruli Sartadi melakukan banyak hal untuk membantu masyarakat desa.
Oleh
Khaerul Anwar
·5 menit baca
Maruli Sartadi (33) sangat memahami persoalan batas wilayah administrasi pemerintah desa di Lombok Utara yang bisa jadi sumber sengketa. Untuk mencegah hal itu, dia menyediakan diri sebagai juru runding bagi desa-desa agar sengketa bisa diselesaikan.
”Belum tuntasnya batas wilayah antardesa membuat pemerintah desa ragu mengalokasikan anggaran pembangunan bagi dusun yang bersengketa batas wilayah. Warga juga risau mengurus KTP, kartu keluarga, dan berbagai insentif dari pemerintah. Maka, saya menginisiasi dua pemerintah desa dan warga agar menyelesaikan batas wilayahnya,” tutur Maruli, warga Desa Sesait, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, berjarak 60 kilometer utara Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (8/4/2020).
Berawal dari tahun 2016, Maruli di usia muda ikut menyelesaikan batas wilayah Desa Salut dan Desa Selengen, yang mengklaim Dusun Lokok Mandi sebagai wilayah administratifnya. Tata batas dua desa yang diputuskan oleh nenek moyang mereka berpedoman pada alam, yaitu sungai dan tanaman atau pohon kayu yang gampang diingat oleh masyarakat. Namun, batas wilayah tidak didukung peta desa.
Persoalan mencuat tahun 2002 ketika pemekaran Desa Salut (menjadi desa otonom) dan Desa Selengen (desa induk). Ketika pemerintah akan membangun rabat jalan, jembatan dan instalasi air bersih tidak bisa terlaksana. Bahkan, warga Dusun Lokok Mandi kesulitan mengurus surat bukti kepemilikan tanah, administrasi kependudukan, dan berbagai bantuan bagi warga miskin.
Status sengketa itu menyebabkan keduanya tidak berani mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur karena dana harus dipertanggungjawabkan. Instansi terkait Pemerintah Kabupaten Lombok Utara berkali-kali berupaya menyelesaikan batas wilayah, tetapi tidak menemukan jalan keluar.
Dalam suasana tegang itu, Maruli masuk ke dua desa sebagai tenaga fasilitator Yayasan Santiri, yang dilibatkan dalam pemetaan dan penegasan batas wilayah oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan metode kartometrik dengan menggunakan GPS dan drone. Namun, kegiatan tidak bisa dilakukan karena warga dua desa masih berdebat soal status Dusun Lokok Mandi.
Maruli mencari cara supaya bisa mendekati kedua pihak. Dia bersilaturahmi sembari mengidentifikasi tokoh kunci di dua desa itu, mencari tahu sejarah desa induk dan desa yang dimekarkan. Selain itu, dia juga mengikuti pertemuan formal kedua belah pihak. ”Saya harus bersikap netral, jangan sampai warga curiga kalau saya berpihak ke salah satu desa,” ujarnya.
Saya ’cuci otak’ mereka. Tanpa kejelasan batas wilayah bisa menimbulkan konflik horizontal, juga anak cucu mereka sulit mengurus keperluan administrasi kependudukan kelak.
Cara lainnya, Maruli menempuh pendekatan dari hati ke hati, dari pintu ke pintu, menemui para tokoh kunci, tokoh adat, dan tokoh agama serta merangkul generasi muda. Semua dilakukan sepanjang hari, dari siang hingga malam. ”Saya ’cuci otak’ mereka. Tanpa kejelasan batas wilayah bisa menimbulkan konflik horizontal, juga anak cucu mereka sulit mengurus keperluan administrasi kependudukan kelak,” katanya.
Pembangunan rabat jalan yang gagal di Dusun Lokok Mandi adalah contoh konkret saling klaim batas wilayah. Sayangnya, warga kedua desa itu tidak merespons hal tersebut dengan positif.
Untuk menyelesaikan sengketa itu, Maruli membutuhkan waktu selama tiga bulan. Kini, Dusun Lokok Mandi menjadi wilayah Desa Selengen.
