Samsul Hadi tergolong penyandang disabilitas yang luar biasa. Dengan keterbatasan fisiknya, ia berjuang membantu penyandang disabilitas lainnya.
Oleh
Khaerul Anwar
·4 menit baca
Samsul Hadi (40) adalah penyandang tunadaksa yang luar biasa. Di tengah keterbatasannya, ia membantu penyandang disabilitas lainnya supaya berdaya. Ia menyediakan tongkat bagi orang tunanetra dan kursi roda bagi penyandang tunadaksa.
”Saya ingin menginspirasi teman sesama penyandang disabilitas agar tidak memedulikan stigma buruk. Sebelum pakai tongkat, saya jalan pegang lutut. Saya bertemu teman-teman, ngobrol, bahkan cari penyandang disabilitas yang perlu bantuan,” ujar Samsul di rumahnya, Dusun Batu Lojan, Desa Peresak, Kecamatan Batukliang, sekitar 30 kilometer timur Mataram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (25/1/2020).
Kaki kiri Samsul mengalami cacat lantaran polio. Namun, ia tidak pernah minder ketika bergaul dengan temannya di kampung, sekolah, ataupun kampus. Saat itu, ia sesekali menggunakan tongkat kayu selain berjalan sambil memegang lutut kiri.
Samsul mulai aktif membantu penyandang disabilitas khususnya anak-anak tahun 2007. Saat itu, ia lebih sering menjadi motivator yang keliling ke hampir semua desa di Lombok Tengah.
Kunjungannya ke beberapa desa membuka matanya. Ia melihat para penyandang disabilitas umumnya berasal dari keluarga miskin. Mereka juga terkucil lantaran stigma buruk yang dilekatkan oleh masyarakat. Mereka, misalnya, disebut sebagai orang yang kurang rase (tidak normal). Akibatnya, orangtua berusaha ”menyembunyikan” anaknya yang menyandang disabilitas karena dianggap aib.
Saya ingin menginspirasi teman sesama penyandang disabilitas agar tidak memedulikan stigma buruk.
Dari situ Samsul berpikir, penyandang disabilitas tidak hanya perlu edukasi dan advokasi, tetapi juga dipenuhi kebutuhan riilnya, seperti tongkat, kruk, atau kursi roda. Dengan begitu, mereka tidak terlalu bergantung pada orang lain.
Tahun 2016, Samsul mulai mengurangi aktivitasnya sebagai pengurus Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia Cabang Lombok Tengah.
Ia memilih aktif sebagai Relawan Endri’s Foundation, yayasan yang antara lain bergerak membantu penyandang disabilitas di Mataram, Lombok. Bersama yayasan itu, ia berkeliling ke pelosok kampung di Lombok Tengah untuk mendata penyandang disabilitas yang memerlukan alat bantu.
Samsul turun ke perkampungan di kota hingga pelosok dusun di balik bukit atau di dalam hutan untuk mengantarkan kursi roda atau alat bantu lain. Ia biasanya dibonceng dengan sepeda motor oleh istrinya, Nuri Tirandantara (29). Kadang ia diantar tukang ojek atau menumpang angkutan umum. Ongkosnya ia tanggung sendiri dari hasil bekerja sebagai petani.
Tahun 2017, ia menemukan seorang anak perempuan penderita lumpuh otak di satu dusun, Lombok Tengah. Anak itu tinggal di kandang ayam, bersebelahan dengan rumah orangtuanya. Anak itu hanya bisa duduk dan berbaring. Ada bintik-bintik di bagian kulitnya akibat bertahun-tahun hidup di dalam kandang.
”Kami datang bersama tim, lalu teman-teman yang perempuan memandikannya. Sebulan kemudian, dari tidak bisa bicara, dia sudah bisa menyapa tetangganya,” tuturnya.
Namun, Samsul tidak tahu kondisi terakhir karena tugasnya adalah mengadvokasi dan mengedukasi. Sementara itu, soal perawatan sangat bergantung pada orangtua dan keluarganya.
Upah terindah
Samsul menjadi sukarelawan bagi penyandang disabilitas karena ia paham kesulitan mereka. Menurut dia, sukarelawan disabilitas akan lebih mudah diterima oleh penyandang disabilitas yang akan dibantu. Alasannya, mereka lebih senang curhat dengan sesama penyandang disabilitas.
Ia memberi contoh seorang perempuan tunadaksa yang berjualan di Pasar Kediri, Lombok Barat. Sehabis berdagang, ia biasanya mengurung diri di rumah dan cenderung tidak mau bergaul. Samsul mengedukasinya berkali-kali, bahkan menunjukkan kondisi dirinya yang juga tunadaksa. Sebulan kemudian, ia mulai berdandan, rambut ditata, pakai celana jins. Belakangan ia mendapat jodoh seorang lelaki asal Pulau Jawa.
Samsul juga pernah menangangi warga Desa Teratak, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah, yang tangannya diamputasi akibat tersengat listrik saat bekerja di Malaysia pada 2017. Lantaran depresi dengan kecacatannya, ia berupaya bunuh diri.
Samsul dan timnya kemudian mendatangi laki-laki itu untuk mengedukasi. Ia mengajaknya berdialog, menceritakan dan memutarkan video kisah orang lain yang kondisi fisiknya lebih parah, tetapi memiliki semangat hidup. Dengan memberikan energi positif, laki-laki itu termotivasi. Ia kini beternak sapi dan membantu istrinya berjualan beras di pasar.
Selanjutnya, Samsul membantu seorang anak disabilitas untuk sekolah. Anak penyandang cerebralpalsy itu tinggal di Lingkungan Propok, Kelurahan Praya Tengah, Lombok Tengah. Pada 2018, ketika mendaftar ke sebuah sekolah dasar di dekat rumahnya, ia ditolak dan disarankan masuk ke sekolah luar biasa (SLB). Orangtua anak itu yang tergolong miskin terpaksa menyekolahkan anaknya di SLB yang cukup jauh dari rumah.
Upah terindah bagi relawan adalah berbagi kebahagian dan meringankan beban orang lain.
Seiring dengan waktu, orangtuanya tidak mampu lagi membayar ongkos ojek sepeda motor pergi-pulang anaknya dari rumah ke SLB. Samsul dan tim turun tangan. Mereka melobi pejabat di Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah agar bisa merekomendasikan anak itu sekolah di SD dekat kampungnya. Strategi itu berhasil, kini sang anak bisa sekolah di SD tersebut. Samsul kemudian memberikan bantuan tambahan berupa kursi roda khusus.
Bisa membantu penyandang disabilitas membuat Samsul bahagia. ”Upah terindah bagi relawan adalah berbagi kebahagian dan meringankan beban orang lain,” ungkapnya.
Samsul pun akan terus memburu upah terindah itu mengingat masih banyak penderita disabilitas yang belum dimotivasi dan belum kebagian alat bantu.
Samsul Hadi
Lahir: Lombok Tengah, 26 Oktober 1980
Istri: Nuri Tirandantara (29)
Pendidikan:
SDN I Pajungan, Desa Peresak (tamat 1994)
SMPN I Kopang, Desa Kopang, Lombok Tengah (1997)
SMAN I Kopang, Desa Kopang, Lombok Tengah (2000)
Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Lombok (2006)