Konflik air
Tahun 2015-2016, Maruli membantu menyelesaikan konflik air bersih antara pemilik lahan kebun Dusun Pejawak, Desa Santong, dan warga Dusun Sumur Pande Tengah, Dusun Sumur Pande, dan Dusun Sumur Pande Lauk (selatan). Semuanya berada di kaki Gunung Rinjani.
Air bersih itu diambil dari sumber air di kawasan Gunung Ranjani, berjarak sekitar 1 kilometer, dialirkan melalui instalasi pipa menuju tiga dusun membentang di lahan garapan warga Dusun Pejawak. Hal itu membuat pemilik lahan terganggu oleh instalasi pipa yang dibangun secara swadaya oleh warga tiga dusun tersebut. Tanpa diketahui pelakunya, instalasi pipa itu dirusak, disumbat, sehingga aliran air ke tiga dusun itu terhenti.
Melihat seringnya kejadian tersebut, Maruli berinisiatif mengajak para kepala dusun dan beberapa warga untuk duduk bersama mencari solusi. Mereka juga mencari tahu oknum yang merusak dan menyumbat pipa air. ”Sebetulnya, persoalan menjadi berlarut-larut lebih pada komunikasi yang tidak nyambung. Apalagi, para pihak sama-sama keras, tidak bisa menemukan titik temu. Makanya, harus ada penengah yang bisa menjembatani dua,” tuturnya.
Setelah melalui beberapa kali perundingan, warga sepakat merealisasikan solusi yang ditawarkan Maruli, yaitu membuat bak penampungan air dan keran di sekitar lahan agar warga Dusun Pejawak bisa menikmati air bersih. Air bersih bisa dipakai untuk air minum, mandi, serta mencuci pakaian dan peralatan rumah tangga. Kini, empat dusun menikmati air bersih dari sumber yang sama. Warga merawat dan membenahi pipa saluran secara swadaya.
Sebagai pegiat sosial, Maruli juga aktif membantu warga terdampak gempa Lombok pada Juli-Agustus 2018 untuk mendapat insentif pembangunan rumah tahan gempa, mendistribusikan bahan-bahan kebutuhan pokok, pakaian, dan terpal ke pelosok dusun Lombok Utara. Sebelumnya, dia berupaya agar insentif perbaikan rumah tidak layak huni sebesar Rp 10 juta-Rp 15 juta per unit bisa tepat sasaran.
Sebetulnya, persoalan menjadi berlarut-larut lebih pada komunikasi yang tidak nyambung. Apalagi, para pihak sama-sama keras, tidak bisa menemukan titik temu. Makanya, harus ada penengah yang bisa menjembatani dua.
Begitu pun dalam penanganan wabah Covid-19, ia mengoordinasi 20 remaja untuk urunan uang membuat masker berbahan kain. Mereka keliling mengumpulkan sumbangan kain dari warga. Target produksi 1.000 masker yang akan dibagikan gratis kepada warga yang tidak mampu.
Di tengah kesibukannya, ia menyisihkan waktu untuk bertani. Setiap pagi, ia menyambangi lahan demplot yang ditanami cabai, pepaya, dan pisang serta tanaman sengon di kebunnya seluas 2 hektar, lalu menyelesaikan tugas-tugas sosial.
”Saya sadar, tidak mungkin aparat desa dan dusun memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Lalu, saya terpanggil membantu masyarakat semampunya. Upahnya cuma puas saja bisa membantu warga yang kesulitan,” kata Maruli saat menyampaikan alasan berkegiatan sosial.
Maruli Sartadi
Lahir: Lombok Utara, 16 Maret 1987
Istri: Fatmawati (28)
Anak: 2
Jabatan: Fasilitator Desa Pemetaan Batas Desa Santiri Foundation
Pendidikan:
- SDN 1 Sesait, tamat tahun 1999
- SMPN 1 Kayangan, tamat tahun 2003
- SMAN 1 Kayangan, tamat tahun 2005
- Fakultas Sospol Jurusan Administrasi Universitas Nahdlatul Wathan Mataram, tamat tahun 2013